Read More >>"> Denganmu Berbeda (#44) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Denganmu Berbeda
MENU
About Us  

Lana menghentikan lari ekstra pesatnya, tepat saat mendapati Varen di depan mata. Ia beralih menunduk dengan embusan napas yang kasar, mengangkat lengan kirinya tinggi-tinggi—mengisyaratkan Varen untuk membiarkannya bicara lebih dulu. Paham tanda itu, sang pemuda hanya bisa mengerutkan glabela.

“Ren, gue mau!” seru Lana di sela embusan napasnya yang tersengal.

“Mau apaan?”

“Gue mau lawan enoclophobia!” seru Lana semantap-mantapnya.

“Oh, oke. Bagus.”

Varen tersenyum, memasukkan kedua lengannya dalam saku celana. Kemudian dalam sekali kedipan mata, Lana menyambar sepasang tangannya. Menggenggamnya sekuat tenaga.

“Tapi gue maunya sama lo! Cuma sama lo!” desisnya dengan aksentuasi.

🌻

Dua minggu berselang—

“Lan? Lo udah siap?”

Lana yang sedang menahan ponsel di antara telinga dan pundak itu bergumam panjang. Tampak kesulitan untuk mengeluarkan sebuah sepeda butut dari garasi kecil itu. Ia pun ekstra hati-hati untuk menuntun roda anginnya yang lebih rapuh dari kelihatannya; mencegah terdapat kerusakan lain atasnya.

“Euhm ... tapi kayaknya gue bakal telat.”

Lana menengadah sesaat seraya membetulkan posisi ponselnya. Namun bukannya kembali menuntun sepeda, justru sebuah tawa tercipta dari mulutnya—tepat tatkala menemui Varen dengan sepeda gunungnya.

“Kenapa harus telpon gue?” tanya Lana. Menyandarkan sepeda penuh karat itu ke pada pinggangnya; mematikan sambungan telepon, lalu memasukkan ponsel yang sama dalam tas pinggangnya.

“Gue pengen denger suara lo aja.”

Varen melakukan hal yang sama. Lantas setelahnya lekas mengayuh sepedanya mendekati Lana.

“Eh, tapi ... lo beneran mau pake sepeda itu?” desis Varen.

 

Gadis itu mengangguk. “Aslinya gue mau benerin setangnya dulu, agak nggak nyaman. Gue baru inget tadi, padahal acaranya pagi ini,” bebernya.

“Salah Kaya, sih. Dia kasih tahunya dadakan banget.”

“Nggak apa-apa, kok. Gue beneran niat ikut karna nggak punya kenangan berarti sama anak-anak. Dulu ... gue terlalu menarik diri dari mereka,” ujar Lana.

“Lo nggak beli baru aja? Itu dah nggak pantes dipake, lho.”

Lana tersenyum singkat, menepuk-nepuk sepeda di samping tubuhnya itu. “Keluarga gue gak berlimpah harta, Ren, gak bisa beli apa aja semaunya. Jangan dibandingkan sama keluarga lo.”

“Gue nggak sekaya itu!” sangkal Varen—tepat sedetik setelah Lana menyelesaikan ucapannya.

“Ooh, maaf; aku kira ... orang yang punya belasan mobil itu kaya,” sarkas Lana. Melantarkan sang lelaki menggaruk kepala—kausa bingung harus membalas apa.

“Ayo, kita pasti udah ditunggu sama mereka semua!” ajak Lana sekaligus menyudahi perseteruan mereka. Menuntun sepedanya menuruni tanjakkan serta menganjuri sang pemuda.

🌻

“OKE ANAK-ANAAK ... DALAM RANGKA KEBAHAGIAAN SELESAINYA UJIAN TENGAH SEMESTER, KITA SEMUA—SISWA KELAS X DAN XI—AKAN MEMULAI KEGIATAN SEPEDA SANTAI BERSAMA!”

Mayoritas siswa-siswi berseru ceria; merasa kegiatan sederhana itu amat-sangat bermakna. Jauh berbeda dengan Oyu nan mencomel tanpa jeda.

“Serunya sepedaan apa, sih? Nggak ada elite-elitenya! Masak sekolah bergengsi gini sepeda santai? What a silly! Study tour, kek! Yang nggak bikin jenuh dan bisa dijad—”

“Mending lo bikin acara sendiri, ya? Gue pusing dengernya!” desis Septhian sembari memalingkan muka.

“Y-ya, tapi ... bener, ‘kan Kay?! Kegiatan ini nggak guna?” ujar Oyu, berusaha mencari pembelaan terhadap Kaya—yang kebetulan berada di sandingnya.

“Gue yang mencetus acara ini. Kalau nggak suka, kenapa ikut?!” ketus Kaya.

Syok, Oyu hanya mencelikkan netra. Gadis itu semakin gondok selagi Septhian tergelak. Lelaki dengan tingkah random itu tampak sangat manis dan bahagia—yang cukup jarang bisa dilihat sepuasnya.

“Untung pacar gue, kalau nggak udah gue lempar ke ngarai,” cicitnya. Bertepatan dengan bibirnya yang tersenyum tipis, dengan netra yang memandang kekasihnya.

“ARE YOU GUYS READYY?” seru Miss Any kedua kalinya.

“READYYY!”

🌻

“Lo nggak ikut sepedaan?”

Irena terlonjak, buru-buru mendongak. Tepat pada undak-undakan—beberapa puluh senti di atasnya—berdiri sesosok lelaki beraura misterius yang meneruskan langkahnya. Menuruni anak tangga.

Dengkusan terdengar, apalagi ketika lelaki itu sudah berdiri di belakangnya.

“Gue nggak punya kewajiban untuk ngomong sama orang asing!” ketus Irena.

Yeeshai—lelaki tadi mengendikan bahunya. Mulai menuruni anak tangga, melalui raga Irena yang melengos darinya.

“Oh, ya.” Irena kembali menoleh dengan sinis ke Yeeshai, sedang lelaki tadi tersenyum. “Fyi, nih sekolah mau ditutup. Gue harap lo nggak terkunci di sini.”

Yeeshai terkekeh, melangkah menjauh.

Kala gadis itu baru menyerapi ucapan Yeeshai, ia cepat-cepat bangkit. Berlari mendahului lelaki itu dengan pesat. Spontan mengumpat saat benar-benar menemukan gerbang sekolah yang tertutup rapat.

Irena mendorong kasar gerbang besi di hadapannya. Menggoyah-goyahkannya, tetapi tak berhasil menghasilkan apa-apa. Namun bukannya membantu atau apa, Yeeshai malah tergelak—yang segera Irena balas dengan satu decak.

“Masih sempat ketawa?! Lo sinting atau gimana?” ketusnya, sama sekali tak menunjukkan sifat menggemaskan atau apa pun. Namun berhubung Yeeshai segila itu—lebih gila dari Varen, mungkin—pemuda itu terkekeh kedua kali.

“Belajar untuk pahami sistem gerbang ya, Cantik.” Yeeshai melangkah mendekat, menarik gerbang itu sampai terbuka setengahnya. “Tarik, bukan dorong.”

Decak sinis kembali terdengar nyata. Lalu setelahnya, Irena mendorong tubuh Yeeshai sekasar mungkin dari hadapannya. Gadis dengan bulan kelahiran Februari itu memilih untuk bergegas pergi dari sana.

“Irenaa!” Gadis itu menengok heboh sampai rambut-rambutnya terombang-ambing di udara. Melempar tatapan dingin. “Gue Yeeshai.”

“Nggak nanya!”

Irena menggerakkan dua tungkainya lagi. Menghilang dari pandangan Yeeshai dengan taksi yang membawanya pergi.

🌻

“Ah!”

Lagi-lagi Lana berseru tertahan. Sepeda tua itu sungguh-sungguh sukar untuk ia kendalikan. Akibatnya, ia jadi tertinggal di belakang lantaran beratnya setiap kayuhan. 

“Lagi, Lan?”

Lana menyengguk, menyerah. Kesal. Lelah.

Varen menghentikan kayuhannya, mengerem roda anginnya dan menyeretnya mundur—di mana Lana berada. Padahal lelaki itu kerap kali menjeda laju sepedanya, akan tetapi Lana masih saja tertinggal jauh di belakang.

“Sini, tukeran aja sama gue!” seru Varen. Menunjuk sepeda gunung bercorak biru yang tengah ditumpanginya.

“Nggak. Nggak apa-apa, kok.”

“Lan!” Varen mengerutkan alisnya tidak suka. “Ayo cepet, kita nanti ketinggalan, loh!” serunya.

“Pasti ada solusi lain ... jangan, ah. Jangan tukeran!”

“LANNN?”

Lana mengembuskan napas. Karena paham Varen akan terus mendesaknya meski ia akan menolak dengan alasan apa saja—Lana gegas turun dari sepedanya. Merengut dan menatap sang pemuda sececah saja.

“Siniin sepedanya!” Lana mendorong objek itu ke depan, yang segera dicengkeram Varen tanpa keraguan. “Sekarang lo ambil ini!”

Varen mendongsok sepeda keluaran 2018 itu sampai ke sanding tubuh Lana. Yang sama, lekas Lana raih secepatnya.

 

“Udah sana lo duluan. Gue jagain lo dari belakang,” titah Varen.

Tak mau banyak berkeras kepala, gadis itu menyengguk tanpa tenaga. Mulai mendaratkan pantatnya pada saddle sepeda di belakang tubuhnya.

“Udah, sana!”

“I-iya bentar!”

“Bisa, Lan? Terlalu tinggi, nggak?”

“Bisa, bisa!”

Candra yang berada beberapa meter di depan mereka—memusatkan pandangan pada keduanya—tak lagi berkata-kata. Pemuda itu melihat semuanya, mendengar keseluruhannya. Hasrat untuk membantu Lana jelas ada, tetapi ... bukankah ia sedang memegang satu janji?

“Udah loyo aja, Can!”

Meski gelagapan, kontan saja Candra memutar arah kepalanya. Mengindahkan kekehan Dienka yang terlampau tiba-tiba. Mengembangkan senyuman, Dienka mengulurkan tangan kirinya. Menyentuh punggung tangan Candra kendati sekilas saja. 

“Semangat, Can!” bisiknya.

Setelah memalingkan iras, sang wanodya menyeringai samar. Bahkan, setelah terlewat beberapa saat, ia masih menyengir lebar. Membuat hati sang pemuda mencair, di sela perasaan hangat yang menyamar.

Hingga pada akhirnya, Candra memilih untuk mengabaikan Lana—yang memiliki Varen di sisinya—nan tengah menatap keselarasan keduanya.

“HAHHH! HAHHH! HAH!”

Terkesiaplah Lana; Varen sungguh-sungguh mengerahkan segenap tenaga pada sepeda miliknya. Berusaha menjajarinya, tetapi belum bisa. Karena sekuat apa pun Varen memacu sepeda usang itu, tetap saja, gerakannya terbatas dan justru menyiksa.

“Udah, Ren! Ayo, tukeran balik aja!”

“NGGAK!” tegas Varen.

Pemuda itu menyalangkan netra dengan atensi lurus-lurus ke muka, mengepalkan setang tua itu penuh upaya. Dia harus menyelesaikannya. Dia harus melampauinya. Ini demi Lana. Ya, semata-mata untuknya.

“Tapi lo—”

“Gue bisa!”

Lana mendengkus. Membiarkan Varen—yang berasak menekuk punggungnya tajam—terus menggenjot dengan rampus.

“Bilang gue kalau lo capek.”

“Iya.”

“Jangan sungkan!” cibir Lana setengah menyindir.

“Iyaaa.”

Lana memalingkan muka, tersenyum sekilat. Baginya, apa yang Varen lakukan ini sangat manis dan memikat.

“ANAK-ANAK, TIDAK ADA YANG TERTINGGAL DI BELAKANG, BUKAN?!”

Hampir keseluruhan anak menoleh ke belakang bersamaan, mengawasi. Di detik yang sama, Varen berimbuh mempercepat gerakan kedua tungkainya yang mulai terasa lunglai. Lemas pinggangnya terasa, tapi ia menahan semuanya. 

“Nothing, Ma'am!” seru salah satu siswa, sampai keseluruhan dari mereka serempak menghadap ke depan. Kembali pada apa yang seharusnya mereka lakukan.

Dengan desah lirih, Lana melambatkan laju kayuhannya.

Ia tak akan memaksa Varen untuk mengambil balik roda anginnya. Itu jelas akan ditolak dengan kentara. Hanya saja, ia ingin mengamati Varen selekat-lekatnya. Memastikan sang pemuda tengah baik saja.

“Kenapa mundur? Udah, di depan aja!”

