“Pak Bacrudin ini dulu guru praktik saya waktu masih SMK. Beliau sangat ahli dengan barang-barang semacam ini." Pak Leo menepuk-nepuk kulkas yang sudah tidak ada pintunya.
"Saya selalu meminta tolong beliau untuk membetulkan barang-barang yang tidak bisa saya kerjakan sendiri. Seperti pawang mesin, mau jenisnya apa saja pasti bisa diperbaiki.” Lanjutnya.
Kulihat Pak Bachrudin tengah menyolder kawat kecil untuk memperbaiki sebuah bor listrik.
“Yang rusak di mananya, Pak?” tanyaku basa-basi.
“Di bagian saklarnya. Pasti timahnya meleleh, kepanasan.” Beliau membenarkan kacamatanya yang melorot. “Mesin juga butuh istirahat, kalau dipakai terus nanti ngebul. Otak manusia juga begitu.”
Aku memperhatikan betul tangannya yang terampil. Tiba-tiba beliau menyuruhku mengambilkan kawat dan lempeng tembaga di laci meja.
Aku sempat bingung, apa benar beliau bicara padaku, kita belum saling mengenal.
Bor listrik dicolokkan ke stop kontak dan berputarlah mata runcingnya. “Kok bunyinya ndredeg, pasti ada yang luput.”
Beliau membongkar kembali casing bor dan mengotak-atik kotak kecil hitam sambil menggumam mengenai hal-hal yang tidak terlalu aku pahami.
Jam 12 kurang sepuluh menit, azan zuhur berkumandang menyapu siang yang terik.
Pak Bachrudin segera meninggalkan bor listrik yang belum selesai, badannya masih pretelan.
“Beruntung kerjaku jadi dokter mesin, operasi belum selesai pasien bisa ditinggal. Coba kalau dokter manusia, operasi belum selesai kalau ditinggal bisa kacau,” ucapnya sambil mengalungkan sarung dan sajadah.
Aku dan Pak Leo ikut serta sembahyang ke surau yang terlalu jauh dan segera kembali setelahnya.
Di jalan kami sempat berbincang-bincang, di balik raut wajahnya yang serius ternyata Pak Bachrudin sangat supel dengan orang baru seperti diriku.
“Kau saudaranya Leo?” Terdengar dari logatnya, Pak Bachrudin bukanlah orang Jawa.
“Bukan, Pak. Kami kenal belum ada sehari. Saya hanya pelayan toko di Nara.” Kujelaskan kronologi mengapa kami bisa datang kemari membawa printer yang rusak.
“Seharusnya hari ini saya jadwal jaga toko sampai sore, tapi karena printernya kecelakaan, mau tidak mau saya yang harus mengantarnya ke tempat reparasi. Beruntungnya kami, Pak Leo mau turut serta.” Aku selesai menjelaskan.
“Pertemuan yang tidak sengaja, kebanyakan memang mengubah rencana.”
“Betul sekali, Pak. Saya tidak jadi kerja, malah jadinya jalan-jalan.”
“Sebenarnya aku sudah pensiun, aku hanya melayani orang-orang tertentu saja, termasuk Leo. Orang baru lebih aku sarankan untuk datang dan memperbaiki barangnya di kota kabupaten saja, tempat reparasinya masih punyaku, hanya sahamnya sudah dibagi dua. Di sana tenaga karyawannya lebih banyak dan alat reparasinya lebih canggih.”
“Mengapa begitu, Pak? Padahal bisa untuk tambah-tambah rezeki.”
“Aku sudah tua, Nak. Lagi pula rezeki itu tidak hanya uang, relasi yang baik itu rezeki, hidup tenang juga rezeki. Kelak jika kau sudah tua, pasti paham. Kini aku sudah tidak bisa diandalkan seperti dulu. Sekarang paling hanya dua komputer atau satu mesin yang bisa kukerjakan dalam sehari. Aku beda denganmu yang masih muda, aku kerja karena memang untuk mengisi waktu luang saja, tak ada lagi hasil atau target besar yang ingin aku kejar lagi, Nak. Beda dengan kau. Tapi masih ada saja orang-orang seperti Leo yang percaya dan paham dengan keadaanku yang seenaknya ini, mereka tidak keberatan meski harus menunggu lama untuk barangnya sehat kembali.”
“Sesuatu yang meyakinkan memang rela ditunggu seberapa pun lamanya, Pak. Mungkin bisa saja pelanggan mencari yang lain, tapi belum tentu hasilnya sama seperti yang diinginkan.”
“Ya, begitulah orang keras kepala.” Pak Bachrudin tertawa.
Beliau kembali ke meja kerjanya, setelah selesai dengan bor listrik, printer kami masuk operasi. Tak butuh waktu lama, printer kembali normal seperti semula. Sempat dicoba dan hasilnya mulus.
Pak Bachrudin menolak bayaran dari Pak Leo, dariku juga. Katanya ada bayaran yang lebih besar dan menjanjikan dari pada uang.
Aku setuju, tapi dalam hal ini beliau menyediakan jasa dan kami akan membayar atas jasa yang telah kami dapatkan. Meskipun telah dipaksa, Pak Bachrudin tetap menolaknya.
Beliau mengantar kami sampai ke parkiran.
“Tunggu, siapa namamu anak muda?” tanyanya saat mobil yang kunaiki sudah berjalan.
“Nadif, Pak,” jawabku setengah berteriak.
Di kejauhan Pak Bachrudin terlihat mengangguk. “Kalau sempat, datanglah lagi.”
Aku balas mengangguk lewat jendela mobil.
Sebelum sampai, Pak Leo mengajakku makan di warung bakso yang cukup terkenal seantero Nara.
“Dif, Pak Bachrudin bukan orang yang banyak bicara apabila bertemu orang baru. Tapi tadi kulihat, sepertinya beliau menyukai anak muda sepertimu. Kunjungilah lagi, jika waktumu senggang.”
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog