Jam menunjukkan pukul dua belas malam, dan mataku masih bisa menangkap cahaya.
Banyak pertanyaan dan ocehan yang dahulu sering sekali Zahwa sampaikan padaku.
Beberapa ada yang tidak terdengar masuk akal, tapi aku tak pernah keberatan mendengarnya. Mungkin karena sudah terbiasa, jadi bisa cepat memaklumi.
Pertanyaan yang sampai sekarang masih kuingat salah satunya adalah, “Bagaimana cara melihat telinga sendiri tanpa bantuan cermin?”
Aku bingung bukan main saat Zahwa kecil bertanya itu padaku. Berhari-hari aku memikirkannya dan tiada kunjung menemukan jawaban.
Ocehannya yang lain, yang susah aku lupakan adalah tentang kecurigaannya pada ekor kucing, mereka senang sekali bergerak saat si kucing diam dan kadang susah diatur.
Si kucing juga kadang gemas dengan ekornya sendiri sampai menggigitnya, Zahwa berpikir bahwa ekor kucing adalah makhluk aktif yang punya nyawa sendiri.
Atau mungkin ekor kucing adalah semacam parasit yang akan mati jika makhluk yang ditumpanginya ikut mati.
Meskipun aneh dan hanya gurauan, aku senang saja mendengarnya, menceritakan apa yang ada di pikirannya hanya padaku.
Tak banyak orang yang tau soal keunikannya ini, ia tak mengatakan hal serupa pada semua orang. Hanya padaku, ibuku, dan ibunya sendiri.
Aku beruntung jadi salah satunya.
Semakin ia besar, hal itu semakin jarang ia lakukan karena kami pun jarang bertemu. Seharusnya ia bisa menceritakannya lewat telepon, tapi tidak ia lakukan.
Mungkin ia sudah besar dan bertambah sibuk. Sejujurnya aku sangat rindu masa kecil itu di jam-jam rawan seperti ini.
Entah apa alasannya, malam begitu nyaman untuk mengenang masa lalu.
Karena kantuk yang hilang entah ke mana, aku coba mengecek e-mail di ponselku. Aku diam-diam mengirim beberapa lamaran pekerjaan yang menawarkan gaji lebih besar dengan modal ijazah SMA-ku.
Walaupun begini, aku tetap punya keinginan besar dengan kehidupanku kelak.
Dipikir-pikir, gajiku di tempat fotokopi ini baru bisa digunakan untuk membeli rumah setelah kerjaku selama sepuluh tahun. Itu pun jika aku tak membelanjakannya sama sekali.
Semenjak ditinggal Ayah, aku harus mulai mengatur visi misi kehidupanku ke depannya.
Meskipun sejak kecil aku bukan anak yang manja, kepergiannya memberikan dampak yang amat besar bagiku dan juga keluargaku.
Beberapa peran Ayah mulai aku yang melakukan, seperti mengganti lampu, mengganti gas, menambal atap yang bocor, membenarkan sekring listrik yang putus, dan lain sebagainya.
Kuperhatikan beberapa lowongan pekerjaan sudah tutup, tetapi namaku tidak ada di daftar peserta wawancara. Sedih, tapi mau bagaimana lagi.
Di saat-saat seperti ini aku selalu ingat pesan Ibu tentang akan datang masa di mana banyak pesan yang datang padaku, tapi bukan pesan penolakan, melainkan penerimaan dan berita baik.
Habiskan jatah gagal dan ditolak sebanyak-banyaknya sekarang ini, agar kelak tua nanti bisa lebih jarang ditemui.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog