"Pagi, Ara."
Ara memelankan langkahnya saat sapaan itu sampai ditelinganya. Seseorang yang melewatinya itu menyempatkan diri untuk menoleh sambil tersenyum sebelum akhirnya mengikuti langkah teman-temannya yang lain.
Ara yang tak sempat menyapa balik hanya memberikan seulas senyum sambil kembali meneruskan langkahnya menuju kelas.
Untuk kesekian kalinya Bintang, cowok itu, menyapanya di hadapan orang banyak. Awalnya setelah kejadian di halte tempo hari itu, mereka tak sengaja bertemu di kantin saat jam istirahat. Bintang menghampirinya untuk sekedar bertanya apakah dia kehujanan sebelum sampai rumah. Yang juga dijadikan kesempatan oleh Ara untuk berterima kasih karena Bintang sudah memesankan ojek online untuknya.
Bintang sempat menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi Ara menolak. Rasanya gak enak saja diantar pulang oleh orang yang bahkan untuk setelah sekian lama baru kembali menyapanya.
Lalu saat Ara menemani Naya yang berlatih cheerleader, Bintang juga menghampirinya di pinggir lapangan. Menemaninya hingga Naya selesai.
Ara bukannya tidak senang, tapi perlakuan Bintang yang kalau boleh dibilang tiba-tiba mendekatinya itu sering kali dilakukan didepan banyak pasang mata. Di depan teman-temannya yang sedang bermain basket, di depan Naya dan anggota cheers yang lain, bahkan di koridor seperti tadi.
Sikap Bintang itu kemudian mengundang tatapan-tatapan sinis dari siswi lain yang melihatnya. Dan tentu saja ditujukan pada Ara.
Jangan lupakan sebuah pesan masuk yang semalam Ara terima dari nomer tak dikenal. Yang isinya :
082*********
Hai, Shafara. Ini nomer gue. Save ya.
Bintang.
Sebuah pesan yang bikin Naya langsung menelponnya meminta penjelasan setelah Ara mengabari lewat pesan WhatsApp. Ara jelas menolaknya karena sudah larut malam. Ia tak mau dimarahi sang mama karena ketahuan cekikikan tengah malam.
Bukan apa-apa, kalo udah ngobrol sama Naya, mau langsung atau di telpon dia suka lupa tempat dan waktu. Namanya juga cewek.
Apalagi ini pembahasannya tentang Bintang. Bisa-bisa mereka gak tidur semalaman. Ara biarkan saja Naya penasaran sendiri di kamarnya. Karena pasti di kelas pun cewek itu meminta ceritanya diulang.
Jadilah Ara senyum-senyum semalaman setelah membalas pesan dari Bintang itu hingga dia jatuh tertidur.
"Sumpah, gue kira cinta lo akan bertepuk sebelah tangan selamanya, Ra."
Ara mendelik.
"Ish, lo tuh ya. Baru chat doang, masih jauh lah buat sampe kesana."
"Tapi lo seneng kan? Ngarep kan?" Naya menggoda teman sebangkunya itu dengan alis naik turun.
Perlahan senyum Ara mengembang dengan wajah memanas. Keduanya lantas tertawa.
"Apa nih ketawa-ketawa?" Oji menumpukan kedua tangannya didepan dua cewek yang tertawa entah karena apa.
Ara meminta Oji mendekat lalu membisikkan satu kata. Bukan bisikkan sih, karena Danu dan Naya masih bisa mendengarnya.
"Kepo."
Terlihat sekali kalau Oji gemas dengan tingkah Ara barusan. Dia melirik Danu sebentar yang juga mengedikkan bahu tanda tak mengerti.
"Ini tuh urusan cewek, Ji." Kata Naya.
"Halah, paling ngomongin oppa oppa." Timpal Danu.
"Iya, oppa nya Ara."
Oji mengerutkan kening lalu menatap Ara penuh tanya. Yang ditatapnya hanya tersenyum.
Oji paham. Pasti tentang Bintang. Dan kalau benar, itu artinya ia memang tidak ada urusan. Kalau soal hati, sedekat apapun persahabatan mereka tetap tak bisa dilewati begitu saja. Oji paham ada batasan-batasan yang tak bisa ia lewati.
Dia hanya akan berdiri di garis aman, mengawasi, lalu mengambil langkah jika dia sudah dibutuhkan. Yang lagi-lagi masih harus dalam batasan normal.
Tak peduli tatapan penasaran Danu terhadap dua teman ceweknya itu, Oji menyeretnya menuju bangku mereka.
***
"Ji, gue pulang sama Bintang ya."
"Hah?"
Oji sampai harus melepaskan lagi helm yang sudah di pakainya demi mendengar kalimat yang Ara ucapkan.
"Sama Bintang?" Tanya Oji meyakinkan dirinya kalau ia tak salah dengar.
"Iya." Kata Ara sambil mengangguk.
"Oh yaudah, hati-hati ya."
Melihat Ara yang menghampiri Bintang membuat Oji sedikit merasa aneh.
"Gencar amat tuh cowok. Perasaan seminggu yang lalu masih biasa aja deh."
***
Ara tak pernah menyangka kalau waktu yang ia harapkan akhirnya tiba juga. Meskipun baru sebatas berbalas pesan dan kadang pulang bersama, tapi itu rasanya sudah cukup berarti mengingat bagaimana dia menikmati perasaannya dalam diam dan dalam waktu yang lama tanpa pernah ada respon baik dari Bintang.
Ini kemajuan yang baik, bukan?
Dan selama beberapa minggu ini pula intensitas kebersamaannya dengan Oji jadi sedikit menurun. Cowok itu tengah disibukkan dengan kegiatan OSIS diakhir masa jabatannya, tapi masih sesekali mengabari atau mengunjunginya kalau kebetulan Ara ada dirumah.
Ara jadi lebih sering bersama Naya, bercerita tentang kemajuan hubungannya dengan Bintang. Naya ikut senang melihat sahabatnya tak lagi memendam perasaan sendiri.
Tingg..
Bintang
Gue udah di depan rumah, Ra.
Ara segera menyambar tas kemudian menghampiri mamanya di dapur untuk berpamitan.
"Hai." Sapa Ara setibanya di teras rumah.
Bintang mendongak, mengalihkan perhatiannya yang semula dari layar ponsel ke wajah Ara yang tampak sumringah.
"Hai, Ra. Udah pamit?"
"Udah kok, langsung aja."
Bintang mengangguk lalu menyerahkan helm ke Ara.
Sementara di halaman rumah sebelah, Oji mengamati dalam diam ketika dilihatnya sahabatnya itu tengah tersipu oleh perlakuan Bintang.
Sebelum menaiki motor, Ara sempat menoleh sebentar pada Oji. Cowok itu mengangguk sambil mengucap 'hati-hati' tanpa suara. Ara membalasnya sebelum kemudian pergi membelah jalanan di akhir pekan yang sudah pasti ramai.
Jika biasanya Ara marah kalau hari minggunya di ganggu Oji untuk menemaninya bermain basket di lapangan kompleks, tapi untuk Bintang, Ara melakukannya dengan senang hati.
Gak apa-apa lah bengong di pinggir lapangan kalau yang ditontonnya itu Bintang.
***
Kalau biasanya Ara menemani Oji bermain basket hanya dalam artian sesungguhnya, duduk di pinggir lapangan menunggu hingga Oji selesai, kali ini enggak.
Ara benar-benar mengamati setiap pergerakan Bintang, walaupun ia sudah sering menonton cowok itu beraksi di sekolah. Ia tak jarang bersorak saat Bintang berhasil memasukkan bola ke ring. Atau meneriakkan kata semangat pada cowok itu.
Hingga akhirnya permainan selesai, Ara segera menyodorkan sebotol air mineral pada Bintang yang menghampirinya.
"Makasih ya."
Ara mengangguk.
Mata bulatnya masih terfokus pada titik yang sama. Sebuah objek yang dulu hanya bisa diamatinya dari jauh, kini benar-benar dalam radius yang amat dekat dengan dirinya.
Kadang Ara masih ragu, nyata kah ini?
Tapi Ara juga percaya kalau Tuhan itu maha membolak-balikkan perasaan. Seseorang yang tadinya jauh bisa saja tiba-tiba mendekat, begitupun sebaliknya. Tidak ada yang tidak mungkin bukan.
"Nonton doang sampe keringetan gitu." Kekeh Bintang sambil menunjuk pelipis Ara yang sedikit berkeringat.
"Ah iya," Ara segera mengusap pelipisnya yang basah.
Entah saking semangatnya atau karena dia berada sedekat ini dengan Bintang, apalagi dengan rambut basahnya yang membuat cowok itu tampak semakin memesona di mata Ara.
"Bisa main basket gak, Ra?"
"Enggak." Cewek itu menggeleng.
"Mau main?"
"Kan udah gue bilang gak bisa."
"Iya makanya biar bisa."
Melihat Ara yang tampak ragu, Bintang lantas berdiri lalu mengulurkan tangannya ke depan Ara.
"Yuk, gue ajarin."
Ara menatap telapak tangan yang terbuka mengulur kepadanya dengan sedikit terkesiap. Perlahan ia membalas uluran itu sambil tersenyum, "Ayo."
Kedua tangan yang tak pernah kontak fisik itu kini menyatu dalan sebuah genggaman. Membuat Ara semakin yakin kalau apa yang dirasakannya akhir-akhir ini memanglah nyata.
Kini keduanya berdiri di tengah lapangan yang sudah kosong. Bintang mulai mengajari Ara cara mendrible bola, lalu saling mengoper satu sama lain.
Ara yang awalnya bergerak kaku kini mulai mengimbangi Bintang yang terus mengomandoi cewek itu.
"Bagus, Ra."
Disemangati seperti itu tak pelak membuat Ara semakin menikmati permainan yang diarahkan langsung oleh sang kapten pemilik hatinya. Senyumnya tak henti mengembang.
"Sekarang shoot bolanya ke ring."
Ara mendadak ragu. Ternyata tinggi ring basket setinggi itu ya kalau dari dekat. Setidaknya itu bagi Ara yang punya tinggi badan minimalis.
"Gak bisa deh kayaknya." Katanya putus asa.
"Bisa, coba dulu."
Sedikit mempertimbangkan jarak terlebih dulu sebelum akhirnya Ara melempar bola. Percobaan pertama gagal.
Pun dengan lemparan berikutnya hingga lima kali bola itu hanya hampir menyentuh tepian ringnya saja.
Kesal, Ara mendengus menatap ring yang tak mau disentuh bolanya tadi.
Bintang terkekeh sambil mengambil bola yang kembali keluar jauh dari lapangan. Setiap kali lemparan itu gagal dan bola malah menggelinding jauh keluar area lapangan, cowok itu dengan sigap berlari mengambil dan menyerahkannya pada Ara.
"Sini gue bantu."
Ara terkesiap begitu tangan kokoh Bintang menyentuh kedua lengannya dari belakang. Sebuah posisi setengah memeluk karena kedua tangan mereka terangkat memegang bola mengarah ke ring.
Degupan kencang di jantung Ara membuatnya hampir melepaskan bola yang dipegangnya. Bintang meliriknya sebentar sebelum kembali memusatkan pandangan ke depan. Sesederhana itu, kontras dengan apa yang tengah Ara rasakan saat ini.
Ara menelan ludahnya susah payah. Aroma tubuh Bintang, juga rasa hangat dari genggaman cowok itu hampir saja membuatnya kehilangan fokus.
Jantungnya masih berdegup cepat, membuat Ara berpikir apakah Bintang merasakannya, mengingat begitu dekatnya posisi mereka saat ini.
"Lihat ke depan, fokus, lempar!!"
Ara mendengar arahan Bintang sambil berusaha menguasai dirinya.
Dan ketika untuk kedua kalinya Bintang mengulang arahannya, Ara melempar bola di tangannya. Dan..
Masuk!
"YESS!!"
Keduanya bersorak melihat bola itu melewati ring dengan mulusnya. Ara sampai menutup mulutnya tak percaya kalau dia bisa melakukannya. Sedetik sebelum kemudian tubuhnya menegang saat tiba-tiba Bintang refleks memeluknya.
Benar-benar memeluknya.
***
To be continue..