Hi! :)
Aria mendengus kesal ketika melihat surat tersebut. Ia baru saja pindah ke sekolah barunya seminggu yang lalu dan sekarang ia sudah mendapatkan surat yang pengirimnya tidak ia ketahui. Bukan hanya surat yang ia dapat, melainkan juga setangkai bunga tulip ia temukan di lacinya,
"Ri, itu dari siapa?," tanya Gianna, sahabat Aria. Aria hanya mengangkat bahunya tanda tidak tahu. "Lo enak banget ya, Ri, baru seminggu udah ada yang naksir." Aria mendengus kesal.
"Enak apanya, sih, Gin? Gue malah ngeri dikasih surat-surat begini." Gianna hanya tertawa.
"Pengecut tau gak, suka tapi nggak berani deketin langsung," ucap Aria.
"Ri, mungkin dia punya caranya tersendiri buat deketin lo." Gianna menepuk pelan bahu Aria lalu meninggalkannya. Aria hanya mendengus kesal. Lalu ia segera membuang kertas tersebut dan memasukkan bunga tulip itu ke dalam tas. Aria memang menyukai bunga tulip, jadi tidak ada salahnya bila ia menyimpan bunga tulip tersebut.
~~~
Aria melangkah ke dalam kelasnya. Bel tanda berakhirnya istirahat baru saja berbunyi. Aria pun segera duduk di tempat duduknya. Ia menundukkan kepalanya dan melihat ke dalam laci. Dan tebakannya benar. Terdapat lagi sebuah surat dalam lacinya. Bukan hanya surat melainkan juga sebatang cokelat rasa stroberi, rasa kesukaannya. Aria mengambil surat tersebut dan membukanya, lalu perlahan membacanya.
Akhirnya kita ketemu lagi. :)
Tubuh Aria menegang ketakutan. Apakah ini semacam teror? Siapa yang berani mengiriminya surat seperti ini? Siapa orang di balik semua surat ini?
"Gin, gue takut." Aria memberikan surat tersebut kepada Gianna.
"Kira-kira siapa sih orang yang ngirim surat ke gue? Kayak dia kenal aja sama gue." Aria menggerutu kesal.
"Mungkin dia memang pernah ketemu sama lo," ucap Gianna.
"Kalau memang dia pernah ketemu sama gue, kenapa dia nggak sapa gue?"
"Mungkin dia malu karena suka sama lo," ucap Gianna diselingi tawa. Aria mendengus kesal.
"Ya, ya, terserah lo, Gin." Aria pun meninggalkan Gianna yang menggelengkan kepalanya melihat sifat Aria.
~~~
Aria memegang erat cokelat dan bunga tulip di tangannya. Hari ini adalah hari pertamanya menjadi murid di taman kanak-kanak. Ia sangat gugup sekarang. Dalam hati ia berharap kedua orangtuanya dapat menemaninya. Namun mengingat pasangan tersebut harus bekerja membuat Aria sendirian di hari pertamanya. Entah sudah berapa lama Aria berdiri di depan pintu kelas yang tertutup tanpa berniat untuk masuk. Ia benar-benar ingin bersama orangtuanya sekarang.
Orangtuanya hanya bisa mengantarnya ke gerbang sekolah dan memberikannya setangkai bunga tulip dan sebatang cokelat rasa stroberi.
“Hei.”
Aria menoleh ke arah suara dan mendapatkan seorang anak laki-laki. Mata cokelat milik Aria menatap dalam mata hitam milik anak laki-laki tersebut cukup lama. Hingga anak laki-laki itu bertanya, “kamu nggak masuk?”
Aria menggeleng pelan, “a-aku takut.”
Anak laki-laki itu pun tersenyum hangat. “Jangan takut. Nama kamu siapa?
“A…ria…”
“Nama aku An-”
Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang wanita. Wanita itu segera mengajak Aria masuk ke dalam kelas. Aria pun akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengikuti seluruh kegiatan di sana. Namun matanya tak berhenti mencari sosok anak laki-laki yang baru saja ia temui. Sayangnya, sosok tersebut tidak terlihat, begitu juga hari-hari selanjutnya. Aria kehilangan sosok tersebut. Dan yang sangat disayangkan adalah, anak laki-laki tersebut belum sempat memperkenalkan dirinya.
Mata Aria terbuka. Ia segera mengubah posisi tubuhnya yang semula tidur menjadi duduk. Ia pun mencoba menenangkan jantungnya yang kini berdetak kencang.
Mimpi itu lagi.
Ini sudah kesekian kalinya Aria memimpikan kejadian di masa lalunya. Ia masih ingat jelas wajah anak laki-laki tersebut. Mata hitam anak laki-laki tersebut yang tergambar jelas di ingatan Aria.
Siapa anak laki-laki tersebut?
Mengapa ia pergi di hari aku bertemu dengannya?
Mengapa matanya selalu menarikku?
Mengapa ia selalu datang ke dalam mimpiku?
Akankah aku bertemu lagi dengannya?
Banyak pertanyaan memutar di pikiran Aria. Pertanyaan itu selalu ia tanyakan setiap malam, namun ia tidak pernah mendapat jawabannya. Ia selalu berdoa kepada Tuhan untuk menjawab pertanyaannya. Namun sepertinya Tuhan belum mengabulkan doa Aria.
Aria pun kembali mengubah posisi tubuhnya menjadi tidur. Ia memejamkan matanya lagi, berharap ia tidak memimpikan anak laki-laki itu lagi. Anak laki-laki yang belum sempat memperkenalkan dirinya pada Aria.
~~~
Gue nggak nyangka lo semakin cantik. :)
Gue udah suka sama lo sejak pertama kali kita ketemu. :)
Sayang banget lo nggak sempat tau nama gue. :(
Mata cokelat lo adalah mata yang paling enak untuk dilihat. :)
Sudah satu bulan lamanya Aria mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Tekadnya kini sudah bulat. Ia akan mencari tahu pengirim surat-surat tersebut. Aria selalu mendapat surat pada jam istirahat, karena itu ia memutuskan untuk tinggal di kelas pada jam istirahat hari ini.
“Lo beneran nggak mau ke kantin?,” tanya Gianna pada Aria. Ia pun bingung melihat Aria yang memilih untuk tinggal di kelas.
“Gue nggak lapar.” Gianna mengangguk lalu meninggalkan Aria. Aria pun segera memandang seluruh isi kelas. Sekarang hanya tersisa tiga orang di kelas tersebut.
‘Lena? Nggak mungkin dia, dia kan perempuan,’ batin Aria ketika memandang ke arah seorang gadis di kelasnya yang bernama Lena. Lena memang sering membawa bekal dari rumahnya sehingga ia sangat jarang pergi ke kantin. Aria memandang ke arah lain. Pandangannya jatuh pada seorang anak laki-laki yang duduk di pojok kelas sembari membaca buku.
‘Andra?’
‘Nggak mungkin Andra adalah pengirim surat, dia kan pendiam banget. Ngomong saja nggak pernah.’
Andra adalah nama anak laki-laki tersebut. Ia memang selalu diam di kelasnya. Berbicara pun hanya jika diperintahkan oleh guru. Namun tak ada yang tahu bahwa Andra menyimpan sebuah rahasia. Rahasia yang menyangkut Aria dan masa lalunya.
~~~
Aria menghela nafasnya pasrah. Ia benar-benar terlihat lesu karena gagal menemukan sosok pengirim surat. Ia pun berjalan tanpa memperhatikan jalan dengan benar. Beberapa kali ia harus meminta maaf karena menabrak seseorang. Antara kesal, kecewa, sedih, semuanya bercampur pada perasaan Aria. Sekarang ia hanya ingin pulang dan menengangkan dirinya dengan cara yang menurutnya paling ampuh. Yaitu tidur.
BRAKKK
Aria menabrak seseorang lagi. Ia dapat merasakan kalau ia baru saja menjatuhkan barang-barang bawaan orang tersebut. Ia pun segera meminta maaf.
“Eh, maaf, gue nggak se–Andra?”
Aria terkejut ketika melihat orang yang telah ditabraknya. Orang itu adalah Andra. Aria pun segera membungkukkan tubuhnya untuk mengambil barang-barang Andra yang jatuh. Tentu saja barang-barang itu adalah buku. Andra kan pecinta buku. Saat Aria mengangkat buku-buku tersebut, sebuah kertas keluar dari dalam buku. Mata Aria melebar ketika melihat kertas tersebut. Ia pun menjatuhkan kembali buku-buku milik Andra. Kertas tersebut telah dirobek menjadi beberapa bagian dan terdapat tulisan di kertas tersebut. Tulisan tersebut merupakan tulisan yang sama dengan tulisan yang berada di surat-surat yang selama ini Aria dapatkan.
“Jadi lo yang ngirim surat ke gue selama ini?” Andra terdiam. “Lo kira gue bakal suka sama lo kalau lo ngirim gue surat kayak gini? Kalau memang lo suka sama gue, harusnya lo buktiin, lo deketin gue langsung. Jangan jadi cowok pengecut yang cuma berani ngirim surat setiap hari. Dan jelasin maksud lo bilang kalau kita pernah ketemu. Karena gue nggak pernah ngerasa ketemu cowok pengecut kayak lo yang cuma be–“
Andra memotong ucapan Aria. “Oke gue jelasin. Gue ngirim lo surat setiap hari karena gue pengen deketin lo dengan cara yang berbeda. Gue kira dengan cara gue yang beda dengan cowok-cowok lain di sekolah akan membuat lo berpikir kalo gue ini cowok yang unik. Tapi ternyata gue salah, lo malah anggap gue cowok pengecut. Asal lo tau, ini pertama kalinya dalam hidup gue, gue ngedeketin cewek. Jadi wajar kalo gue nggak bisa ngedeketin lo seperti cowok-cowok lain yang udah punya pengalaman. Yang terpenting dalam hubungan adalah bukan cara gue ngedeketin lo tapi adalah gimana gue yang selalu setia mencintai lo dan selalu ada untuk menunggu lo.”
Kepala Aria kini menunduk. Perasaan bersalah kini memenuhi hatinya. Tak seharusnya ia mengatakan bahwa Andra adalah cowok pengecut. Bagaimana pun juga Andra selalu setia menunggu Aria selama ini. Bukan hanya untuk satu bulan, melainkan beberapa tahun lamanya Andra menunggu Aria.
“Dan soal yang gue bilang kita pernah ketemu,…” Andra terdiam sesaat, “…apa lo ingat anak laki-laki yang bilang ke lo untuk jangan takut saat lo masih TK?”
Kepala Aria terangkat. Matanya melebar. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia terkejut dengan pertanyaan Andra. “Lo tau dari–“
“Karena anak itu–“ Andra menarik nafasnya dalam-dalam, “–anak itu adalah gue.”
Kaki Aria terasa lemas sekarang. Ia masih belum percaya bahwa anak laki-laki yang selalu datang ke mimpinya sudah berubah menjadi remaja yang tinggi dan sedang berdiri di depannya sekarang. “Lo bohong kan, Dra? Nggak mungkin akan kecil itu adalah lo.”
Andra mendengus kesal. Ia mendekat ke arah Aria. Ia menatap mata cokelat Aria dalam-dalam. “Sekarang, coba lo lihat mata gue sebagai buktinya.” Aria melakukan apa yang Andra perintahkan. Aria menatap mata hitam milik Andra. Mata yang sama dengan mata anak laki-laki yang ia temui.
“Waktu itu, gue mendadak harus pindah ke Malaysia. Jadi hari itu, gue cuma mau ketemu sama Bu Guru untuk bilang beberapa kata. Setelah itu gue langsung berangkat ke bandara. Gue sedih waktu itu gue belum sempat kenalan sama lo, untung saja gue selalu ingat nama lo. Dan setiap malam, gue selalu berdoa agar gue bisa ketemu lo lagi. Dan Tuhan mengabulkan doa gue. Dia mempertemukan gue lagi dengan Aria. Bahkan Aria yang lebih cantik.”
Pipi Aria sudah semerah tomat sekarang. Ia ingin sekali berteriak berterima kasih pada Tuhan karena telah menjawab pertanyaannya.
“Gue tau lo belum suka sama gue, tapi gue janji, gue akan buat lo suka sama gue seiring jalannya waktu.” Andra mengambil sebatang cokelat rasa stroberi dan setangkai bunga tulip dari kantong jaket yang ia pakai. “Lo mau kan jadi pacar gue?”
Aria benar-benar kehabisan kata-kata sekarang. Hatinya mengatakan ‘iya’, namun otaknya mengatakan ‘tidak’. Namun sepertinya tubuhnya lebih mengikuti kata hatinya. Kepalanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Andra.
Andra tersenyum dan memberikan sebatang cokelat rasa stroberi dan setangkai bunga tulip itu pada Aria. Dan mulai detik ini, perjalan baru Andra dan Aria sudah dimulai