Read More >>"> Denganmu Berbeda (#5) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Denganmu Berbeda
MENU
About Us  

Candra meloncat ke ranjangnya. Meraung kesal tetapi menutup durjanya dengan bantal agar suaranya teredam dan tak terdengar siapa pun. Mengingat kejadian tadi membuatnya kesal sendiri. Salahkanlah cemburu yang membuatnya terlihat menyedihkan seperti ini.

“Tante Ven... Irena bawa temen, Tan! Ini Lana, ini Candra,” seru Irena antusias. 

Ibu Varen tersenyum, segera menyambut mereka. “Hai Lana,” sapa wanita anggun itu. Lana hanya tersenyum canggung. Apalagi tatkala Ibu Varen menarik Lana begitu saja. Keduanya berakhir berbicara santai di ruang tengah. 
Candra mengerutkan glabelanya tidak suka. Pandangan Ibu Varen pada Lana membuatnya tidak nyaman entah mengapa.

“Tuh orang yang gue maksud. Lo kenal? Katanya enggak,” celetuk Varen yang tahu-tahu ada di sebelahnya.

“Bagi gue dia gak cantik, kok,” kilah Candra dengan datar.

Varen manggut-manggut. Lantas dengan santai, ia membalas, “Kalau gitu ... boleh dong buat gue?” Candra melotot seketika pada Varen. Jujur saja, Candra kini ingin menelan orang di depannya mentah-mentah—kalau bisa. “Chill bro ... gue gak sehajat, eh, sejahat itu kok,” tambah Varen. 

Candra memalingkan wajahnya cepat-cepat. Sebisa mungkin dia akan mencari cara untuk bisa keluar dari tempat yang bahkan tak ingin dia dengar keberadaannya.

“Tapi kenapa gak bilang aja dari awal? Gak suka sama gue, ya?” 

Varen terus mengucapkan kalimat-kalimat semacam. Membuat Candra kian muak hingga dia berjalan menjauh, “Lan, Tante, saya duluan, ya!" seru Candra, berjalan meninggalkan ruang tengah. 

“Ck, broo?!" Varen mendengus malas, "oke-oke gue diem, nih."

“Ayo makan semua!” seru Ayah Varen hangat. Beliau berjalan mendekati meja makan bundar berkayu gaharu dengan diameter dua meter yang penuh dengan makanan-makanan yang bervariasi. Dari makanan daerah, sampai makanan luar seperti aglio olio pasta, sushi, juga french toast. Entah untuk apa semua itu, padahal hanya ada enam orang di sana. 

Candra segera menolak untuk ikut serta makan siang, tetapi Lana pun kukuh mengajaknya untuk ikut. Lana hanya tidak ingin duduk dan menjadi orang asing di tengah-tengah mereka yang saling mengenal. Saling kenal dekat malah.
Ketika semuanya sukses terduduk rapi, perlahan mereka saling mengobrol ringan. Semuanya normal saja. Nyaman dan hangat. Bahkan Candra dapat mengakui pernyataan itu.
Namun, hanya terdapat satu hal yang membuatnya seketika tidak kerasan. Dapat ia lihat dan sadari bila ain Lana beberapa kali mencuri pandang ke Varen. Bukan itu saja, kala Varen bicara, Lana tampak terus menatapnya. Bukan tatapan menyimak, tetapi tatapan seolah ... kagum. 

“Lan. Ayo pulang,” bisik Candra cepat.

“Bentar! Nunggu selesai, dong. Masak kita makan habis itu pergi gitu aja,” balas Lana yang ikut berbisik. 

“Eh, Lan! Mau jalan-jalan ke taman gue? Gue temenin,” ujar Varen mendadak. Membuat punggung Lana menegak dalam sekejap.

Lana bergeming sesaat, ingin mengucapkan sesuatu dengan tubuh yang bergetar, tetapi Irena mendahuluinya, “Taman lo udah dibersihin?”

“Belum, sih. Yaa, tapi lumayan bersih, kok,” sahut Varen. Terlihat cukup yakin.

Merasa tak yakin, Irena mendengus samar, “Saranku, sih, jangan bawa dia. Nyesel lo nanti,” tandas Irena. Lana hanya meresponsnya dengan tawa singkat yang kaku. Mendadak canggung yang sempat menguap, kembali memenuhinya.

“Aneh,” desis Varen keheranan. 

“Kenapa gak ajak jalan-jalan si Candra aja? Gue sama Lana di sini. Biar lo akrab, gituuu ....” usul Irena. “Lo kan jarang yang namanya punya temen cowok,” tambah Irena. 

Varen berdecak samar lalu menatap Candra lurus-lurus dengan senyum miringnya. Candra meladeni, menaikkan satu alisnya sinis—raut wajahnya tetap dingin.

“Ngapain gue jalan bareng cowok dingin kayak dia?” kekeh Varen lantas beranjak pergi dari meja makan. Pergi entah ke mana.

“Heh?! Ada sesuatu, kah, di antara kalian?" ujar Irena seraya menggaruk pipinya. Merasa bingung.

“Gak ada,” desis Candra. Dalam hati, ia terus mengumpati Varen yang membuatnya emosi sejak awal. Sebenarnya juga, dia tak sudi berada di sini.

🌻

Mendadak ponsel Candra berbunyi. Membuatnya repot meraih benda pipih itu guna melihat pesan masuk dari nomor yang bahkan tidak dikenalnya. Kali ini beda. Bukan dari para gadis centil yang haus akan perhatiannya, tetapi sesuatu yang lain. Yang entah kenapa sudi dia baca dan balas dengan cepat.

| 089******** :

Hai tukang sewottt~

Apa kabar?

 

| Candra:

Sp?

 

089********* :

Astaga di chat ikut singkat gini kalau ngomong? Parah sih.
Nganu, ada yang terlupakan saat kalian pergi
Mau tau? 

Ah, Candra tahu siapa orang yang gaya bicaranya seperti ini. Dia bahkan tidak perlu mengulang pertanyaannya lagi. 
Ya, pastilah Varen Michiavelly.

| Candra:

Apaan?

 

| 089********* :

Bilang gue ganteng dulu

 

| Candra:

Orang gila

 

| 089******** :

Eh oke, serius nihh
Ada botol tabung kecil warna putih
Isinya pil obat penenang, perkiraan Mama gue yang dokter.
Punya sapa ya? 
Irena? Perasaan Irena normal² aja.
Apa mungkin Irena itu sebenernya orang gila?!

Candra menurunkan ponselnya sejenak. Mengingat-ingat.
Obat penenang itu milik Lana. Sertraline. Fungsinya menghilangkan panic attack yang Lana alami saat melihat keramaian atau lingkungan sekitarnya kotor. Jadi dia masih bisa menenangkan diri dan tidak menjadi se'brutal' biasanya. 

 

| 089********* :

Tapi bener sih
Kadang doi kalau diajak ngomong gak nyambung

 

| Candra:

Punya gue
Jangan berani sentuh

 

| 089********* :

Yaahh
Udah gue sentuh
Orang tadi ada di sofa
Entar diambil orang dong kalau gue biarin di sana. Ehe maklum, lagi ada banyak tamu.

| Candra:

Thx

 

| 089******** :

Thx?
Dih. Masa lo dingin banget sih
Makannya waktu TK jangan bolos pelajaran huruf vokal!
Ehm, mau les privat gak? Gue ajarin. Dijamin lo langsung juara separalel.

 

| Candra: 

Brsik

 

| 089******** :

Brsik? Bersisik? 

 

| Candra:

Serius, Ren!
Obat tadi gimana?

 

| 089********* :

Iyaaa, oke
Besok gue kasih ke lo. Di atap. Sama Lana ya
HARUS SAMA LANA

 

| Candra:

Dari banyaknya tempat kenapa harus atap?
Ribet

 

| 089********* :

Gue maunya di sana. Titik
Jangan lupa, awas!
Or ...

 

| Candra:

Or what?

 

| 089********* :

Hehe, gak ada
Sv no gue ya, Mas Candra yang punya gelar 'Cogannya Glare High School’
Eh. Ups ... maaff
Udah gue ambil ya, gelarnya
Kwkwkwkw

Candra memutar bola matanya sinis. 
Kenapa dia harus terjebak dengan orang gila seperti Varen, sih?!

 

| 089********* :

Kalau blok, transaksi gagal!  :)

Candra berdecak panjang sebagai pengganti umpatan. Jangankan ingin menyimpan nomor Varen, yang ada dia ingin memblokirnya sejak awal kalau saja bukan karena Sertraline Lana yang tertinggal. Jadi akhirnya, Candra memutuskan tidak menyimpan nomor yang menghubunginya barusan. Ia hanya melempar ponselnya sembarang arah kemudian memeluk bantalnya.

Sementara di rumahnya, Varen menyeringai kecil. Terkekeh samar dan memainkan ponselnya—melempar-tangkap benda pipih itu dengan dua tangan. Ia tahu betul alasan Candra seperti ini padanya. 

Tentu saja sebab Lana, bukan? 

🌻

“Kak! Kakak ulang tahunnya kapan?”

“Kak! Kelas MIPA berapa?”

“Udah makan belum?!”

“Mau kutraktir gak, kak?”

“Kak gans bat, sihh!”

“Kak kalau toilet, suka yang toilet jongkok atau berdiri? Kalau bapak saya yang salto, cobaaa...”

“Kak udah tumbuh bulu ketek belum? Aku udah loh, hehe. Lebat.”

“Kak tipe kakak gimana?”

“Kak nikah, yuk!”

“Kak lamar aku di pulang kosong, kak! Katanya kaya, 'kan? Xixi."

“Kak aku jomblo, loh!”

“Kak ... aku siapa?”

Pertanyaan-pertanyaan yang aslinya lebih dari itu terus dilontarkan oleh siswi-siswi yang mengerubunginya saat bahkan baru masuk kantin. Varen yang awalnya ingin makan dengan tenang menjadi sedikit risi.

“... Berhenti bentar coba, hehe,” potongnya sopan. Perlahan suara-suara mengganggu tadi menghilang. “Mau nanya... ada cewek cantik yang tinggal di daerah restoran gue, nggak?” tanya Varen lirih. 

Memang, hampir seluruh siswa dan siswi tahu reputasi restoran miliknya. Yang selain mewah dan bersih, restoran hasil jerih payah Ayahnya itu sangat lezat rasanya. Tadinya restoran milik Varen dengan nama Michiavelly's Dish itu hanya tersedia di Jakarta dan menjadi begitu populer. Begitu membuat cabang di kota itu, tentulah semua heboh dan berduyun-duyun mengunjunginya meski restoran itu baru dibuka. 

Semua siswi pun siswa terdiam. Berpikir keras dan mengingat-ingat.

“... Lana?" tanya Septhian balik. 

Kebanyakan siswa serta Varen segera menoleh ke arah Septhian yang berdiri di sebelahnya. Hanya berdiri saja. Penasaran dengan kegantengan Varen yang disebut-sebut.

“Sorry, belum kenalin diri secara resmi. Gue Septhian Attella. Ketua kelas XI MIPA 3. Iya, kelas lo. Salken,” sapa Septhian ramah, dua tangannya masih pada saku kantongnya.

“Hai,” ujar Varen dengan pikiran yang berkelana, “ehm ... tadi siapa? La ... na?”

“Yang rambutnya sebahu, berombak dikit, cantik, kulit langsat, rajin, and pinter bet? Iya. Lana. Sahabat Irena,” terang Septhian.

Varen membisu. Matanya menerawang, berusaha mengingat-ingat. Masalahnya dia tak melihat rambut Lana secara keseluruhan. Waktu itu rambut Lana dikundai. Namun, Varen berusaha percaya saja. 

“Cuma Lana yang tinggal di daerah itu?”

Septhian mengangguk, “Cuma Lana. Callia Lana Galatea.”

Varen mangut-mangut. Berbeda dengan beberapa detik lalu, kini dia merasa sangat-sangat yakin bahwa Lana lah gadis saat itu. Lalu masalahnya sekarang, bagaimana cara ia menemuinya? Lana?

“Kakak ada hubungan sama Lana?”

“Lana siapa coba?”

“Wait ... kak Lana yang cantik itu?”

“Nanyain Kak Lana kenapa coba?”

“Mau digebet, kah?”

“Aduuuh, perasaan gue gak enak sumpah.”

Varen tersenyum simpul, mengedarkan pandangan. “Bentar, ya. Penting,” desaknya. Beralih menatap Septhian yang tengah menggelengkan kepala. Heran kenapa Varen bisa sepopuler ini dalam hitungan jam saja. Namun memang sih, Septhian akui, Varen memang jauh lebih tampan darinya.

Mereka—siswi-siswi lalu terdiam kembali, membuat Septhian segera berujar, “Yaaa ... tapi dia udah punya pacar. Cogan juga. Namanya Candra, Candra Arkatama. Ketua kelas—kelas sebelah. Sering dipanggil 'Cogan' sama siapa aja di sekolah, bahkan tukang kebun. Tapi panggilan pribadi gue sih, 'Populer'. Gue suka godain dia pake panggilan itu. Dan emang ganteng parah, sih. Dia bisa banget jadi rival lo,” urai Septhian panjang lebar.

“Pacar?” beo Varen setengah memekik.

“Rumornya sih gitu. Dan Candra bilang juga kalau udah jadi,” imbuh Satya, anak kelas XII itu. 

Semua siswi bertanya-tanya kembali. Mulai berteriak, maksudnya agar mengalahkan suara siswi-siswi yang lain. Namun, yang terdengar justru seperti paduan suara tak berirama.

“Hei, Populer! Kenalin, nih. Anak baru. Kelas Gue. Gans, 'kan?” ujar Septhian lumayan keras.

