Tidak ada yang spesial hari ini, pekerjaan di toko sama dengan hari-hari sebelumnya.
Melayani pembeli, mengambilkan barang, bertanya apa yang dicari pelanggan, Bukannya membosankan, hanya memang sedang tidak ada yang spesial saja.
Ditambah Jupri yang benar-benar menyebalkan, aku sudah mencoba memasang wajah sewajar mungkin di depannya, tapi ia masih saja diam padaku, jangankan bicara, menengok ke arahku pun tidak. Itu terjadi selama seharian.
Sore harinya Laras menungguku di parkiran motor, lantaran tak enak menolak, aku sengaja pulang telat, menunggu ia pulang terlebih dahulu.
Aku mencoba mencari aman saja. Bukan apa-apa, aku hanya tak mau terus menerus pulang bersama Laras dan malah jadi bahan pembicaraan orang-orang.
Belakangan ini anak-anak SMA dan Gopal CS sering meledekku begitu.
Aku membeli nasi goreng kesukaan Ibu dan wedang ronde langganan. Sendirian. Nurdin tengah sibuk dengan pekerjaan lemburnya.
Katanya menjelang hari raya banyak sekali pesanan daging, baik daging utuh maupun daging giling.
Langit senja seperti biasa. Warna merah, oranye, kuning bertaburan saling tindih-menindih dengan dilengkapi sedikit warna abu-abu.
Aku memasukkan tanganku ke saku jaket bertuliskan adidas yang hanya akan kucuci ketika anak SMA meneriakiku tak pernah ganti outfit.
Tapi siapa peduli, itu hanya bercandaan. Aku merasa tak ada satu orang pun yang akan betul-betul memperhatikanku.
Lima langkah sebelum persimpangan, dadaku lemas melihat sesosok gadis tengah berdiri di jembatan.
Siapa kira, orang yang aku cari-cari selama seminggu, sampai-sampai aku dengan penuh kesadaran melakukan hal bodoh, kini hadir di depanku tanpa aku kira sebelumnya.
Zahwa berdiri di jembatan berpegangan pada pagar besi di sisi selatan.
Ingin kuambil jalan lain, tapi kuteguhkan hatiku bahwa inilah kesempatan untuk menjelaskan semuanya.
Ketika sampai tepat di sebelahnya, bukan aku tapi malah ia yang membuka kata terlebih dahulu.
“Bang terima kasih, sudah mendoakan Zahwa. Akhirnya Zahwa diterima di perguruan tinggi. Meskipun awalnya aku sedih karena yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang aku rencanakan, tapi sepertinya ini lebih baik. Aku besok berangkat.”
“Besok?” Aku terkejut bukan main.
Gadis ini mengangguk pelan.
"Ke mana?"
Ia menyebutkan sebuah tempat yang hanya kudengar dari cerita dan televisi, sudah pasti tempat itu sangat jauh, butuh waktu berhari-hari untuk sampai ke sana.
“Itu bukan tempat yang dekat, Wa. Mengapa baru memberitahuku?”
“Dengarkan aku dulu, Bang. Aku besok berangkat jam tujuh pagi, jika Abang tidak keberatan mungkin Abang mau ikut mengantarku. Aku cuma mau mengatakan itu, Bang. Waktuku tidak banyak. Aku harus segera packing barang-barang untuk kubawa besok. Abang besok tak perlu lagi membeli barang-barang yang tidak Abang perlukan setiap hari ke toko Ibu karena aku tidak lagi di rumah.” Gadis itu berlalu meninggalkanku sambil tersenyum kecut. Sementara aku hanya terbujur kaku di sisi jembatan.
Kupaksakan langkah kakiku untuk mengejarnya. Aku sangat ingat jika Zahwa juga menungguku dengan langkahnya yang memelan.
Tapi saat aku sampai tepat di belakangnya, kugapai jari kelingkingnya namun segera kulepaskan lagi. Belum saatnya, seumur-umur aku belum pernah memegang tangan gadis yang tidak ada hubungan darah denganku.
Dalam jarak sedekat ini aku dapat melihat jelas pipinya yang merah dan matanya yang berkaca-kaca.
Melihat pemandangan itu, semestaku runtuh. Luapan perasaan yang membuat dadaku sesak tiba-tiba datang entah dari mana asalnya.
Begitu banyak perkara di kepalaku yang ingin kusampaikan pada gadis berwajah sendu ini tapi ketika syarafku mencari-cari mana dahulu yang akan dikeluarkan, sontak semuanya hilang.
Aku beku dan Zahwa berlari meninggalkanku yang tak kunjung berbuat apa-apa. Ia kini malu menangis di hadapanku.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog