“Bisa nggak, berhenti buntutin gue?!” bentak wanodya itu jengah.
Bukannya lekas berlalu, Varen malah melempar senyuman. Memandang sosok yang telah dicintainya itu lurus-lurus, yang jelas menciptakan decak pada bibir Lana yang mungkin berbusa—bukti bila telah ratusan kali dilakukannya untuk mengenyahkan Varen secara terang-terangan.
Para pelajar dalam kantin saling berbisik, membicarakan sikap Lana yang kasar dan sungguh berbanding balik pada sikapnya setahun lalu—yang sopan kendati dingin.
Kebal, gadis itu tak lagi mengindahkannya; justru ia lekas meninggalkan kantin setelah membayar makanan. Keberadaan Dienka dan Candra yang tidak pasti-lah penyebabnya pergi ke kantin seorang diri—meski sesungguhnya Lana nyalar meragukan kebersihan juga kesterilan makanan yang disajikan.
Dia harus memaksakan diri, ia harus percaya pada diri sendiri. Toh, tak bisa selamanya dia menyendiri ataupun bergantung pada Candra-Dienka.
“Makasih.”
Varen kembali menarik langkah, mengekori Lana dengan bungah. Kendati tahu gadis itu sekala gusar akan eksistensinya; tetapi menyadari perubahan radikal yang mengarah ke hal positif, membuatnya tak gencar untuk melindungi gadisnya secara cuma-cuma.
“Ren!” Lana menjeda gerakan dua tungkainya. Menggeram samar dalam posisi membelakangi tubuh Varen. “Udah, ya? Gue capek!”
Terhitung dua bulan terlewat sejak kejadian saat itu—mading kali pertama. Dan sebulan terakhir ini Varen selalu membayanginya. Merisak hari-harinya. Meskipun terlampau risi, lamun kenyataan itu jadi pemicu berhentinya perundungan Lana secara tiba-tiba. Benar-benar berhenti dengan ajaibnya. Barangkali hal itu terjadi kausa mereka takut akan ancaman Varen yang memang bukan sebatas bualan.
“Capek lihat kegantengan gue?”
Lana berpaling, beralih menentang Varen lekat-lekat. “Ren, tolong! Kalau lo terus ikutin gue kayak gini bisa-bisa semua orang percaya sama rumor itu!”
“Terserah, yang gue tahh gue bakal lindungin lo.”
“Tapi tanpa lo sadari, lo justru memperumit semuanya!”
Lana menghela napas kasar, menatap Varen lurus-lurus. Lelaki itu tak juga mengubah mimik datarnya; bahkan tak berkutik meski sejengkal. Lana jadi curiga bila selama ini Varen punya niat terselubung.
“Lo mau apa sih dari gue?” lirih Lana pada akhirnya.
“Lunch bareng?”
Pelototan tajam tercipta dari netra Lana. Wanodya itu menggeleng cepat. “Gue nggak paham lagi sama jalan pikiran lo. Di keadaan kayak ini lo masiiih aja bercanda. Lo emang nggak bisa serius?”
Senyatanya, Lana sudah teramat-sangat berang; akan tetapi ia masih berupaya untuk tetap tenang. Dia benci tatkala harus berteriak tiap saat dan tak mempengaruhi apa pun. Sebab dapat dipastikan Varen lebih keras kepala dari sebelumnya.
“Gue nggak bercanda.”
“Kalau gitu, harusnya lo tahu situasi. Atau lo justru seneng lihat semua orang benci gue?” Entah gagasan apa yang bisa membuat Lana beranggapan demikian. Mungkin dia sudah terlanjur frustrasi.
“Bukan gitu, Lan. Gue cuma pengen nolong lo.”
“Lo mau nolong gue?” Varen mengangguk mantap, bersungguh-sungguh. “Maka jangan ikutin gue,” pinta Lana yang kemudian—seperti semestinya—berlalu.
🌻
“Setuju nggak, Ka?”
“I-iya, sih. Setelah dipikir-pikir ... sejak dan gara-gara kedatangan Varen, lo jadi dirundung ....” gumam Dienka. Lagi-lagi ia kembali menyibukkan diri untuk berpikir. Bergelut dengan kalbu.
“Eh, astaga! Hari ini gue jaga, dong! PMR!” jerit Dienka seketika seraya mengentakkan tungkainya refleks.
“Kalau gitu lo pergi aja. Thanks udah mau dengerin cerita gue.”
“Everytime, Lan. I'm leaving!” Dienka melesat pergi, menerobos pintu koboi, dan menghilang dari hadapan Lana. Lantas roman murung kembali kentara di sana—di iras Lana.
Sepeninggal Dienka, Lana mengurungkan untuk beranjak. Justru ia kembali menyelami pikiran dan menyendiri. Hal yang mulanya ia antipati, tetapi kini jadi prevalensi.
“Dukun abal-abal!”
“Penikung!”
“Dasar cewek gila!”
“PENGECUT!”
“Jalang!”
Lana mengadu gigi gerahamnya dengan rampus kala mengingat seruan-seruan itu. Telempapnya terkepal amat kuat sampai jaringan ototnya terpampang jelas. Kalakian dihantamnya wastafel tembereng itu—melampiaskan kekesalan.
Lagi pula, kenapa harus gelar ‘Dukun Abal-abal’ maupun ‘Penikung’ yang menetap lekat disosoknya? Bukannya dulu 'Murid Unggulan Tercantik' adalah gelarnya?
Ia benci. Ia benci kala tak ada yang berusaha mempercayainya. Ia benci kala hatinya tak cukup kuat untuk bertahan. Ia benci kala ia sendiri menambah beban orang-orang tersayangnya.
“Ckckck ... dukun sekolah ternyata bisa kesel juga, ya,” maki seorang perempuan dengan sinis; meski ia sendiri sedang sibuk mengaplikasikan lip tint merah terang pada kedua sisi bibirnya. Lana mungkin terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tak menyadari kedatangan perempuan tersebut.
“Menjijikkan,” tambahnya seraya menjatuhkan lip tint mungil itu ke dalam pouch silver-nya.
Lana melirik sebal pada perempuan tadi, yang populer di SMA ini sebab hobi anehnya: menindas serta merundung siapapun. Dia—Lana— sudah betul-betul siap untuk menghadapi Tania—senior kelas XII Bahasa 01— yang mungkin akan menyerangnya lewat fisik ataupun psikis. Dia sungguh siap.
“Kenapa? Apa 'Dukun' nggak ada hak buat marah?” tekan Lana.
Tak ayal untuk menatap sepasang netra Tania yang membelakanginya dengan nyalang. Sementara itu, Tania masih sibuk mengulum bibir dan meratakan lip tint-nya tadi.
“Pftt!?” Tania memegang bibirnya, berlagak seolah tengah menahan tawa.
“Gimana, ya ....” Tania berbalik. Memandangi Lana sengit. “Udah miskin, belagu, caper—aduh! Lo tuh bener-bener manusia terendah yang pernah gue liat. Kayak cabe-cabean,” kekeh Tania.
Tania datang sendiri, tak seperti biasanya. Bisa jadi niat Tania dari awal memang untuk menyempurnakan riasan wajahnya alias touch up, maka anak buah yang kerap mengekorinya ke mana pun tak menampakkan batang hidungnya.
“Cabe-cabean?” Lana tergelak, membuat Tania membelalang tidak suka. “Definisi cabe-cabean bagi kakak gimana, sih? Yang caper? Yang belagu? Suka gincuan? Pake bulu mata palsu?” Lana tersenyum sesaat. “Sebelas, dua belas, dong sama kakak.”
“Ngomong apa lo?!”
“Just so you know, kadang penampilan kakak berlebihan. Norak.”
“Gue nggak minta pendapat lo soal penampilan gue!” Tania masih mendelik. Berdiri terpaku di titik yang sama.
“Gue juga. Gue nggak pernah minta kakak hadir di hadapan gue. Gak minta juga untuk denger celotehan gak jelas dari kakak!”
Dengan amarah yang membuncah, Tania melangkah maju. Menarik dan menjambak surai Lana tanpa aba-aba sekuat tenaga—naik pitam. Lana yang tak ingin kalah tentu melakukan hal yang sama. Bedanya, Lana merenggutnya penuh nafsu. Harapnya, antero akar rambut Tania tercabut dari tempatnya.
“Eh, eh, eh! Lepasin! LEPASIN CABE!” raungan Tania menggelegar dalam toilet, menggema ke segala sisi.
Setelah beberapa menit berselang, akhirnya pintu koboi di balik tubuh keduanya terbuka kecil. Para siswi yang baru datang dan menyaksikan 'atraksi' itu jelas panik. Salah satunya sampai berlari ke kantor Kepala Sekolah, melapor.
Lana pun Tania masih cekcok dan saling menjambak surai, tak mau saling mengalah; bahkan setelah beberapa orang memaksa mereka berhenti. Dengan air mata yang meleleh, Tania memekik gila-gilaan. Betina itu merasa bila Lana betul-betul menanggalkan surai yang dirawatnya mati-matian.
“Ibu akan hitung sampai tiga! Kalau masih jambak-jambakan ... Ibu bikin kalian tinggal kelas!”
Kendati memang tak segarang Bapak Burhan, tetapi akibat adanya ancaman Lana dan Tania lekas melepas cengkeramannya masing-masing.
Tania menguatkan tangisan tatkala mendapati telapak tangan Lana penuh dengan gumpalan rambut. Lana memang berambisi untuk merusak rambut badai berombre merah itu. Lana terlampau dendam dengan Tania yang nyalar menindas dirinya atau mungkin murid-murid lainnya.
“EOMONII! MY HAIRRR!” rengek Tania lemas. Perempuan itu meraba surainya dengan belingsatan. Dan benar saja, ada beberapa bagian pada kulit tendas yang petak karenanya.
Anak buah serta teman Tania mengerubunginya, membela Tania dan kembali melempar sumpah serapah pada Lana. Laksana tak mendengar apa pun, Lana sekadar menunduk untuk memandang kacamata kesayangannya yang sukses lumat. Gadis itu tahu betul bila Tania sengaja menginjaknya tadi. Namun, dia lega karena baginya itu cukup setimpal.
“Dasar cewek gak tahu diri!”
“Lo thinking gue takut sama lo karna ada Varen?!”
“Gue sumpahin lo nggak bakal bahagia.”
“Gue bakal buat rambut lo petak tak tersisa!”
Lana?
Dia cuai dan hanya melempar seringai menyeramkan ke mereka. Gadis yang mulai terbiasa akan kerumunan itu tetap menjaga jarak dari gerumut yang kian ramai. Pelik, memang. Bagi mereka, pertengkaran adalah pertunjukan yang paling mencengangkan.
Dienka yang kebetulan mendengar kasak-kusuk para murid kala salah seorang murid berhamburan ke ruang Bu Hani, gegas memutuskan memutar arah. Pasti sesuatu telah mengusik Lana. Lagi, lagi, dan lagi.
Selepas berhasil kembali dan benarlah perkiraannya—tanpa berpikir panjang ia melangkah maju. Rela berdesak-desakkan untuk menerobos kerumunan. Mendapati Lana, dan bergegas berdiri di sandingnya.
“HEH?! Ini kenapa?!” seru Dienka cepat.
“Temen bangsat lo, tuh! Gak tahu diri!”
“Hufft ... tolong, yaa. Gue tanya ada apa, bukan minta lo ngumpatin Lana!” tekan Dienka gemas.
“Cewek kayak dia pantes dikata-katain tiap waktu!”
“Kalau lo aja gimana?” tanya Dienka ketus.
“BUU! SERET LANA KE BK AJA, BU!”
