Setelah kusapa, Ibunya celingukan mungkin takut perkataannya tadi didengar olehku, tapi aku berusaha berekspresi senetral mungkin.
“Penghapus yang murah ada, Mas?” tanyanya sopan.
“Ada Bu, mau yang harga berapa?” Kutuntun mereka ke etalase yang lebih masuk ke dalam toko yang berisi alat tulis lengkap. “Ibu mau yang harganya 20 ribu sampai seribu dapat tiga, ada semua Bu,” jelasku.
Tiba-tiba dari dekat meja kasir Laras berteriak.
“Bang Nadif, tolong.”
Aku segera datang. Rupanya seorang pelanggan membawa anak kecil dan menumpahkan pop ice-nya ke mesin printer.
Yayuk yang baru turun dari lantai dua tak kalah terkejut, rentalannya yang telah selesai kini basah dan lengket.
Komputernya juga ikut mati, kemungkinan besar CPU-nya terkena tetesan air dari printer yang ditaruh di atasnya.
Laras terlihat kalang kabut, ia segera mengambil lembaran kertas yang tidak terpakai untuk mengelap air yang membanjiri mesin printer.
Pelanggan tadi segera minta maaf dan sang anak yang belum paham dengan apa yang ia lakukan hanya diam dan menatap kami dengan polos seolah kelakuannya bukan masalah besar.
Beruntung pelanggan ini baik hati dan bersedia mengganti rugi. Tapi aku rasa printer masih bisa diperbaiki.
Alhasil aku dan pelanggan ini pergi ke tempat reparasi mesin di distrik sebelah, naik mobil milik beliau.
“Maaf, sekali lagi, Mas,” ucapnya. Aku masih mengemas CPU dan mesin printer ke dalam mobil.
“Tidak apa-apa, Pak.” Aku masuk mobil dan mengangguk dengan sopan. “Kejadian seperti ini sudah menjadi resiko kami, Pak. Saya atas nama teman-teman dan pemilik toko malah berterima kasih karena Bapak mau mengantar ke tempat reparasinya.”
“Sudah seharusnya seperti itu, Mas. Ini kesalahan saya karena lalai menjaga putra sendiri.”Kami mengobrol cukup lama, perjalanan ke tempat reparasi tidak sebentar karena letaknya yang cukup jauh dari Nara. “Saya juga dulu pernah kena kasus serupa seperti putra Bapak. Atau malah mungkin lebih parah,” ujarku.
Di perempatan yang tidak ada lampu merahnya mobil berhenti, Pak Ogah kewalahan mengatur lalu lintas yang padat merayap.
“Kasus bagaimana?”
“Saya dulu pernah dengan sengaja dan penuh kesadaran diri memasukkan air ke tanki solar mesin diesel penggiling kopi milik almarhum Ayah saya.”
Bapak di sampingku sedikit tertawa, namun masih memperhatikan keadaan jalan.
“Dulu usia saya masih lima atau enam tahun. Waktu itu saya tidak sendirian, ada satu lagi teman saya, dia perempuan dan manut-manut saja waktu saya melakukan perbuatan berdosa itu,” kataku sambil tertawa, perempuan yang aku maksud ini tentu saja Zahwa.
“Jadi di mesin alat penggiling kopi itu ada 2 tangki, yang satu ini air dan satunya lagi berisi solar. Kebetulan sekali, tutup dari tanki solar tidak diletakkan dengan baik oleh Ayah. Saya juga tidak paham dengan isi kepala kecil saya waktu itu, saya ambillah gelas plastik kecil bekas air minum kemasan, kemudian saya gunakan untuk memindahkan air dari tanki asal ke tanki solar.”
“Sungguh?” Katanya dengan nada tertawa.
“Betul, Pak. Seminggu lebih Ayah saya tidak bisa menggiling kopi, tiap hari mengutak-atik mesin diesel yang sudah parah kemasukan air. Tapi menurut cerita Ibu, dulu saya mengaku sendiri waktu Ayah kebingungan dengan mesin penggilingnya yang tidak mau menyala. Saya dengan polos bilang ‘Pak, kemarin Nadif pindahin air dari sini ke sini.’ Sambil menunjuk tanki air dan tanki solar. ”
Bapak baik di samping Nadif ini sepertinya paham tentang mesin, beliau tertawa dan menjelaskan satu dua hal yang sedikit bisa aku pahami.
Tak selang lama, kami sampai di tempat reparasi printer. Rupanya banyak mesin dan benda elektronik yang direparasi di tempat ini.
Terlihat beberapa TV tabung tergeletak tidak bernyawa, ada komputer dan CPU rusak, laptop rusak, mesin jahit rusak, hingga bor listrik rusak juga ada.
Tempatnya cukup besar, seperti rumah sakit bagi mesin dan benda elektronik.
Tak banyak karyawan yang bekerja di sini. Hanya seorang Bapak berkacamata yang rambutnya sudah putih.
Aku melihat sebuah mobil sedan merah yang bisa aku bilang cukup mewah di depan rumah ini. Mungkin punya seorang pelanggan lain.
“Assalamualaikum, Pak Bachru?”
“Waalaikumsalam. Sebentar,” kata Bapak berkacamata, ia terlihat sedang berusaha mengingat. “Leo?”
“Benar, Pak.” Mereka berdua berpelukan akrab seperti kawan lama.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog