Entah Oji yang berangkat terlalu pagi atau mungkin teman-temannya yang terlambat datang secara massal. Karena setibanya dia di sekolah, parkiran yang biasanya sudah hampir penuh itu baru terisi beberapa motor dan sepeda saja. Itu pun dengan kendaraan guru-guru yang sudah Oji hapal betul milik siapa saja.
Wajar sih kalau teman-temannya terlambat secara bersamaan pagi ini. Hujan semalaman yang baru sedikit mereda tadi subuh membuat siapa saja jadi enggan beranjak dari tempat tidur, seperti halnya Oji tadi pagi. Kalau bukan Mama yang berkali-kali membangunkannya secara paksa pula, mungkin dia akan terjebak diantara kehangatan selimut dan empuknya kasur.
Belum lagi gerimis yang tak mau berhenti hingga sekarang. Beberapa orang akan menjadikannya alasan untuk keterlambatan bahkan keabsenannya hari ini. Biar Oji tebak, Danu pasti jadi salah satu dari orang itu. Anak gembul satu itu paling anti kalau harus hujan-hujanan.
"Takut jadi duyung." Katanya.
Duyung apaan? Dugong kali.
Dengan sweater biru muda yang juga tadi sempat dilapisi jas hujan, Oji menuju kelasnya.
Satu tikungan menuju tangga yang mengarah ke kelasnya, disana seseorang menahan langkah Oji. Ketidaksengajaan yang membuat Oji menelan ludah susah payah.
Karenina.
Satu posisi yang membingungkan bagi mereka. Ketika menyapa terasa masih sukar diucapkan, maka melewatinya begitu saja pun bukan hal yang mudah. Mengingat cewek itu yang berdiri tepat di anak tangga terbawah juga Oji yang sudah menangkapnya dengan kedua netra.
Keduanya bukan tak ingin saling menyapa. Ada banyak kata yang menunggu untuk diucapkan. Ada setitik rindu yang tersisa di masing-masing dari mereka. Yang terpaksa harus simpan sejenak karena rasa bersalah. Yang harus ditunda karena tidak ingin kembali terluka.
"Hai."
Sebuah sapa yang akhirnya memecah detik dari keterdiaman mereka. Satu kata yang sama dengan nada yang sama pula. Ragu namun sarat rindu.
"Emm.. cari sesuatu, Nin?"
Oji sempat melihat cewek itu seperti tengah mencari sesuatu di beberapa langkah terakhirnya di tangga. Dia berusaha membuat suasana senormal mungkin. Meskipun tak di pungkiri kalau detakan jantungnya saat ini begitu cepat dia rasakan.
Oji kadang merasa aneh, dia sempat merasa begitu sakit hati ketika Karenina memutuskan hubungan mereka yang baik-baik saja itu secara tiba-tiba juga dengan tanpa alasan. Lalu ketika mendengar cerita dari Naya tentang Karenina dan Aldo, dia merasa kalah. Bukan hanya oleh Aldo saja, tapi karena memang dari semua hubungan yang pernah dia jalani, semuanya berakhir karena kedatangan orang lain di tengah-tengah mereka.
Dan meskipun Karenina satu-satunya cewek yang mengakhiri hubungan secara tiba-tiba dan tanpa alasan, perasaan Oji pada cewek itu rasanya tak berubah. Sedikit mungkin iya, tapi Oji tetap merasakan debaran itu saat di dekat Karenina.
"Aku nyari gelang, kayaknya jatoh disini deh."
Karenina masih menggunakan kata 'aku-kamu', dan itu membuat dada Oji sedikit menghangat.
"Aku bantu cariin ya."
Karenina sudah sempat akan menolak, tapi cowok itu langsung bergerak cepat mencari-cari disekitar bawah tangga.
Melihat Oji yang begitu serius membantunya membuat cewek itu menggigit bibirnya. Rasa bersalah kembali muncul ketika menyadari kalau tak ada yang berubah dari Oji. Cowok itu hanya sempat menghindarinya untuk beberapa lama, dan itu wajar bagi Karenina. Cowok itu pasti kecewa.
"Tadi kamu lewat mana?"
Karenina menoleh lalu menghampiri Oji ke tepi koridor yang ditanami bunga di sepanjang sisinya.
"Lewat situ. Tadi aku nerobos hujan lewat taman, aku sempet lompatin pot bunga itu." Katanya dengan sedikit malu.
Oji terkekeh kemudian mendekati pot yang ditunjuk oleh Karenina, pot yang memang menjadi penghalang area koridor dan area taman, menyibakkan daunnya yang mana tahu menyembunyikan gelang cewek itu disana.
"Hujan, Ji." Karenina mengingatkan.
Pot yang dia tunjuk memang berada di area taman yang tidak terhalang atap koridor. Gerimis yang tadi mulai mereda kini kembali turun, membuat cowok yang tengah serius mencari gelang diantara tanaman itu menutupi kepalanya dengan hoodie yang ia kenakan.
"Gak apa-apa. Sebentar."
Benar saja, sebentar kemudian benda kecil berwarna ungu yang sering Oji lihat tak pernah lepas dari pergelangan tangan kiri Karenina itu menyembul dari balik dedaunan.
"Nah, ketemu." Seru Oji.
Cowok itu tersenyum setelah berhasil menemukan gelang milik mantan pacarnya itu. Namun sedetik kemudian senyum itu lenyap ketika tak sengaja sebuah tulisan dibalik gelang itu terbaca olehnya.
Sebuah nama yang kehadirannya telah mematahkan harapan, yang membuat Oji kembali merasakan kekalahan. Pantas saja Karenina tak pernah melepaskan benda kecil itu, karena memang hatinya telah tertaut pada nama yang terukir disana.
Benda kecil simbolis dari siapa pemilik hatinya.
Karenina menerima gelang yang diulurkan dengan lemah itu dengan perasaan gamang. Kembali rasa bersalah menyergapnya hingga dia tak mampu untuk sekedar mengucap terima kasih pada cowok yang rela bermandikan gerimis demi mencari sebuah benda yang pemberinya adalah penghancur harapannya.
Oji tersenyum sebelum akhirnya berbalik dan menaiki tangga. Tanpa kata, dia berlalu begitu saja. Kembali disadarkan bahwa Karenina bukan miliknya.
Sambil menggenggam gelang ungu yang sedikit basah, Karenina menatap punggung yang menjauh di undakan tangga atas itu.
Dibalik hoodie yang basah itu, ada hati yang kembali dingin. Karenina tahu itu. Dan dialah satu-satunya orang yang paling pantas untuk disalahkan.
***
"Kenapa lo?"
Oji mengangkat kepalanya dari lipatan tangan yang tertelungkup diatas meja.
"Sakit?"
"Enggak."
"Laper?"
"Enggak."
"Terus kenapa?" Tanyanya tak sabar.
Oji memiringkan kepala menatap sahabatnya yang kini duduk di bangku milik Danu. Benar kan kata Oji, Danu absen hari ini. Dengan kening berkerut dia tatap Ara cukup lama.
Ara yang mendapat tatapan seperti itu dari Oji lantas mengernyit. "Apa sih?"
"Tumben lo disini?"
Ara mendelik. "Gue tuh khawatir liat lo diem terus dari tadi, masih pake sweater lagi, lo gak sakit kan?"
"Dih, emang gue pake sweater kalo sakit doang?"
"Ya enggak sih, tapi lo diem terus dari pagi."
Oji tersenyum sambil mengacak rambut Ara.
"Jadi kenapa?" Tanya Ara karena tak kunjung mendapat jawaban dari Oji.
Cewek yang hari ini memakai mengikat rambutnya itu masih dalam tingkat penasaran yang tinggi terhadap sahabatnya.
Sejak memasuki kelas tadi pagi, Ara menyadari ada sesuatu dari Oji. Langkah lunglai Oji, juga binar semangat yang biasa Oji tunjukan hilang begitu saja.
Dia yang tak sempat bertanya pun akhirnya selama pelajaran berlangsung hanya terfokus pada cowok yang sepertinya lupa melepas sweaternya itu.
"Gak kenapa-napa, Ara."
"Lo bilang gitu justru gue makin mikir lo kenapa-napa tau, Ji."
"Ih, sweet banget sih, awas pacar lo denger."
Sedikit jengkel Ara mencubit lengan Oji, tapi cowok itu malah tertawa.
"Tadi pagi lo dijemput?"
Ara mengangguk.
"Hujan-hujanan?"
"Enggak lah. Bintang jemput pake mobil kakaknya."
"Oh." Oji mengangguk. Pasalnya tadi pagi dia tak sempat melihat Ara berangkat. Jadi dia tidak tahu apakah sahabatnya itu kehujanan atau tidak saat berangkat tadi.
Bintang selalu melakukan semuanya dengan baik. Memperlakukan Ara dengan amat baik pula. Dia seolah ingin meyakinkan Ara bahwa dirinya saat ini adalah dunianya.