“Tenang, gue yang seret lo lebih dulu dengan senang hati,” balas Dienka.
“Anjing lo!”
“Jelas-jelas gue manusia! Gue curiga lo katarak,” gerutu Dienka, sok memasang wajah innocent-nya.
Debat warga sekolah kembali dimulai. Komentar-komentar pedas terlontarkan. Lalu setelahnya, seperti yang biasa terjadi Dienka membalas kritik mereka tak kalah sengitnya.
Toilet riuh. Penuh bahana jeritan sarkasme dari para murid. Bahkan para lelaki mengeluarkan isi hatinya—meski untungnya, beberapa di antaranya membela Lana karena paham sejatinya sejahat apa seorang Tania.
Tania menjerit—terisak dramatis, mengeruhkan suasana. Malar-malar 'memaksa' pacarnya untuk merangkul dan terus menenangkannya. Laki-laki tersebut tahu pasti kalau Tania-lah biang keroknya, maka dia memilih diam dan terus memeluk kekasihnya.
“Jaga tuh tangan ya, Cabe!”
“Cabe, cabe! Gak usah ngarang lo!” hardik Dienka.
“Kenapa? Kan bener!? Lagian lo juga ngapain temenan, sih, sama cewek nggak ada harga diri kayak dia?!”
Dienka membelalang, menuding siswa tadi dengan tajam. “HEHHH! Gue janji nampol mulut lo pakai rotan! Gue tandain lo!”
“Gara-gara lo Tania jadi begini!” tunjuk seorang siswi pada Lana yang masih membisu.
“Gue yakin 1000% pasti Tania-tania itu yang mengawali! Lana nggak mungkin nyari masalah tanpa sebab!” Dienka masih saja membela Lana. Menimbulkan ketidaksukaan para murid yang sangat kentara.
“Kok yang jawab lo mulu?! Tuh Dukun kicep? Hahaha. Ups, ampun Mbak Guna-guna, haha.”
“Lama-lama gue sumpel mulut kalian satu-persatu pakai tahi komodo!” sungut Dienka berapi-api.
“Makannya lo lihat baik-baik! Ini udah termasuk kekerasan dan pembully-an!”
Tania yang ditunjuk makin terisak hebat seolah Lana sudah melakukan perbuatan keji padanya. Masih di tempatnya, Dienka merotasikan bola ainnya. Muak dengan semua kepalsuan Tania yang sebenarnya sama sekali tidak dikenalnya. Yang dia tahu, betina itulah yang menemuinya hari itu—yang memperingatkannya akan bahaya Lana.
“Kan udah gue bilang, temen kalian yang mulai dulu! Kalau nggak, ya, Lana nggak bakal botakin diaa!” jerit Dienka. Tak berjaya mematahkan semangat mereka yang masih ingin terus memojokkan Lana.
Hani melongo. Merasa terasingkan sekaligus terabaikan karena murid-muridnya justru memilih untuk ribut sendiri. “Setop, setop! Kok malah debat sendiri?! Pemilihan Ketos masih bulan depan!” gerutu Hani seraya berkacak pinggang. Memandang mereka satu-persatu dengan nyalang.
“Tunggu, Bu! Lagi asyik-asyiknya, nih!” tawar seorang siswa yang sedari tadi hanya menyimak perdebatan.
Wanita manis yang bernotabene seorang guru itu berdecak keras, “Kalau bisa sebelum bel, ya?” ujarnya—luluh begitu saja.
“... Semenit?”
Hani mengerutkan keningnya dalam-dalam. Lantas sedetik setelahnya, “Siiip!” pekik beliau, mengacungkan jempol dengan mantap.
“DASAR BABI, KAMBING, GAJAH, SAPI!”
“Nggak sekalian sekebun binatang lo sebutin satu-persatu?”
“Dih, gue nggak segabut lo yang slalu caper sama Mas Cogan!”
“Bacot lo, Mercon Betawi! Ngoceh terus dari kemarin!” sungut Dienka gemas.
Di keadaan seramai itu, sempat-sempatnya Seksi Jurnalistik memotret kejadian bak paparazi—ratusan kali. Jelas Hani melangah, memandang mereka semua terheran-heran. Mempertanyakan alasan akan kegemaran siswa-siswi Glare High School, anak-anak muridnya yang jauh dari normal; salah satunya tentu berdebat tepat di tengah masalah, dan tentu—gemar oleh keributan.
Ia penaka menyaksikan drama Korea gratis tiap kali ke tempat kerja. Jelas ada saja yang ditindas dan menindas. Ingin rasanya prihatin, tetapi bagaimana lagi jika ia sendiri—yang pecinta drama Korea dan telenovela—juga menikmati drama ala murid-muridnya?
“Hhh ... baiklah kalau begini, Ibu tidak punya pilihan lain. Kang Mansyuuur!” jerit Hani sambil mengangkat tinggi lengan kanannya. Memberi kode pada Pak Mansyur akan di mana keberadaannya kini dari tengah kerumunan.
“Ada perlu apa, Bu?” tanya Pak Mansyur dengan punggung membungkuk setengah di hadapan Bu Hani—yang entah bagaimana bisa disegani.
“Bawakan saya popcorn,” kisik Hani cepat.
“Mau nonton debat ya, Bu? Wokeh, siap laksanakan! Sebentar ya, Bu!” Lepas menyudahi ucapannya, tukang kebun sekolah itu berlari meninggalkan kakus yang masih sama ramainya.
Baru berancang terduduk di salah satu kursi di sana—menikmati tontonan gratis dengan berlagak dramatis, sekonyong-konyong sesosok penuh wibawa melangkah masuk dengan mudahnya. Tentu dengan parang kesayangan pada lengannya; sebab katanya, bila rotan jadi kurang gereget.
“SERU DEBATNYA?!” Tak ada sahutan barang sedikit, bahkan hanya sekedar helaan napas pun tidak ada. “DEBAT SEKALI LAGI, LAMA-LAMA TAK SEBAT MULUT KALIAN PAKE INI! DASAR ANAK PUNGGUT!” jerit Guru tampan itu.
Semua murid otomatis membeku. Hening.
Bu Hani—Kepala Sekolah Glare High School yang jika dipikir-pikir paling berwenang di situ pun sampai gemetaran kala mendapati Guru Bledek berdiri tak jauh darinya.
“Eh?! Pak, duduk dulu, Pak! Capek loh teriak terus ....” bujuk Bu Hani. Tangannya menepuk-nepuk bangku yang tadinya ia duduki. Bangku yang digunakan sebagai fasilitas, just in case kalau-kalau toilet penuh dan para murid terlalu malas ke toilet lainnya.
Guru Bledek berdeham sesaat, menggeleng. “Tidak perlu. Terima kasih, Bu. Saya hanya mau menyeret dua anak kurang huajar ini ke ruangan saya. KALIAN BERDUA! MILIH JALAN SENDIRI ATAU TAK SERET?” pekiknya seolah tengah latihan militer.
Tania tersentak dan segera bangkit berdiri, menunduk. Berbeda dengan Dienka yang tak membungkuk atau apa pun itu. Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepala, entah apa maksudnya.
“GAK BOSEN-BOSEN, YA, MASUK BK?! BENERAN MAU BAPAK SERET?” seru Guru Bledek pada Tania yang masih menunduk takzim.
“Eh?!? Enggak, Pak. Kita jalan aja,” cicit Tania setengah terisak.
“NGAPAIN NANGIS-NANGIS? KURANG DIJAMBAKNYA?!”
“K-kok Bapak tahu—“
“KENAPA MOTONG-MOTONG UCAPAN SAYA? MINTA DI SKORS?!” jeritnya, naik satu oktaf.
“E-enggak, Pak!” jawab Tania gentar.
“Ya sudah! Segera ikuti Bapak,” desis guru itu seraya berbalik. Memberi instruksi agar Lana ataupun Irena mengikutinya segera.