“Mau sampai kapan kita di sini?” tanya Adelia yang menyedot tetesan terakhir es jeruknya.
“Sebentar lagi. Aku belum bisa mendekatinya. Dia terlihat sangat sibuk.”
Vincent tampak sibuk. Dia mengantar pesanan ke meja dengan wajah yang datar. Kanaya sempat berpikir bahwa ekspresi datar itu hanya ditujukan padanya saja. Namun, setelah hari ini, setidaknya dia tahu bahwa karakternya memang seperti itu. Beberapa pengunjung mungkin ada yang terganggu dengan raut wajah tanpa senyum saat melayani mereka, tapi mereka mungkin mengabaikannya karena rasa makanan di restoran ini sangat enak.
“Hei Kanaya, apakah aku salah lihat atau memang warna mata laki-laki itu berbeda? Aku ingin menanyakannya dari tadi, tapi aku lupa karena keasyikan makan.”
Kanaya bertopang dagu, netranya terus mengikuti ke mana pun Vincent pergi. “Kau tidak salah lihat. Warna matanya memang berbeda.”
“Ah, begitu.”
“Adelia, apa kau berpikir bahwa itu hal yang aneh?”
“Apanya?”
“Warna mata itu.”
Adelia ikut bertopang dagu. “Daripada aneh, itu lebih pantas di sebut unik. Ya, walaupun aku sebenarnya tak terlalu peduli.”
Kanaya tersenyum. Setidaknya pendapat Adelia sama dengannya. Ada satu hal yang membuatnya menyukai Adelia. Jika karena baik, maka semua orang bisa menjadi baik walau harus berpura-pura. Namun, sifatnya yang blak-blakan dan tak pernah merendahkan orang lain itulah yang membuat Kanaya menyukainya.
Hari ini bukan hari pekan, tapi restorannya cukup ramai. Itu wajar, karena orang-orang pada umumnya berpatokan teguh pada slogan ‘murah, enak dan mengenyangkan’ termasuk Kanaya.
“Kau Hanna, ‘kan?” suara laki-laki yang tiba-tiba itu mengagetkan Kanaya dan Adelia. Dia memakai seragam pramusaji yang sama seperti Vincent. Bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyum yang membuat lesung pipinya terlihat. Anehnya, senyum itu mengarah pada Adelia.
“Tidak salah lagi, kau betulan Hanna.” Dia berkata dengan ekspresi senang.
“Hanna?” Kanaya bertanya-tanya. Lalu, dia pun menatap Adelia. “Kau mengenalnya?”
Adelia mendesah pelan, kemudian dia mengangguk. Dia menggerak-gerakan bibir, seolah memberitahukan isi pikirannya. Kenapa harus bertemu dengannya dari sekian banyak orang.
“Apa kabarmu? Sudah lama sekali kita tidak bertemu, sejak kau tidak lagi di panti. Sebenarnya aku terus mencari-cari keberadaanmu, kau tidak membalas pesanku yang kukirim lewat media sosial. Beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu di sini hari ini.”
Adelia tersenyum kecut. Laki-laki berperawakan kurus tinggi itu tampak sangat senang. Dia bahkan tak berusaha untuk menyembunyikannya. Rambut hitamnya sedikit keluar karena dia mengenakan topi dengan gaya terbalik.
“Kabarku baik, aku sehat, seperti yang kau lihat. Ah, kau semakin tinggi, omong-omong.”
Laki-laki itu tersenyum lagi, sepertinya dia sangat suka menebar senyum seperti itu. “Tentu saja. Aku kan rajin minum susu.” Laki-laki itu pun menoleh ke arah Kanaya yang melongo. “Kami berteman,” ucap laki-laki itu kemudian sembari tersenyum.
Kanaya tidak tahu harus mengatakan apa, hingga akhirnya hanya bisa membalas dengan senyuman juga. Matanya beralih pada Adelia yang tak bersuara. Ia mendelikkan mata, seolah bertanya ‘siapa laki-laki ini?’
“Iya, dia temanku. Dulu, kami berada di panti yang sama.”
Laki-laki itu mengulurkan tangan sambil menyebutkan namanya singkat. “Ilay,” katanya. Begitu pun Kanaya yang segera balas menyebut namanya juga. Mereka berkenalan saat itu. Ilay sangat ramah, bahkan untuk seseorang yang baru saja bertemu.
“Apa kau temannya Vin? Kau terus menatapnya sedari tadi. Apa jangan-jangan kau pacarnya?”
Kata-kata Ilay tiba-tiba membuat Kanaya jadi salah tingkah. Kanaya mengangkat kedua tangannya, melambai-lambaikannya dengan tawa masam di wajahnya. “Bukan, bukan, haha ... dia itu hanya kenalanku.”
“Bohong, dia tertarik pada laki-laki itu,” tukas Adelia santai dengan telunjuk yang mengarah pada Vincent.
Kanaya terdiam. Mukanya memerah dan dia melotot pada Adelia. Ya, walaupun gadis berambut sebahu itu terkesan mengabaikannya. Hal itu membuat Ilay terkekeh, dan Kanaya malah semakin malu karenanya.
“Tak sedikit orang yang tertarik padanya, dia memang tampan dan menarik. Hanya saja, dia terlalu cuek, bahkan dia tidak pernah tersenyum. Karena sikapnya yang seperti itu, kurasa dia tak mempunyai banyak teman. Bahkan, aku saja sering sekali diabaikannya.”
“Ah, jadi banyak gadis yang tertarik padanya. Aku mengerti,” ucap Kanaya mengulum bibir.
“Hei, Ilay, kenapa kau berkata tentang hal yang tak berguna?” tukas Adelia sambil menatap Ilay, tapi Ilay hanya tertawa ringan.
“Aku bicara yang sebenarnya, tapi kau tenang saja, karena dia masih sendirian sampai sekarang. Dia tidak pernah bercerita padaku, sih, tapi dari ekspresinya aku mengerti bahwa dia tak terlalu menyukai gadis-gadis itu. Jadi, kau masih punya kesempatan.”
Kanaya tertawa kecut, “haha, ya terima kasih.”
“Dia itu anak yang baik, sih sebenarnya.” Ilay mulai mengoceh lagi, kali ini ia melipat tangannya di dada dan jari telunjuknya mulai menggosok-gosok dagunya sendiri. “Walaupun dia tidak pernah tersenyum dan tak punya keahlian untuk berkomunikasi yang baik pada pelanggan, tapi bos kami memakluminya. Pertama, karena dia tampan, kedua, karena dia sopan. Lalu, hubungannya dengan para pegawai di sini juga tak terlalu baik. Itu wajar, sih, orang-orang di sini selalu berkata bahwa dia keturunan aneh karena mempunyai warna mata yang berbeda.” Ilay melepas tangannya dan merentangkannya ke samping. “Ya, dibanding Vin, kupikir orang-orang di sinilah yang aneh. Kenapa juga mereka selalu saja mengatakan hal-hal yang tak berguna seperti itu.”
“Hei, Ilay ... mau sampai kapan kau mengoceh seperti itu di sini? Apa kau tak akan bekerja?” Adelia mulai menatapnya dengan kesal.
Lagi-lagi Ilay terkekeh, “haha, habisnya wajah Kanaya seakan memintaku untuk terus menceritakan tentang Vin.”
Kanaya yang awalnya mendengarkan dengan antusias, kini terkesiap. “Apa? Aku tidak begitu, Kok.”
“Haha, baiklah aku akan pergi.” Ilay mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Adelia.
“Kenapa kau memberikan ponselmu? Aku tidak butuh, punyaku masih bagus.”
“Haha, kau ini ... tolong kau ketik nomormu di sini.”
Adelia menopang dagu dan mendengus, “tidak mau,” jawabnya malas.
Ilay tersenyum simpul dan mengubah arah ponselnya ke Kanaya. “Kalau begitu nomormu saja.”
“Ah, kenapa jadi nomorku?”
“Karena aku akan menceritakan tentang Vin sebanyak yang kau mau,” ujarnya melebarkan senyum.
Kanaya segera menyerobot ponsel hitam milik Ilay, mengetik nomor ponselnya sendiri dan menyimpannya. Itu dilakukannya dengan cepat, dan penuh semangat.
“Terima kasih, sampai jumpa lagi.” Setelah memasukkan ponselnya kembali ke saku celana, Ilay pergi menghampiri pegawai yang lain.
Adelia mendesah kasar, sambil menopang dagu ia memalingkan wajah. “Aku tak bisa lagi berkomentar.”
“Haha. Ya, sebaiknya memang tidak usah. Oh, ya, kenapa dia memanggilmu Hanna? Kalian juga tampak dekat, dia bahkan terlihat sangat senang bertemu denganmu.”
“Semua anak panti memanggilku dengan panggilan itu. Mereka memanggil nama depanku.”
“Oh benar, nama lengkapmu kan Rihanna Adelia.”
Adelia mengangguk. “Aku memang dekat dengan Ilay. Sejak pertama kali aku di titipkan ke panti, dia yang lebih dulu menyapaku. Umurnya lebih tua dua tahun dariku kalau tidak salah. Dia anak yang baik, sih, tapi terkadang dia bertingkah menyebalkan. Jika di pikir-pikir, memang sudah sangat lama kami tidak bertemu. Aku di adopsi saat umurku dua belas tahun waktu itu. Hm ... terakhir kali saat aku berumur enam belas tahun, aku, ibu dan ayahku mengunjungi panti, tapi aku tak melihatnya hari itu. Kata pengurus panti, dia sudah bekerja dan tinggal di rumah kosnya.”
“Ah, seperti itu. Pantas saja dia terlihat senang melihatmu ....” Kanaya tak melanjutkan kata-katanya. Netra cokelat tuanya menangkap Vincent yang tengah pergi keluar kedai. Kanaya terperanjat, “oh, dia keluar. Tunggu di sini, aku ingin menyusulnya sebentar.” Kanaya berkata sambil melenggang pergi dengan cepat.