Kanaya membuka mata saat mendapati matahari sudah meninggi. Ia bisa mengetahuinya karena suasana yang terang dari balik jendela kamarnya. Kedua matanya memicing, berkedip-kedip sebentar setelah akhirnya ia memutuskan untuk beranjak. Kanaya membetulkan ujung-ujung seprainya yang sedikit berantakan, melipat selimut polkadot itu lalu bercermin sebentar. Baru pukul tujuh pagi, Kanaya mengambil dompetnya yang ia taruh di bawah bantalnya, pergi ke dapur untuk mengambil sebuah mangkuk plastik dan terakhir, ia pergi keluar menunggu tukang bubur kacang hijau datang.
Tak perlu menunggu lama, karena belum ada lima menit Kanaya menunggu, tukang bubur itu pun telah datang.
“Pak, kacang hijaunya sedikit saja, tapi tolong bubur ketannya di banyaki.”
Tukang bubur yang memakai handuk di pundaknya itu mengangguk. Kanaya jarang menghirup udara pagi seperti ini. Jika bukan karena ingin sarapan bubur, dia tak akan keluar. Dia lebih memilih untuk rebahan sembari memainkan ponsel di dalam kamarnya.
Setelah menghabiskan semangkuk bubur yang manis sesuai seleranya, dia bergegas mandi. Hari ini dia tidak boleh terlambat. Pikirannya sedang jernih, kepalanya sedang segar-segarnya. Dia bertaruh suasana hatinya hari ini berkaitan dengan apa yang terjadi tadi malam. Biasanya, sejak pagi Kanaya akan merasa rongseng karena pesan-pesan tagihan yang masuk secara beruntun. Dia akan pusing dan mulai berpikir keras bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayarnya. Setelah tahu bahwa dia tak bisa mendapatkan uang itu, dia akan mulai lemas dengan pikiran tak berdaya.
Di rambut cokelatnya yang panjang, tetesan air sisa ia mandi masih berjatuhan. Kaus cokelat mudanya jadi basah, terutama bagian pundak dan punggung. Sudah pukul 08:25, ia mulai berdandan ala kadar. Hampir tidak ada yang berbeda dari rutinitas ia setiap hari, hanya saja, senyum tipis di bibir Kanaya tampak mengembang bahkan sedari ia terbangun.
Biasanya dia hanya akan membaca setiap pesan tagihan yang merujuk ke ponselnya, lalu pusing sendiri, tapi kali ini dia membalasnya satu per satu. Memberi pengertian bahwa dia akan mencicil angsurannya yang menunggak itu sedikit demi sedikit. Ya, walaupun balasan dari debt collector online itu tidak mengenakan, anehnya Kanaya tidak terganggu dengan itu.
Kejadian tadi malam seolah-olah telah menghasilkan sesuatu. Hal itu telah melahirkan Kanaya dalam versi yang baru. Walau begitu, tak bisa dipungkiri bahwa rasa takut dan getir itu masih bisa ia rasakan.
Kini, dia sudah siap, dengan kaus cokelat polos dilapisi jaket blus berwarna hitam dan jins hitam ketat yang sangat cocok dengannya. Dia siap pergi bekerja hari ini. Setelah mengunci pintu, sesuatu hal menyadarkannya, membuat Kanaya berdecak sembari mendesah kasar. Hari ini toko sedang libur. Itu karena Ibunya Adelia sedang berangkat ke luar kota. Itu pula yang menjadi alasan mengapa kemarin toko tutup lebih cepat.
“Ais, aku lupa.” Kanaya bergumam sembari membuka kembali kunci pintu rumahnya.
Kanaya melempar tasnya asal, mungkin tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Jika dia ingat, dia mungkin masih tertidur saat ini. Sejujurnya dia mengantuk, tadi malam dia tak bisa tidur setelah memakan nasi goreng yang di beli oleh Vincent. Dia jadi mengingat laki-laki itu terus menerus. Tanpa melepas jaket blusnya, dia melemparkan tubuhnya di atas kasur, merentangkan kedua tangan dan kaki sambil menatap ke langit-langit kamar.
Barusan ia mengecek ponselnya dan mendapati panggilan tak terjawab dari si rentenir. Dia mungkin ingin menagih utang lagi. Padahal, Kanaya sudah bilang kalau dia akan membayarnya saat gajian tiba. Kanaya pun mengetik sebuah pesan, memberi tahu bahwa dia akan membayar akhir bulan nanti. Jika tidak seperti itu, kemungkinan dia akan datang sendiri menemui Kanaya. Lagi-lagi Kanaya teringat mantan suami ibunya yang berengsek. Jantungnya berdegup kencang, walau ia sudah menahannya sebaik mungkin. Kanaya menghela napas, cukup panjang. Lagi-lagi ia teringat akan perkataan Vincent padanya. Jalani saja, walau sulit. Kata-kata itu bagai patokan bagi Kanaya saat dia ingin pasrah dan menyerah. Kanaya tahu, belum ada titik terang pada kehidupannya. Dia mungkin harus bertahan seperti ini, dalam kurun waktu yang belum di tentukan. Itu berarti, dia belum juga menemukan di mana ujungnya. Kanaya tak percaya dia sekarang menjadi gadis menyedihkan yang terlilit utang. Itu pun gara-gara mantan ayah tirinya. Ibunya tak mengetahui hal ini, setidaknya tentang dia yang memiliki beberapa pinjaman di aplikasi online.
Dia tak bisa bergerak lagi. Tak ada lagi lubang yang bisa ia gali. Mau mengajukan pinjaman di bank, itu sudah pasti tidak bisa, data Kanaya sudah pasti masuk daftar hitam. Jika ini adalah Kanaya yang dulu, Kanaya yang belum bertemu Vincent, mungkin dia sudah berpikir untuk bunuh diri. Ya, jatuh cinta ternyata ada juga manfaatnya.
Kanaya terkesiap, ia bangun dan menatap kipas angin kecil yang berputar itu dengan pikiran yang ke mana-mana. “Aku tidak menyangka, aku jatuh cinta sungguhan.” Kanaya mengulum bibir, menahan senyum, jantungnya jadi berdebar tiba-tiba. Lalu, gadis itu kembali berbaring, “mari kita lupakan sejenak tentang utang dan berkhayal tentang laki-laki itu.”
***
Kanaya menopang dagu, memperhatikan kanan dan kirinya. Adelia yang duduk di hadapannya terlihat sibuk memainkan ponsel. Kipas angin besi yang berputar menghadap mereka itu menjadikan udara jadi sedikit sejuk, pasalnya di luar cuaca sedang terik-teriknya.
Menu di tempat makan ini tak terlalu banyak, semuanya terbuat dari ayam. Sesuai dengan nama kedainya. Menu andalannya adalah ayam goreng pedas yang baru-baru ini di sukai oleh Kanaya. Walau begitu, pengunjungnya termasuk ramai. Tempatnya juga lumayan, bersih dan penataannya bagus.
Kanaya sengaja mengajak Adelia makan di restoran ini selagi toko roti libur. Restoran ayam ini menjadi pilihan bukan tanpa alasan. Adelia mengetahui hal itu, tapi ia malas berkomentar. Sejak Kanaya yang antusias bercerita tentang apa yang terjadi padanya tadi malam, Adelia sangat mengerti bahwa Kanaya sungguh menyukai laki-laki itu. Sebagai gantinya, Adelia pun mau-mau saja saat di ajak Kanaya ke sini.
Sebenarnya, Kanaya sedikit banyak menaruh harapan hari ini. Saat seorang laki-laki berkaca mata yang membawa nampan berisi pesanan dua gadis itu datang, mata Kanaya pun langsung berbinar. Vincent meletakkan makanan itu.
“Ayam goreng pedas level empat dan ayam goreng pedas level dua, dua gelas es jeruk. Selamat menikmati,” ujarnya dengan wajah datar lalu melenggang pergi.
“Ah, tunggu,” ujar Kanaya.
Vincent berbalik, menatapnya dengan malas. “Ada tambahan?”
“Tidak ada, sih, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih untuk yang semalam.”
Vincent mengernyit dari balik kaca matanya. “Mari membicarakan itu lain kali, aku sedang bekerja. Jika tidak ada yang dibutuhkan lagi, aku akan pergi.”
Vincent berbalik dan kembali bekerja, mengantar pesanan di meja-meja yang lain. Sementara Kanaya menatapnya sambil tersenyum, Adelia malah terlihat bingung.
“Hei, sepertinya dia tidak menyukaimu. Sikapnya dingin sekali. Ya, dia memang tampan, tapi dia terlalu cuek.” Adelia berkata sambil mengunyah ayam pedasnya.
“Begitukah? Apa di matamu dia terlihat tidak menyukaiku? Apa aku sebegitu jeleknya?”
Adelia menyesap es jeruknya perlahan. “Bukan seperti itu. Kau mungkin bukan seleranya, daripada kau sakit hati nantinya, lebih baik kau mundur saja."
Kanaya menelan ayam yang sudah ia kunyah beberapa kali, lalu membulatkan kedua matanya. “Kenapa aku harus mundur. Selera, kan bisa berubah.”