“Lan, 1+1 berapa?”
“Dua.”
“Kalau aku tambah kamu?”
“Hancur dunia.”
Varen terkekeh, sama halnya dengan Lana. Namun gadis itu sedikit gengsi untuk menunjukkannya.
“Gimana bersih-bersih lo pagi ini?”
“Uhm ... normal aja. Cuma gue nggak secapek biasanya.”
Varen manggut-manggut, “Syukur, deh. Pasti karna perabotan yang gue beli, ‘kan?”
“Nggak. Karna gue dibantu Edo.”
Lelaki berzodiak Leo itu tersenyum kecut, sedang Lana tertawa puas. Sangat jarang—atau malahan langka—untuk memergoki Varen tengah marah pun merah telinga; dan kala mendapatinya, itu menyenangkan bagi Lana.
“Mau coba lagi?"
Tercipta gelombang pada kening Lana yang tengah berusaha menerka. “Apa?”
Varen menoleh ke segala arah, seolah mencari celah. Setelah keadaan sudah pasti aman, ia mencondongkan badannya ke telinga Lana. Berbisik lirih, “Lawan enoclophobia.”
“Ck, lo apaan sih pake bisik-bisikan segala?” Didorongnya tubuh Varen untuk menjauh darinya.
“Biar nggak ada yang denger.”
“Emang kenapa kalau denger?”
Varen berbisik lagi, “Nanti pawang lo ngamuk.”
Lana membelalang. Dara berzodiak Virgo itu merasa kosong saat tahu siapa ‘pawang’ yang Varen ucapkan dengan lancang. Itu jelas membuatnya berang.
“Gue bukan macan!” ketus Lana. Mempercepat langkahnya untuk menuruni tangga demi tangga menuju lantai terdasar.
“Maaf.” Lana masih melanjutkan tarikan langkahnya. “Maaf, Callia Lana Galatea!”
Lana tak menjawab. Masih meneruskan langkahnya.
“Nggak mau coba temuin Candra?”
Pertanyaan sensitif itu berhasil memperlambat laju langkah Lana. Namun atensinya masih pada undakan tangga di bawah tungkainya.
“Kalian bisa baikan, ‘kan?”
“Kalau gue malah pacaran sama dia?” Gadis itu hanya asal menjawabnya, sekaligus menggoda sang pemuda. Namun seperti dugaannya, Varen bisa membalas ucapannya dengan mudahnya.
“Nggak akan!” seru Varen seyakin-yakinnya.
“Kenapa?”
“Kan ada Dienka.”
Langkah Lana kini sungguh-sungguh terjeda. Kehampaan pun kembali menyapa. Barangkali lelaki itu selalu benar, meski kadang menusuk relung hati dengan saksama. Itu lumayan lara untuk dirasa.
Lana memutar tubuhnya, menghadap Varen yang berada tepat di belakang raga. “Udah, ya? Bentar lagi ujian, gue nggak mau membebani pikiran.”
Varen menyengguk seraya melangkah mendekat. Nekat mengulurkan lengannya, menyelipkan anak rambut Lana ke balik telinga. Meski sederhana atau malah terlampau biasa, Lana sukses membatu karenanya.
“Gue pergi dulu, ya?”
“Tu-tumben? Biasanya lo buntutin gue terus.”
Seringai miring kembali tercipta. Varen pun hanya mengangkat dagunya, menunjuk sesuatu di muka mereka. Penasaran akan apa yang Varen coba perlihatkan, lekas saja Lana mengarahkan pandangan. Mencari yang Varen bicarakan.
Terperangah merupakan reaksi pertama tatkala matanya bertubrukan langsung pada netra sayu milik Candra. Lelaki itu sungguh berdiri persis di depan tubuhnya. Bagaimana bisa ia tak menyadarinya?!
Mata yang biasanya sering ia tatap lamat-lamat, kini terasa berat meski sebatas dua detik terlewat. Perubahan drastis ini teramat miris.
“Bye, Lan! Semangat ujian!”
Lana mendelik. Gegas membalikkan tubuhnya untuk membuntuti langkah Varen, tetapi Candra buru-buru mencekal lengannya. Tak kasar atau malah bisa dibilang tanpa tenaga, tetapi sentuhan itu ... seolah memintanya untuk tak berlalu begitu saja.
“Gue nggak bisa lo hindarin terus, Lan. Udah cukup lama dan gue nggak mau merusak semuanya.” Candra mempererat genggamannya pada lengan Lana. “Gue nggak akan nembak lo, ataupun paksa lo untuk tetep ada di sisi gue ... lo nggak perlu khawatir.”
Lana melemaskan pundaknya, menoleh pada Candra yang menatapnya penuh rasa.
“Satu kata yang seharusnya gue ucapin dari dulu adalah—maaf,”
“Dua kata untuk balas ucapan lo—gue maafin.”
Candra melepas pegangannya, membiarkan Lana membalikkan tubuhnya untuk menatap manik matanya leluasa.
“Gue kangen lo.”
“Gue rindu.”
Keduanya mengucapkan serempak, membuat atmosfer di sekitar mereka menjadi kikuk mendadak.
Candra menggaruk tengkuknya, berbeda dengan Lana yang bersilih tertawa. Ia selalu merindukannya. Merindukan masa itu. Kala keduanya bisa selalu bersama, tanpa perlu repot memikirkan rasa.
“Ada hal spesial yang mau lo sampein?” tanya Lana, berusaha meyakinkan niat Candra yang sekonyong-konyong berani mendatanginya setelah lama tak saling bertatap muka. Candra selalu menghargai apa pun kemauan Lana, bahkan termasuk untuk menghindarinya.
“Gue mau janji sama lo.”
“Janji?” Kedua alis Lana bertaut, menuntut penjelasan.
“Gue janji akan cinta Dienka, Lan. Untuk lo.”
Lana melotot sempurna, bertanya-tanya: sejak kapan Candra tahu rasa Dienka?
“Dia salah satu alasan besar lo hindarin gue, ‘kan?”
Lana mengangguk, mengakuinya. Kendati sakit, Lana memaksakan satu senyuman pada bibirnya. Dienka harus bahagia, Candra harus bahagia, ia juga.
“Tapi niat gue ini gak cuma didasari kemauan lo. Bukan!" Candra menggeleng tegas. "Karena sekarang gue pun sadar setulus apa rasa Dienka ke gue. Dia gak suka gue karena fisik atau ketenaran gue aja. Dia bahkan menerima sisi gelap gue yang bisa ngelukain dia kapn aja. Dia tulus, Lan—kayak yang pernah lo sampein dulu.”
Lana mengembangkan senyumnya, kali ini setulus mungkin.
“Gue nggak mau selalu egois—untuk sengaja menutup rapat kedua telinga, membutakan kedua netra, membungkam perasaan, juga menyembunyikan diri dari cinta.” Candra menghembuskan napasnya, “Gue akan coba. Gue akan berusaha. Dan ini bukan candaan belaka.”
Dengan iras yang sukar untuk dijelaskan, Candra melanjutkan ucapannya. “Gue tahu dan gue sadar ... sampai kapan pun lo nggak punya ruang hati buat gue.”
“G—”
“Kalaupun ada ... lo bukan ditakdirkan buat gue, Lan. Lo untuk Varen seorang,” potong Candra dengan senyuman getirnya.
Lana menunduk dengan netra yang kentara berkaca-kaca. Tetesan air dari pelupuk mata pun mulai menjatuhi pipinya. “K-knapa lo bisa yakin? Hidup kita nggak cuma di SMA, Can. Masih ada puluhan tahun ke depan! Mungkin dua puluh. Tiga puluh. Atau empat puluh tahun lagi!”
Lana mengusap lelehan tirta menggunakan lengannya. Baru beberapa saat saja, pipinya sudah kuyup akan air mata.
“Gue tahu, Lan.” Candra mengembangkan senyuman yang lain, “Tapi emang lo tahu ... apa yang udah Varen lakuin ke lo selama ini?”
Lana menghirup air pada hidungnya yang hendak menetes, mendongak, dan memandangi Candra lurus-lurus.
“Gue nggak pahamm!” rengeknya sesenggukan. Kembali menyeka tetesan demi tetesan kristal bening yang tercipta dari sumber yang serupa.
“Intinya ...." Candra melangkah mendekat. Menyeka satu air mata yang menetes perlahan pada pipi Lana dengan ibu jarinya. “peran heroik Varen di masa pembullyan itu jauh lebih besar daripada gue.”
Lana kian bertanya-tanya akan maksudnya.
“Cuma, Lan ... lo nggak sadar.”
[🌻]
‘Maaf, Lan, yang di rooftop cuma bercanda, kok, hehe.’
Candra melirik Sertraline yang ada pada genggaman, juga secarik kertas yang baru saja dibacanya. Namun entah termakan egois atau apa, Candra malah menggerakkan tungkainya untuk membuka tempat sampah di sandingnya. Melempar dua objek berharga itu dengan santainya.
[🌻]
“Lo pikir gue takut?” Elard menyeringai, membuat Candra maju beberapa langkah untuk melayangkan tinju lainnya—kalau saja tubuhnya tidak di tahan paksa oleh Lana. “Gue bahkan nggak keberatan kita adu jotos sampai salah satu di antara kita gugur!”
Merasa direndahkan Elard meninggalkan kelas mereka dengan umpatan yang terus ia ucapkan. Perih yang terasa pada rahangnya membuatnya memutuskan untuk angkat kaki dari kelas Lana.
“Eitss!” Varen mendorong tubuh Elard, menuntut lelaki sangar itu untuk tetap di tempat.
“Heh, apa-apaan lo sentuh gue seenaknya?! Lo tahu siapa gue, hah?!”
Varen tersenyum lebar, terkekeh samar. “Tahuu, dong ... lo Elard Arkana, kakak dari Dienka Anindita, ‘kan?”
“LO TAHU DARIMANA, AN—”
“Shush, shush, shushh ... rilex ma boyy.”
“Jelasin sekarang atau gue buat kepala lo jadi makan malam untuk Cindy!”
Varen kembali tergelak lirih. “Lo justru lebih desak gue untuk kasih penjelasan kenapa gue tahu fakta itu, banding jaga rahasia?"
Elard menderum, menyambar kerah Varen sekasar mungkin. Varen sampai-sampai terseret ke depan dan sedikit membungkuk pada Elard yang dua puluh senti lebih pendek darinya.
“Lo akan mati kalau lo sebar berita itu!”
“Lo nggak akan berani.”
“Lo nantangin gue?!”
“Dan lo mau bikin Dienka kecewa?”
Berdecak, akhirnya Elard mendorong Varen untuk menjauh dengan kasar—meski tak sekasar tadi.
“Gue tahu, kok, alasan lo rahasiain semuanya.” Varen membenarkan kerah seragamnya. “Lo nggak mau bikin Dienka malu, ‘kan? Karna ... uhm, yeah ... ketidaktertiban dan kebrutalan lo.”
“Lo nggak ngerti banyak akan gue, jadi gue maksa lo untuk diem!”
“Menurut lo Pak Burhan itu bapak siapa? Gue?” kekeh Varen, menciptakan desahan kuat dari Elard.
“Cepet bilang apa mau lo!” desisnya muak.
“Apa mau gue?” ulang Varen. Menatap langit-langit, berlagak berpikir.
“Gue ....” Varen mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat posisi tubuh Elard menunduk ke belakang—hampir seperti kayang. “mau lo berhenti gangguin Lana."
Varen tersenyum, menggeleng berulang-ulang. "Ah, enggak. Gue paksa lo untuk itu!”
[🌻]
Lana tersenyum, senyuman miring yang mengintimidasi. “Ternyata lo cuma mau famous?” Lana berdecak beberapa kali seraya menggeleng. “Nggak sekalian jual diri aja? Gue yakin nama lo bakal tercantum di Breakbreak News dua minggu lebih. And congrats, you’ll must be popular.”
“LO!?”
Lana menghempaskan lengan Areum yang bermaksud mencengkam lengannya.
“Hari ini gue lagi sensitif. Lo milih hari yang salah buat gangguin gue,” ujar Lana sebelum berlalu dengan ringannya.
Areum menggeram. Perempuan dengan surai berwarna caramel itu menjerit frustrasi lantas melenggang pergi.
“Lo tahu, nggak, apa yang hibur gue hari ini?”
Areum tersentak. Gadis itu sampai melompat saat Varen yang berdiri tegap di samping pilar bangunan mengejutkannya.
“Ng-nggak ...?”
“Sifat lo yang terlalu tinggi diri. Itu lucu. Sumpah.”
Areum melotot, wajahnya memerah seperti apel. Emosi.
“Sekali lagi gue lihat lo gangguin Lana, apalagi lukain dia ... gue akan buat lo mendekam di penjara. Minimal tiga tahun, itu sih menurut Undang-Undang,” tekan Varen dengan tatapan melagak.
“Lo nggak akan berani!” seru Areum seraya menuding iras Varen dengan mudahnya.
“Oh, ya? Mau gue kirim semua bukti ke Mahkamah Agung?” Varen tergelak sinis. “Iya. Gue tahu nggak cuma Lana korban kecaperan lo.”
Terlanjur gusar, Areum mengangkat tinggi tangannya. Berupaya menampar pipi Varen sekuat-kuatnya, tetapi lelaki itu segera membekam lengannya. Menghentikan pergerakannya.
“Gue bakal bikin hidup lo menderita kalau lo abai akan ancaman gue. Ngerti?”
Areum memejamkan kedua netranya kuat-kuat. Menganggut patah-patah.
“Kalau kali ini lo mau selamat ... lo harus himbau ke semua orang, untuk JANGAN BERANI SENTUH LANA GUE.”
[🌻]
Baru dua langkah menyesak masuk dalam kerubungan, kepalanya sontak berasa pening. Gayang. Bibirnya bergetar, napasnya sesak, dan ia tak lagi bisa menggerakkan keseluruhan anggota tubuhnya.
“Ekhh!”
Tubuh Lana terhuyung ke belakang. Jatuh terbanting di atas keramik putih itu dengan bibir membiru.
“Ck, ini apaan sih di depan kelas rame banget?!” gerutu Varen, mendorong orang-orang yang menghalangi langkahnya sampai kerumunan itu membuat jalan untuknya.
Kala mereka menyibakkan lintasan, serta merta netra lelaki itu membelalang saat menemukan Lana terkapar tak berdaya—tetapi tak satu pun menyadarinya.
“Lana!” Varen berlari mendekat, segera menggotong raga Lana tanpa berlama-lama. “UKS terdekat mana?! UKS terdekat!” pekiknya.
“Lo lupa ingatan atau gimana?” cibir Oyu yang kebetulan baru tiba dan berdiri tak jauh darinya.
“Gue lagi panik, ini! Buruan sebutin di manaa!” decak Varen, mendesak perempuan borjuis itu.
“Ish ... itu tepat sehabis tangga lantai dua!” tunjuk Oyu.
Hingga lantas tanpa berlama-lama, Varen menggotong tubuh Lana. Berlari menyusuri tangga dengan ribuan doa dalam benaknya.
Pliss, semoga Lana baik-baik aja.
“Lo apain Lana?!”
“Menurut lo, gue sakitin dia?”
Mendengkus, Candra mendorong Varen menjauhi Lana yang terbaring lemah di atas sana. Ambil alih untuk menjagai sampai Lana terjaga.
“Makasih,” cicit Candra meski sesungguhnya enggan.
“Nggak perlu. Itu udah tugas gue.”
[🌻]
“Gue denger lo mengancam banyak anak yang ganggu Lana. Lo berhasil bikin mereka berhenti,” lirih Tania, menghentikan langkah Varen yang lumayan tergesa. “Tapi kenapa lo nggak ‘menangani’ gue?!” pekik perempuan itu setelahnya; yang merasa terasingkan dan terabaikan.
“Gue? ‘Menangani’ lo, kak?”
Varen menyengir, melonggokkan kepala pada Tania yang berdiri tegap di depan pintu Multimedia.
“Gue cuma bisa menanti lo selesaiin semua aksi pelampiasan lo, kak. Gue tahu lo merasa kosong selama ini. Gue nggak sampai hati untuk buat hati lo tambah hancur dan mungkin ... kena mental,” tekan Varen lantas berlalu.
[🌻]
“Gue tahu karna gue ada di sana, Lan. GUE ADA DISANA. Mirisnya gue gak pernah ceritain yang sesungguhnya ke lo. Gak menerangkan kalau Varenlah tokoh utamanya sekama ini."
Jelas rasa bersalah memadati dan memenuhinya. Menyesakkan relung hati Lana.
“Lo boleh nggak percaya; cuma gue minta lo untuk lebih hargai perjuangan Varen, Lan. Gue nggak tahu selebihnya, tapi gue yakin seyakin-yakinnya ... Varen udah lakuin lebih dari itu," desis Candra. “Perjuangan dia lebih besar daripada gue yang cuma mengemis cinta ke elo.”
Lana sedikit membungkukkan tubuhnya, mengintensifkan tangisan yang tadinya tanpa suara.
“Lo harus berusaha sekeras mungkin, Lan ... untuk terima dia.”
'Meski entah kenapa gue yakin, lo udah terima dia sejak mula,' batin Candra dalam haru-biru yang nyata.