“Gue mau sama lo!”

“K—”

“Gue maksa.”

Varen mengibas-kibaskan tangannya tanpa daya, mengiyakan. Merasa mendapat persetujuan, Lana pun kian melambatkan laju sepeda pada genggaman; berhasil menjajari Varen yang bisa dibilang berkecepatan 6km/jam lantaran terlalu lamban.

“Itu nggak ada yang rusak, ‘kan?”

“Nggak ... kok ...,” jawab Varen. Masih berupaya terlihat baik-baik saja.

“Tapi beneran, Ren. Lo boleh tukeran sama gue sekarang!”

“Nggak perlu, Lan, nanti badan lo ceking! Udah, anggep aja gue lagi olahraga—bakar lemak.”

Lagi-lagi Lana menoleh, mencuri-curi pandang. Rupanya, lelaki dengan shio Kuda itu suah bersimbah peluh. Malahan, kelihatannya Varen membanjur tubuhnya dengan air; eksesif kuyupnya.

“Semangat, ya, Varen! Bentar lagi sampai! Beneran! Demi harga diri lo!” Mendengar gumaman Varen untuk menyemangati dirinya sendiri, melantarkan Lana terkikik geli.

“Ren!” Lana buka suara; yang segera Varen sahuti dengan gumaman. “Semangat!”

 

Meski sederhana, satu seruan itu benar-benar memacu Varen untuk kembali mengayuh sepeda sekuat tenaga. 

🌻

“AKHIRNYAAA ASTAGAA, GUE CAPEK BANGET! GILA KAKI GUE MAU PATAH!” rengek Oyu tersedan-sedan. “Ini sepeda santai apa sepeda balap, sih?!” keluhnya lagi seraya melepas topi olahraganya. 

“Alay! Lihat tuh my husband Varen! Sampe mandi keringet!”

Beberapa orang menoleh serentak ke Varen yang merebahkan diri atas hamparan rumput halus. Lantas—dengan posisi yang sama—meraup oksigen sebanyak-banyaknya, berhubung udara di sana jauh lebih bersih banding kota kelahirannya, Jakarta.

Oyu hanya berdecak dingin. Tangannya segera mengeluarkan kacamata hitam dari tas punggung penuh glitter—yang anehnya terlihat sangat cocok untuknya.

“Kayaknya lo gerah. Gue kelebihan minum.”

Oyu menurunkan kacamata yang telah dikenakannya. Menatap botol mineral yang Wikan—XI Bahasa 01—ulurkan untuknya.

“Gue nggak suka minuman plain,” tolak sang gadis secepatnya.

“Yaaa, air mineral jauh lebih baik dari minuman manis.”

“Gue nggak mau jadi lebih baik. I love myself,” sinisnya.

Wikan tersenyum simpul, menarik tangannya kembali sebab ditolak mentah-mentah oleh sang wanodya. “Ya udah, panggil gue aja, ya, kapan pun lo butuh ...?”

“Nggak butuh!” tekan Oyu. 

Wikan melenggang pergi dengan sedikit senyuman, diiringi cibiran Oyu meski tanpa suara. Sungguh, gadis itu muak dengan siapapun yang mendekatinya—terkecuali Septhian Attella, pastinya.

Kala Wikan pergi dari hadapannya, Oyu baru mendapati Septhian yang entah kenapa segera membalikkan raga. Tersentak, gadis itu segera beranjak. Mengejar Septhian dengan langkah kecilnya.

Oyu terus membuntuti Septhian sampai keduanya menjauh dari perumputan. Pemuda itu terus menyeretnya pergi sampai Oyu tak tahan lagi, “Iyan, berhenti! Gue mau minu—”

“Apa?! Ngapain lo di sini? Sana lo sama Wik-wik itu aja!”

Netra Oyu mendelik tajam, “Wikan?”

“IYA!”

“Ck, apaan, sih? Gue udah usir dia, ya!”

“Lo nolaknya kurang kasar!”

“Kurang kasar gimana?!”

“Maki dia, kek!”

"Kalau dia sakit hati, gimana? Kalau gue diguna-guna kayak yang di film-film, gimana? Nanti gue masuk serial azab, dong! ‘Pacarku Diguna-guna Akibat Memaki Lelaki yang Adalah Pelaku Guna-gunanya’. Are you wish that’ll happen?”

