Tak ingin kubahas apa yang terjadi selama di bandara, dan bagaimana mataku melepas burung besar itu terbang jauh ke negeri matahari terbit dengan Zahwa di dalamnya.
Bukannya aku tak mau, hanya belum bisa saja. Kita semua kan tahu, sebuah masalah akan lebih mudah diceritakan setelah terlewati.
Atau mungkin kelak bisa jadi bahan tertawaan.
Coba saja, dahulu waktu SMP atau bahkan mungkin SD, kamu pasti pernah dibuat galau setengah mati oleh orang yang dahulu kamu sukai.
Rasanya berat sekali ketika tengah berada dalam masa-masa itu, resah, gelisah, suka menduga-duga, tapi sekarang bagaimana? Sudah mulai biasa saja?
Kalau dilihat pun para orang tua suka menertawakan kisah masa mudanya, padahal belum tentu dahulu ketika kisahnya sedang terjadi, mereka bisa legowo seperti sekarang ini.
**
Ketika diantar pulang oleh keluarga Zahwa, aku minta diturunkan di perempatan halte angkutan umum.
Aku tidak berangkat bekerja, sengaja izin seharian demi mengantar Zahwa.
Sepertinya pulang ke rumah bukan pilihan yang tepat. Saat ini hati dan pikiranku sedang tidak bisa didefinisikan olehku sendiri, mungkin “entah” adalah kata paling dekat dan paling mewakilkan.
Rasanya kosong tapi tidak seluruhnya, seperti ada sesuatu yang mengganjal tengah mengisi.
Ada yang ingin kutahan tapi semuanya sudah terjadi. Intinya, benar-benar entah.
Dengan keadaan begini, pulang akan menjadikanku merenung dan banyak berpikir.
Sebisa mungkin aku mencari hal yang bisa dilakukan agar aku tidak merasa sendirian.
Setelah semua yang terjadi, setidaknya napasku masih keluar masuk paru-paru dengan normal.
Kuputuskan untuk naik bus antar kota setelah lima menit menunggu.
Di perjalanan masih saja kulihat paras Zahwa yang sendu tengah mengenakan syal biru muda melingkar di lehernya.
Pagi tadi ia terlihat berbeda dari biasanya, meskipun aku tak paham mengapa ia mengenakan jaket tebal di musim kemarau.
Satu setengah jam perjalanan, jalan tak kunjung sampai. Bus yang kutumpangi berjalan sangat lambat.
Entah karena disengaja oleh supirnya atau memang busnya yang sudah tua.
Penumpang silih berganti di bangku-bangku yang sekejap kosong, sekejap kemudian terisi lagi.
Kadang ramai riuh oleh anak-anak SD yang pulang sekolah, lain waktu sepi, hanya ada aku dan dua penumpang kakak beradik yang letak duduknya jauh dariku.
Sejak tadi sengaja betul kubuka jendela samping agar wajahku terkena ributnya angin yang terserok masuk ke dalam bus.
Sebisa mungkin mencoba untuk mengawasi pikiranku agar tidak memikirkan hal yang macam-macam, seringnya aku hanya diam dan bertanya pada diri sendiri “Ada apa?”
Kondektur bus menurunkanku tepat di persimpangan jalan alamat rumah yang aku tuju.
Masih sangat hafal, belum lama aku mengunjungi tempat ini.
Kalian semua tahu, aku datang ke rumah Pak Bachrudin.
Dari jarak 50 meter, kulihat seorang gadis yang usianya sepantaran denganku atau mungkin lebih tua, sedang sungkem kepada Pak Bachrudin.
Untuk kemudian pergi bersama laju mobil dengan desain yang berbeda dengan mobil-mobil pada umumnya.
Besar kemungkinan gadis itu adalah putrinya.
Aku tidak dipersilakan duduk, tapi disuruh mengambil kursi sendiri dan bebas mengambil tempat di mana pun aku bisa meletakkan kakiku.
Tak terlalu banyak perubahan setelah kunjunganku yang pertama.
Aku hanya sudah tidak melihat kulkas yang kemarin tidak ada pintunya, selebihnya masih sama, obeng dan perkakas tercecer di mana-mana.
“Kebetulan sedang tidak bekerja, jadi menyempatkan jalan-jalan kemari,” ucapku.
“Tidak bekerja?” Satu alis Pak Bachrudin naik. “Pemuda sehat dan waras sepertimu tidak bekerja? Mau jadi apa kamu ini.”
“Maksudnya sedang libur, izin, bukannya tidak punya pekerjaan.”
Pak Bachrudin manggut-manggut sambil memelototi CPU yang sudah berjamur. “Tunggu, siapa namamu, ingatan tuaku tidak lagi setajam dulu.”
“Nadif, Pak Bachrudin.”
“Ah, iya. Panggil aku Bah saja, supaya tidak kepanjangan.” Matanya terlihat tengah meneliti sesuatu yang tidak aku tahu pada CPU. “Kau habis ditolak cinta?” tanyanya tiba-tiba.
Gendang telingaku jadi terbentur mendengarnya, “Maaf, Pak?”
“Mukamu kusut, macam tidak bau nasi berminggu-minggu. Aku nyaris tidak mengenalimu, lantaran pangling dengan wajahmu dulu saat pertama mengunjungiku.”
Sebeda itukah? batinku.
Seperti yang sebelumnya terjadi, aku disuruh-suruh untuk mengambilkan ini dan ia sibuk dengan organ dalam CPU.
“Gadis secantik apa yang menolakmu?”
Gendang telingaku terbentur lagi, tapi tidak seterkejut yang pertama.
“Tidak, aku tidak ditolak, hanya saja ia baru saja pergi jauh ke tempat yang tidak mungkin aku jangkau. Dan ini terjadi setelah aku merasa tengah ada masalah di antara kami.”
“Di antara kalian? Atau di antaramu saja?”
“Entah, Pak Bah.”
“Kau tidak menanyakan padanya?”
Aku menggeleng.
“Tak ada waktu?”
Aku menggeleng lagi.
Mulutnya berdecih, “Ah bagaimana, tidak jantan sekali.”
“Sebenarnya kemarin hampir saja aku tanyakan, tapi entah bagaimana mulut dan hatiku rasanya beku, tertutup, terkunci tidak bisa digerakkan.”
“Jika masih hampir, tak usahlah kau ceritakan. Mau bagaimanapun yang namanya hampir, itu berarti tidak terjadi.”
Aku menunduk, Pak Bah benar sekali.
“Nang, kau bilang mulutmu tertutup, terkunci. Ya, bukalah. Kau pasti punya kuncinya. Itu kan mulut adalah mulutmu. Dan kalau kau perhatikan, banyak hal yang baru bisa berguna ketika ia terbuka, contohnya payung, gelas, pintu gerbang, dan lain-lain, termasuk juga mulut, pikiran, dan mungkin hatimu. Kau harus membuka ketika ingin menggunakannya.”
Aku menunduk semakin dalam, Pak Bah benar lagi.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog