Read More >>"> Denganmu Berbeda (#31) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Denganmu Berbeda
MENU
About Us  

“Mama seneng banget hari kamu normal lagi!” pekik Olena, senyumnya merekah cantik. Mengundang senyuman dari Lana, Candra, ataupun Dienka. “Sekarang kamu bener-bener nggak apa-apa?"

“Iya, Ma. Lagian kalaupun aku masih dirundung, aku udah bisa ngelawan mereka tanpa butuh bantuan Dienka ataupun Candra!” ujar Lana bangga.

“BENER, TANTE! Dienka kagum banget, ucapan Lana lebih pedes dari sambel legenda Nenek Dienka yang pedasnya tiada tara!” serobot Dienka, mengundang tawa ketiganya yang pecah bersamaan.

“Tante berterima kasih banget sama kalian, ya? Dienka ... Candra. Kado kalian juga. Tante suka!” Keduanya mengangguk bersamaan, hanya saja Dienka masih terlihat amat canggung. “Dienka ... kalau kamu butuh apa-apa yang sekiranya tante bisa bantu, cepet-cepet ke sini, ya! Tante tuh serba bisa, loh!"

Dienka tertawa kecil sembari manggut-manggut mantap. Kehangatan Olena ini sama ajaibnya dengan Lana—rasa kikuk tadi menghilang seketika.

“Iya, tante. Makasih tawarannya. Dienka janji bakal mampir lagi.”

“Bagus, deh! Tante nanti bakal kedatangan kamu.”

Dienka tergelak lagi, kali ini jauh lebih renyah. Sementara Candra dan Lana yang masih berada di sana hanya tersenyum tipis, menyukai interaksi keduanya.

 

Mendadak saja Olena mendelik, memandangi Dienka lamat-lamat. “Astaga, Dienka! Tawa kamu cantik, ya? Sekilas kayak Candra.” Wanita itu kembali menatap Dienka, lalu bangat beralih ke Candra. “Astaga! Kalian cocok bangeet!” pekik Ibunda dari Lana itu dengan antusias.

“Eh?”

“Tante nggak bohong! Kalian cocok.” Olena terkikik, masih belum mengalihkan pandangan. “Ini pacaran apa gimana?”

Dienka tersenyum simpul, bingung menimpali. Sedang Lana yang terduduk kaku di tengah ketiganya membelalang—tahu pasti akan ada satu kejadian yang jelas tak menyenangkan. 

“Enggak mungkin, Tante. Candra baru kenal sama Dienka.”

Kontan punggung Dienka menegak tegap. Antero semangat dalam dirinya penaka terenggut paksa. Rasanya rengsa, pastinya.

“Halah, yang namanya ‘cinta’ tuh siapa tahu? Yang awalnya musuh bebuyutan aja bisa jatuh cinta. Iya, bukan?”

Pemuda tadi hanya tersenyum, tak menimpali dengan apa pun lagi.

🌻

“Lan!”

Varen bercempera. Melesat, membuntuti langkah Lana yang teramat pesat. Namun bukannya kian mendekat, gadis itu makin menjauh dari jangkauannya.

“Laan!”

Lana menggeleng-gelengkan tendas, cemas. Kedua tungkainya terus bergerak kilat, membawanya berlalu dari koridor demi koridor. Terus mendahului Varen yang mulai kehabisan tenaga.

“LAN!”

Selanjutnya ia segera membelokkan arah, berkelok ke koridor lain. Tak kalah lelah, secara spontan terbersit di otaknya untuk bersembunyi balik papan mading yang ada—nan berdiri kokoh di lorong sepi itu. Dan terjadilah.

Sepertinya Dewi Fortuna simpati dengannya, lantaran tempat yang ia pijaki kini terlampau bersih dari yang ia perkirakan. Tak ada sarang laba-laba atau pun hal lain yang sekiranya jauh lebih parah. Namun baginya, itu bukan masalah besar jika bisa membebaskannya dari sang lelaki—Varen Michiavelly.

Tak perlu menunggu lama, akhirnya pemuda itu tiba. Telah berdiri di lorong yang sama dengan napas tersengal serta keringat yang meleleh liar. Kekecewaan jelas tersirat di netra sendu itu. Varen menghela napas erak ketika tak mendapati Lana, merasa penat.

Ia kehilangan Lana. Lagi.

🌻

“Lan! Lo kenapa, sih?”

Lana masih memalingkan iras. Melengahkan Varen yang terus melemparinya dengan pertanyaan yang sama setiap kali, setiap menit, setiap waktu.

“Lebih baik lo teriakin gue ratusan kali banding hindarin gue kayak gini! Gue nggak sanggup, Lan! Udah seminggu lo—“

“REN!” 

Kaya mendelik. Mengancam Varen untuk bungkam di saat itu juga. Gadis tertutup itu sama sekali tak mengindahkan gelar yang melekat pada seorang Varen. Ia hanya perlu Varen tutup mulut selama di kelas. Itu lebih dari cukup.

“Kaya cantiik, maklumin gue, ya!”

“Maklum gimana?! Udah sejam lo ngoceh hal yang sama!”

Kaya masih membelalang sengit. Tak ingin peduli. Tampang yang ditunjukkan membuatnya seakan tak pernah tertawa atau malah tersenyum seumur hidupnya. Kaya kerap tampak muram dan suram.

“Tap—“

“Kali ini gue setuju sama Kaya, Ren. Lo harus diem!” desis Septhian penuh penekanan. 

 

Namun percuma, Varen kembali menganggap desisan itu sebagai angin lalu belaka. Ia malah menjatuhkan perhatian pada Lana yang menunduk—membaca catatannya.

“Lan, semua kan udah berakhiiir! Kali ini lo marah sama gue atas dasar apaa?!” Varen memasang raut memelas. “Gue bukan dukun ataupun cenayang! Gue cuma cowok biasa! Gue nggak semengesankan itu untuk bisa baca pikiran ... seorang cewek unik juga limited edition kayak loo!”

Lana menyumbat sepasang lubang rungu dengan dua jemari telunjuknya. Memejamkan dua ain rapat-rapat. Berusaha menghilangkan seruan Varen—yang mungkin tak akan berhenti sampai dia menimpalinya nanti.

“Ren, berisik!” kesal Candra. Masih sibuk pada catatannya; gusar sebab lelaki itu terus mengusik ketenangan kelas mereka.

“Udah lah, entar juga capek sendiri!” celetuk Oyu seraya mengipasi irasnya dengan lengan. Masih sibuk menyaksikan snap pada gawainya—jadi tak begitu memusingkan ocehan Varen.

Benar saja, pada akhirnya Varen mendengkus samar. Menurunkan kedua pundak dengan perlahan. Akhirnya merasakan lelah yang teramat kala memperjuangkan gadis pengidap misofobia itu. Lebih lagi hati Lana seteguh baja, alias tak mudah luruh.

“Berhenti lima menit, deh,” monolognya.

Lelaki itu segera merebahkan hulu atas meja. Mengabaikan seruan galak Pak Kumis pada Oyu nan menggauli lamunannya.

🌻

“LAAN!”

Lana terperanjat, tersedak sesaat. Ia yang berancang-ancang menyendok es krim ke sekian kali, beringsut bangkit; pontang-panting meninggalkan taman. Menghindari Varen yang terus membayanginya, mengikuti langkahnya.

Bermodalkan nekat, Lana melesat memasuki gudang. Bersembunyi entah ke berapa kalinya.

“Lan!” Varen mengesah berat. Menginjak tanah di bawah tubuhnya dengan keras. Menumpu tubuhnya yang kuyup akan peluh dengan dua tangan pada lutut. “Tolong jangan menghindar! Gue nggak bisaa!”

Bukannya membungkam, Lana malah balik memekik, “GUE YANG NGGAK BISA ADA DI DEKET LO!”

“Kenapaaa?”

Lana mendesah, berupaya mengatur napas.

“K-karena ....” 

Kepala yang tadinya menyembul dari balik tumpukan meja tua—nan menutupi sekujur tubuhnya—tersembunyi lagi. Lana menelan ludah, menyalangkan netra. Merasa janggal pada apa yang sesungguhnya ia risaukan. Kendati telah memutus hubungan persahabatan dengan Irena, ia tetap tak ingin melihat Irena terluka karenanya. Tak mau lagi.

“Laan?”

Napas Lana memburu, kedua netranya terpejam dalam. Kumuhnya gudang membuatnya pening; sarang laba-laba pada sandingnya membuatnya kelesah; debu-debu beragam ukuran membuatnya tak bisa berpikir jernih. Ia tak bisa berlama-lama lagi.

“KARENA GUE PUNYA CRUSH SEKARANG!”

Lana memekik tertahan, serta merta mengejapkan dua netra. Sialan. Kenapa dia harus memakai alasan klise untuk mengatur jarak pada orang yang menyukainya? Memalukan.

“Gue nggak percaya!” Jawaban yang sama klisenya ditangkap oleh dua rungunya. Melantarkan gadis itu mendengkus.

“Lan!”

 

“GUE BAKAL BUKTIIN, KOK! LO TUNGGU AJA!” pekik Lana seyakin-yakinnya. Mulai berani untuk bersaksi dusta. Es krim mencair pada genggamannya lah satu-satunya saksi atas jeritan keduanya.

🌻

“Kak!”

Lana mengangkat lengannya sekilas, mengakibatkan perempuan dewasa di hadapannya melirik tanpa berlama-sama. “Saya mau ini satu. Oh, sama ini juga,” tunjuk Lana pada makanan ringan di balik etalase. 

Mbak Kantin yang sedang melayaninya lekas menyambar apa yang ditunjuk Lana tadi. Memindahkan dua penganan beragam ukuran ke hadapan Lana.

“Sama apa lagi?”

“Ehm ... bu Kantin nggak ada, Kak?” tanya Lana balik; entah mengapa ingin berbasa-basi.

“Iya, Mbak. Sakit. Kebanyakan dosa,” terang Mbak Kantin seraya merengut. Kentara sekali wanita itu enggan melayani anak Glare High School yang mayoritasnya abnormal.

Namun karena memang basa-basi, Lana hanya menimpalinya dengan anggukan. 

“Sama apa lagi?” ulang Mbak Kantin, kali ini dengan ketus.

Bukannya cepat-cepat menjawab, Lana malah tak berkutik. Menunduk guna mengamati makanan-makanan yang tersaji, juga berpikir: sekiranya mana yang sedang ingin ia nikmati.

“KAK VAREEN!” pekikan salah satu gadis mengguncangkan seisi kantin.

Semua siswi ricuh, menggerumuti satu titik. Berpusat pada Varen yang kentara lelah juga putus asa. Sejak meruaknya berita validitas—dari Truly News—kalau Lana dan Varen sama sekali tak memiliki hubungan; siswi-siswi yang menggemarinya kian gencar untuk memperjuangkan Varen—pemuda berhati lembut tersebut.

“KAKAAAK!”

Lana melempar pandangan ke gerombolan tadi, berdecak lirih. Entah apa yang membuatnya segusar ini—dia hanya gusar. Geram.

Ketika netranya meneliti kerumunan, sekonyong-konyong sosok yang tak lagi asing itu keluar dari sana—menampakkan diri. Tanpa keraguan lelaki itu terleka mengedarkan tinjauan, jelalatan; mencari sesuatu.

Gawat! Lana harus segera angkat kaki!

“Mau apa lagi, Mbak?” desak Mbak Kantin tidak bersabar.

Dengan visi masih pada sosok tadi, Lana menggeleng gamblang. “Ini aja Mbak. Berapa?” tanyanya tergesa-gesa. 

“Sepuluh.”

Penasaran, Mbak Kantin mengikuti arah pandangan Lana. Jelas keheranan sebab tak menemukan penampakan arau mungkin makhluk halus yang sekiranya membuat tubuh Lana bergetar sehebat itu. 

“Sepuluh?! Mahal banget,” desis Lana. Tangannya menyeluk saku roknya dengan cukup dalam. Menggapai selembar uang kertas dari sana. “Ini uangnya, Kak. Kakak ambil kembaliannya aja. Akhhh, makasih!”

Lana meninggalkan uang kertas berwarna ungu dan melesat pergi melalui sisi lain dalam kantin. Menghindari sosok yang merupakan pusat dari keramaian.

Terheran-heran, Mbak Kantin hanya memekik samar. “Orang pas sepuluh ribu, kok ‘ambil kembaliannya’!” Wanita itu menggeleng prihatin. “Dasar anak muda!” rutuknya lagi.

🌻

“Udah bawa topi?”

Dari bawah sebuah kanopi, Lana menyengguk mantap. Mengangkat dan mengenakan topi abu-abu itu pada tendas mungilnya. Mengembangkan senyuman.

“Ya udah sana ke lapangan! Upacaranya bakal mulai.”

“Lo gimana?” tanya Lana cepat.

“Gue tugas. Pemimpin Upacara.”

“A-ah ... iya gue lupa.” Lana menggaruk kepalanya singkat. Mengamati penampilan Candra yang teramat formal—meski ia sendiri tahu apa yang dikenakannya sama; seragam identitas Glare High School.

“Gue duluan, nggak apa-apa?”

Tak langsung menjawab, Candra malah mengikis jarak. Mengulurkan lengannya untuk membenarkan posisi kerah Lana yang terlipat berlawanan arah. Walau sederhana, pipi Lana dibuat memerah karenanya. Namun entah menyadari atau sebaliknya, Candra hanya mengangkat dagu; menyuruh Lana segera meninggalkannya.

“Okeii. Dah, Can!”

Wanodya itu berlari kecil, memasuki area lapangan dan segera bergabung ke barisan kelasnya. XI MIPA 02. Karena Lana termasuk jangkung, ia ditempatkan tepat di barisan terbelakang. Bersejajar dengan Oyusana. Lantas benarlah yang Candra sampaikan—upacara dimulai beberapa menit selepas Lana bergabung dalam pasukan.

“Bapak harap, perundungan segala macam akan segera berhenti SAAT INI JUGA. Bagi siapapun yang mengetahui informasi akan siapa pelaku, ataupun korban perundungan, entah kapan pun itu, segera melapor ke Bapak! SEGERA!” seru Pak Mat, guru Olahraga kelas XI itu dengan berapi-api.

Anak-anak termasuk Lana menganggut lemas. Sinar surya berhasil menyerap sebagian penuh tenaga pun energi mereka. Boleh jadi untuk sebatas berseru, mereka tak lagi sanggup. 

“Jika kalian semua mengerti, saya akan—“

“PAKK!” 

Sesosok pemuda berlari tergopoh-gopoh ke arah podium. Menunduk sesaat di hadapan Pak Mat. Membisikkan sesuatu ke guru penggila Upin & Ipin itu—hanya dalam hitungan detik saja. Sampai kemudian, tak butuh waktu lama guru bertampang garang itu segera turun seperti hampir tanpa paksaan; malahan bibirnya itu mengembangkan senyuman.

Sosok yang sama tampak tersenyum, acap menaiki mimbar cokelat itu. Dua tangannya membenarkan posisi mik yang terlalu pendek tersebut tepat di muka mulutnya.

Aksi aneh bin gila tersebut mengundang banyak tanda tanya. Pasukan yang sedang dalam posisi istirahat di tempat jelas saja menoleh heran. Saling berbisik, saling bertanya. Saling memikirkan kemungkinan kenapa Varen berdiri di atas podium dengan lancangnya.

Lana yang mulanya kurang peduli mulai penasaran saat mendengar nama Varen kembali terdengar di seluruh penjuru. Amanat Pak Mat juga terhenti tanpa ucapan penutup, tentu bukan hal yang lazim terjadi.

“LANAAA!”

Lana mendelik dramatis. Frekuensi detak jantungnya menjadi berkali-kali lipat dalam hitungan sekon. Hal itu terjadi kala ia mendapati Varen—bersama kepercayaan diri yang penuh—pada mimbar yang ditempatkan tepat di tengah lapangan.

Irena yang sedari tadi mengamati insan beralis tebal itu semakin muram. Tak punya hasrat untuk melihat betapa gemasnya cara Varen untuk mencari perhatian dari seorang Lana. Ia tahu ini akan terjadi sebelum Varen menaiki mimbar, bahkan malah sebelum Pak Mat menuruni mimbar yang sama.

Namun, mau bagaimana lagi? Ia tak lagi bisa melakukan apa-apa. Ia tak punya hak untuk itu.

“PLIS NOLEH KE ARAH GUE, LAN! GUE BENER-BENER MINTA MAAF SAMA LO! GUE CUMA ... GUE NGGAK MAU KEHILANGAN LO!”

Segenap murid tanpa terkecuali gegas berpusing ke Lana; tetapi gadis itu lebih dulu menutup seluruh irasnya dengan satu lengan. Mimiknya merah padam; murka, tetapi juga bera. Hampir segala perasaan negatif dirasakannya saat itu juga. Otaknya pun penuh akan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.

Seperti: bagaimana jika ia kembali dibenci sesekolah? Bagaimana jika ia harus melewati hari-hari penuh umpatan? Bagaimana jika tak ada kesempatan kedua? Bisakah ia menghadapinya kembali?!

“CALLIA LANA GALATEAA!”

“Lan? Lo dipanggil,” ujar Oyu seraya menurunkan kacamata hitamnya. Memandang sobat jelitanya yang masih membuang muka.

“Nggak.”

“Kalau lo nggak jawab, dia bisa gila.”

Lana bersikeras menggeleng, menolak untuk merespons Varen. 

Keadaan kian rusuh, ricuh; hanya saja guru-guru terlalu malas untuk memberi titah guna mengusir Varen, karena bagaimana pun mereka turut penasaran. Merasa terusik, Oyu berdecak—menanggalkan tesmak langkanya dalam satu sentakan. 

“Trus mau lo gimana?” Lana bergeming, melepas perlahan rekatan telempap dari antero irasnya. Mendapati Lana yang tak kunjung merespons, Oyu kembali mengenakan kacamata tadi. Berkacak pinggang dengan pandangan lurus ke depan.

“Oyu ... t-tolong bilang gue pingsan.”

Oyu menyalangkan mata. Kembali melepas paksa aksesoris berlabel Gucchi dari durjanya. “What?! Are you freaking kidding m—“

Tanpa menunggu persetujuan Oyu, wanodya itu menjatuhkan raga ke badan lapangan dengan segera. Membuat keadaan kian gagap gempita. Semua manusia berbondong-bondong mendekat, termasuk Varen yang terus menyesak. Namun sebelum siapapun tahu sandiwara mereka, selebgram itu segera menghalau mereka mendekat lebih dari semeter.

“Shut it! Gue bisa bawa dia sendiri. Go jump in the lake, bitches! Get a fuck off!”

Oyu menghela napas, meregangkan tulang-tulangnya sebagai persiapan. Dara yang sebetulnya terlampau tulus itu membungkukkan raga. Mengalungkan lengan Lana ke lehernya dan bertolak pergi dengan memapah tubuh gadis itu. Meninggalkan kasak-kusuk yang jelas nyata. 

Karena paham siapa Oyu sesungguhnya—yang gila dan merepotkan—tak ada satu pun yang berani mendekat. Syukurlah, Lana memilih orang yang tepat.

‘Makasih,’ bisik Lana saat keduanya mulai mendekati pintu UKS. Membentuk finger heart pada jemarinya.

“Berisik!” kesal Oyu sembari terus membopong Lana ke UKS.

🌻

“Masih sama?”

Varen mengangguk lesu. Menekuk punggungnya tanpa gairah seperti biasa.

“Bener kata dia, Ren. Lo ganti sasaran aja. Banyak yang nungguin cinta lo—terutama di SMA ini,” ungkap Septhian bersamaan dengan tangan kanannya yang menepuk-nepuk punggung Varen. Bukan respons positif yang Septhian dapat, lengannya malah terhempas rampus.

“Gue datengin lo bukan buat minta pendapat! Apalagi lo suruh gue buat menyerah! Semangatin gue, dong!” sentak Varen gusar.

“Semangatin gimana lagi? Lo aja ditolak terus, nggak ada kemajuan.”

“Never give up moto gue.”

“Ngomong doang lo,” desis Septhian. 

Varen merotasikan kedua bola matanya. Naik pitam meski tahu itu sia-sia. Lama-lama, Septhian justru menjatuhkan ambisinya alih-alih membakar semangatnya. 

“Gue nggak peduli apa kata lo, Lana, ataupun orang lain. Gue bakal dapetin dia apa pun caranya. Gue nggak bakal menyerah sampai gue berhasil kelak. Gue yakin semesta kirim dia buat gue.”

“Lama-lama lo kayak tong kosong berbunyi nyaring,” kekeh Septhian.

“Lo remehin gue?!” sungut Varen. Jelas tak terima.

“Enggak. Gue cuma ... meragu.”

“Ini bukan suatu bualan!” Varen memukul mejanya sekilas. “Harapan gue kini harus terpenuhi. Gue harus dan akan dapetin Lana. Gue bakal buktiin sama dunia, juga semesta yang atur semuanya!”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dream of Being a Villainess
865      484     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Aditya
1161      473     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
12197      1916     4     
Romance
Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Di saat aku hampir menyerah, laki-laki itu datang ke dalam kehidupanku. Laki-laki itu memberikan warna di hari-hariku yang monokromatik. Warna merah, kuning, hijau, dan bahkan hitam. Ya, hitam. Karena ternyata laki-laki itu menyimpan rahasia yang kelam. Sebegitu kelamnya hingga merubah nasib banyak orang.
Ghea
418      268     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
The Secret
335      217     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
KataKu Dalam Hati Season 1
3534      1068     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
A Day With Sergio
1080      523     2     
Romance
Nightmare
391      264     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Kesempatan
16769      2684     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Lazy Boy
4191      1114     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...