Septhian terbungkam, tetapi tak lama karena segera berdecak lirih. “Gue nggak suka!"

“Emang lo pikir gue suka liat lo marah kayak gini?” sentak Oyu berapi-api.

“Tapi lo selalu bikin gue marah!” hardik Septhian balik.

“Ck, apaan, sih?! Udah, lah! Kita putus!” seru Oyu guna menyudahi perdebatan mereka.

“Oke!”

“OKE!”

Keduanya mencibir sesaat, kemudian sama-sama membalikkan badan dan angkat kaki. Berpencar tanpa sepatah kata lagi.

🌻

“Ushh, kaki gue! Ya ampun kaki gue! Astaga, kaki gue!”

“Hai ...,” lirih Lana, bersulih termendak di sanding sang lelaki.

Melihat kedatangan gadis yang sudah dinantikannya, Varen menegapkan tubuhnya seketika. Memusatkan atensi setelah menyeringai laksmi.

“Habis dari mana?”

“Beli minum sama Candra, Dienka,” terangnya. Gadis dengan tahun kelahiran 2003 itu beralih mengacak-acak isi belanjaannya.

Sementara netra Varen jelalatan, mencari dan akhirnya mendapati Candra-Dienka yang terkekeh bersama. Entah keduanya membicarakan apa, tetapi itu berhasil membuat hati Varen turut merasakan kehangatannya. Terdapat afeksi yang terpancar dari tiap tatapan keduanya. Itu membuatnya turut bahagia. 

“Kenapa?” tanya Lana tatkala sadar di mana arah tatapan lelaki itu.

Varen tersenyum, “Andaii, ya, hubungan kita seharmonis itu?”

“Emang kita nggak harmonis?” 

Lana menelisik wajah Varen, membuat laki-laki itu gelagapan hingga akhirnya hanya bisa memaksakan gelak tawa. Namun kini pandangan sang gadis bukan pada durja Varen, melainkan keningnya yang basah kuyup.

“Gila, keringat lo belum kering ternyata.”

Lana mengulum bibirnya, berlekas mengipasi iras Varen dengan kedua telapak tangannya—berharap dengan itu Varen bisa jadi lebih baik dari sebelumnya.

“Nggak apa-apa ....” Varen menghentikan gerakan Lana, menggenggam tangan gadis itu lembut. “Lo di sini udah bikin hati gue adem,” godanya kemudian.

Lana meringis sekilas. “Maaf, kamu gagal. Terlalu klasik dan klise.”

Keduanya tergelak tanpa alasan, menyisakan satu senyuman candu yang jarang Lana tampakkan.

“Nih.” Lana menyodorkan kemasan tisu kepada Varen; yang gegas diterimanya dengan seringai tampan. Setelah mengambil beberapa lembar dari kemasan, lelaki itu menyeka semua peluh pada kening ataupun leher secara perlahan. Mulai terlena untuk melakukannya, bahkan tenggelam dalam lamunan penuh angan.

Gadis itu tak kunjung mengalihkan pandangan dari sang lelaki—yang kini tengah mengusap tengkuknya—walau sedetik. Senyuman simpul pun tercipta.

“Makasih ya, Ren? Lo udah mau bertahan sampe gue berhasil luluh,” celetuk Lana bersungguh-sungguh.

Varen mengangguk, masih menyambung kegiatannya. Namun kalakian, ketika benar-benar meresapi ucapan gadis yang dicintainya itu, ia melotot sensasional; bahkan berdiri dalam satu sentakan.

“MAKSUD LO?!”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dream of Being a Villainess
865      484     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Aditya
1161      473     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
12197      1916     4     
Romance
Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Di saat aku hampir menyerah, laki-laki itu datang ke dalam kehidupanku. Laki-laki itu memberikan warna di hari-hariku yang monokromatik. Warna merah, kuning, hijau, dan bahkan hitam. Ya, hitam. Karena ternyata laki-laki itu menyimpan rahasia yang kelam. Sebegitu kelamnya hingga merubah nasib banyak orang.
Ghea
418      268     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
The Secret
335      217     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
KataKu Dalam Hati Season 1
3535      1069     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
A Day With Sergio
1080      523     2     
Romance
Nightmare
391      264     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Kesempatan
16769      2684     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Lazy Boy
4191      1114     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...