 Sengaja untuk menunjukkan pada Varen, siapa Candra-Candra itu. Varen tersenyum saat saling pandang dengan Candra walau sesaat. Detik ini juga, dia ingin memastikan sesuatu. 
 
[🌻]

Hujan deras datang begitu saja, padahal Varen belum juga masuk ke kelasnya.

“Candra!” teriak seseorang yang membuat Varen menoleh kaget ke arah gazebo. Kala itu ia berdiri di depan kelas X yang berdekatan dengan taman. Jadi dia dapat melihat mereka berdua—Lana dan Candra—lumayan jelas dari seberang sana.

“Hukuman karna lo udah bohong.”

“Engh ... tapi gak pelukan juga. Ini sekolah bukan bioskop!”

“Siapa bilang di bioskop doang yang boleh pelukan?”

“Gue. Barusan. Lepasin, Can! Nanti Guru Bledek dateng! Gue gak mau ya, terjerat kasus atau dicap mesum.”

“Nanti tinggal gue yang usir. Keep it simple.”

“Lo kira segampang itu, apa? Lepasin, nggak?!”
Varen mengamati dua insan itu di tengah derasnya hujan, ditemani gelak tawa hambarnya. 

“Astagaa mereka ... hujan-hujan kok neduh malah di gazebo. Sengaja biar gak ikut kelas akhir?” gumamnya. Tak melepas perhatiannya dari mereka barang sedetik.

“Ren? Lo ngapain di sini?!" seru Irena heboh. Sebenarnya gadis itu sedang mencari keberadaan dua sahabatnya yang belum kunjung kembali, sudah terlewat setengah jam kini. Namun siapa sangka? Ia justru menemui Varen yang ingin ditemuinya juga setelah sekian lama.

“Oy,” sapanya singkat. 

Irena menjawab dengan anggukan.

“Eh gue mau nanya, Ren. Penting ini," ujar Varen segera. "Gue denger lo punya dua sahabat? Sejak kapan lo sahabatan sama mereka? Mereka baik?” berondong lelaki tampan itu.

Irena mengiyakan dengan anggukannya, satu alisnya naik beberapa senti. " Dari kelas X, sih."

“Mereka pacaran?” sambung Varen penuh harap.

“... Enggak, sih. Ya walau kelihatannya mereka berdua saling ngarep ....” Irena terdiam, masih membuka mulutnya dan Varen kian menatapnya dalam-dalam. “Tau, ah. Nggantung hubungan mereka, tuh.” Varen langsung menghela napas.

“Kenapa kok pertanyaan mendesak? Penasaran, ya? Mungkin mereka tuh sengaja buat cerita hidup mereka rumit like drakor. Gaje,” urai Irena seraya merotasikan sepasang netranya.

Laki-laki itu hanya membisu. Walau terdengarnya melegakan, hatinya tak cukup tenang. 

“Gue mau kenalan sama sahabat-sahabat lo, terutama Lana-Lana itu. Nanti lunch di rumah gue, ya. Gue tunggu.” Varen menepuk bahu Irena singkat, “Awas telat,” ingatnya lalu meninggalkan gadis itu.

Irena membeku sesaat. Tatkala Varen sukses menghilang dari koridor, ia segera berseru senang. “Gila, gila, gila... g-gue diajak lunch?” pekik Irena. Menampar-tampar pipinya sendiri yang sukses memerah.

"Ini for real? GUE LAGI GAK MIMPI KAN?" 

Irena melompat-lompat di tempat beberapa kali. Sisi childishnya keluar jika ini menyangkut mengenai Varen. Ia tak bisa mengungkapkan seberapa terkejut dan bahagianya ia di saat ini. 

“Hufftt, okey! Relax, girl ... and then gue pastiin mereka berdua ikut!” serunya dengan hati yang berbunga-bunga. Lantas, ia kembali menyusuri koridor—mencari dua insan menyebalkan yang nyalar dirindukannya.

“LANAAA! CANDRAA?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dream of Being a Villainess
865      484     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Aditya
1161      473     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
12197      1916     4     
Romance
Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Di saat aku hampir menyerah, laki-laki itu datang ke dalam kehidupanku. Laki-laki itu memberikan warna di hari-hariku yang monokromatik. Warna merah, kuning, hijau, dan bahkan hitam. Ya, hitam. Karena ternyata laki-laki itu menyimpan rahasia yang kelam. Sebegitu kelamnya hingga merubah nasib banyak orang.
Ghea
418      268     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
The Secret
335      217     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
KataKu Dalam Hati Season 1
3535      1069     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
A Day With Sergio
1080      523     2     
Romance
Nightmare
391      264     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Kesempatan
16769      2684     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Lazy Boy
4191      1114     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...