Setiap saat dia sempatkan untuk menemui Ara. Jam istirahat tak pernah dia lewatkan untuk mengajak cewek itu makan siang bersama. Kadang berdua, kadang ikut bergabung bersama teman-temannya.
Dan Ara selalu melakukannya dengan senang hati. Selama bersama Bintang, kemanapun dan kapanpun dia mau. Meski Naya sering protes dan mengingatkan, tapi dia hanya meyakinkannya dengan berkata dia akan baik-baik saja.
Makanya, Oji merasa aneh jika jam istirahat ini Ara ada di kelas dan bahkan duduk disampingnya. Apa mungkin Ara bilang kalau dia mengkhawatirkannya? Kalau iya, apa mungkin Bintang mengizinkan?
Rasanya sih tidak mungkin. Karena bukan sekali Oji merasa kalau Bintang memang sedikit membentangkan jarak antara dirinya dengan Ara. Dia seakan membuat batasan sejauh mana mereka boleh berhubungan dan sebanyak apa waktu yang boleh mereka habiskan berdua.
Ini mungkin perasaan Oji saja, tapi entahlah, setiap Ara dan Oji punya kesempatan berdua, Bintang akan segera mengambil alih.
Tak apa, mungkin ini sifat posesifnya Bintang terhadap pacarnya.
"Tumben gak sama Bintang, Ra?"
Ara menggeleng. "Siapa tau ada yang mau lo ceritain ke gue. Lo jarang cerita-cerita nih ke gue."
"Beneran mau denger?"
"Iya." Jawab Ara.
Ada banyak yang ingin ia bagi pada Ara. Tentang keresahan hatinya akan banyak hal. Namun dia juga sadar kalau semua itu tak harus selalu ia bagi pada sahabatnya.
Oji yang terlarut pada pemikirannya, diam sambil terus menatap Ara, membuat Ara yakin kalau ada yang cowok itu sembunyikan.
"Kenapa?"
Oji menghela napas.
"Gue kepikiran banyak hal aja sih, Ra."
"Tentang?"
Ara mengubah posisi jadi menghadap Oji. Menatap cowok itu lurus-lurus.
"Gue.."
"Ara."
Ara menoleh cepat. Di ambang pintu, Bintang menjemputnya.
Oji menelan kembali cerita yang ingin ia bagi pada Ara. Melihat cewek itu segera bangkit dan menghampiri Bintang, membuatnya menyadari kalau kini sahabatnya pun telah ada yang memiliki.
***
Bagi setiap anak bahu ibunya adalah tempat yang paling nyaman untuk bersandar. Melepas lelah dan kesah, dilingkup kehangatan yang tak pernah ternilai besarnya.
Pun bagi Oji, terlahir sebagai anak tunggal membuatnya begitu dekat dengan sang Mama. Ia kerap menghabiskan waktu bersama untuk sekedar berbincang bertukar cerita.
Seperti saat ini, malam belum begitu larut saat mereka duduk berdua di depan televisi yang dibiarkan menyala. Film yang mereka tonton sudah selesai sejak tadi, tapi Oji yang masih betah diam membuat Mama mengurungkan niatnya untuk ke kamar dan menemani putra semata wayangnya itu.
"Ara sekarang punya pacar ya."
Oji melirik Mama sebentar lalu meneguk susu hangat yang dipegangnya.
"Kamu gak punya pacar gitu?"
Tanpa berniat menjawab pertanyaan sang Mama yang Oji yakini Mama sendiri sudah tahu jawabannya, Oji menyandarkan kepalanya di bahu Mama.
Mama tersenyum. Sifat manja Oji memang tak pernah hilang. Meskipun dia tidak pernah dimanjakan oleh kedua orang tuanya, ketiadaan saudara membuat anak itu tetap menyimpan sifat masa kecilnya.
"Semakin dewasa, ada saatnya kamu merasa kesepian. Ada saatnya kamu merasa ditinggalkan. Dan itu wajar. Kamu hanya perlu menerima dan menjalaninya aja kok."
"Semua itu adalah bagian dari fase menuju kedewasaan. Cukup lakukan semua yang terbaik semampu kamu. Mama percaya, anak mama ini anak yang baik."
Oji menegakkan tubuhnya menghadap Mama. Menatap mata dari manusia favoritnya itu yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.
"Mama bisa baca pikiran orang ya? Aku tuh belum cerita, Ma."
Tak perlu banyak kata bagi Mama untuk memahami putranya. Karena baginya, setiap gerik itu memiliki makna. Dan apa yang di gambarkan bahasa tubuh Oji, cukup untuknya mengartikan bahwa putra semata wayangnya itu tengah diliputi keresahan.
***
To be continue..