Kanaya berlari kecil, menenteng es jeruk peras yang ia beli di seberang toko. Kerongkongannya kering sejak beberapa jam lalu, itu karena ia sibuk melayani pelanggan. Ia menaruh satu gelas es jeruk di atas meja kasir yang tak lama langsung di serobot oleh Adelia.
Cuaca di luar begitu hangat, tapi tak membuat aktivitas orang terhenti. Kanaya menggulung rambutnya dan menjepitnya asal, tak peduli bagaimana penampilannya, dia hanya ingin menyibak rambutnya karena kegerahan.
"Kau terlihat seperti pembantu," ujar Adelia yang sibuk dengan pembukuannya.
"Biar saja, aku tak peduli."
Bagaimana pun penampilannya, dia tak peduli. Kehidupan bukan hanya tentang penampilan, kehidupan itu adalah tentang cara bertahan. Kanaya menyedot es jeruknya dengan netra yang terus memerhatikan jalanan di luar. Berjujai. Mereka semua seakan tak lagi sempat untuk meratapi hidup. Sebenarnya apa yang mereka semua yakini? Kehidupan yang baik-baik saja, begitukah?
Jalani saja, walaupun sulit. Kata-kata itu terus saja terngiang, berdengung seperti lalat yang terbang di sekitar telinga. Sudah satu minggu pula sejak saat itu. Entah karena kata-katanya atau karena orang yang mengatakannya. Kanaya tak mengerti. Matanya terus memelototi orang yang berlalu lalang lewat kaca besar tembus pandang itu, pikirannya mengambang. Dia tak menyadari apa pun lagi, entah itu es jeruknya yang telah habis atau seorang pelanggan yang baru saja datang.
“Nay, ada pelanggan.”
Kanaya terkesiap. Ia melihat sesaat gelas es jeruknya yang telah kosong, lalu melirik ke arah depan. Benar saja, seorang pemuda terlihat sedang melihat-lihat roti di etalase. Kanaya membuang gelas plastik kosong itu ke tempat sampah, beringsut maju karena kelihatannya pelanggan itu sedang kebingungan. Namun, Kanaya berhenti karena Adelia menaikkan alisnya, gerak matanya seakan berkata, apa kau akan melayani pelanggan dengan penampilan seperti itu?
Kanaya mengembuskan napas, ia malas merapikan penampilannya, sejujurnya dia ingin sekali menyiramkan air di atas kepalanya sekarang ini. Dia menggeleng dengan mata menyipit, seakan memberitahu Adelia bahwa dia enggan mengubah penampilannya.
Pelanggan yang tinggi dan memakai jaket jins juga berkaca mata itu sedari tadi hanya menatap roti-roti di etalase. Dia bahkan tak mempunyai niat untuk bertanya. Kanaya sudah memperhatikannya dari jauh sebelum mendekat, lalu tiba-tiba dia heboh sendiri. Dia berbalik dan kembali ke belakang, membenahi rambut cokelatnya dan menambahi sedikit pewarna bibir dengan cepat. Kata-kata itu, kehidupan bukan hanya tentang penampilan, dia masih menyetujuinya, tapi tidak untuk yang satu ini.
Kanaya menyibak rambut cokelatnya, berjalan dengan penuh percaya diri. Adelia masih tegak di depan meja kasir dengan raut wajah kebingungan. Kanaya meliriknya dengan senyum yang seakan bertanya, bagaimana dengan penampilanku?
Sejujurnya Adelia tak mengerti, tapi dia tetap mengangguk sambil mengangkat ibu jarinya. Kanaya tampak puas, dia kemudian mendekati pelanggan itu. Dia masih berdiri di sana, tanpa suara dan hanya melihat saja.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” Kanaya menyapa. Suaranya di buat selembut mungkin.
Pelanggan itu menoleh, garis wajahnya sedikit tertarik karena dia akan memberikan senyum. Namun, ia mengurungkannya. Saat kedua matanya menangkap seorang gadis yang rasanya ia kenal, tengah berdiri dengan senyum konyol di wajahnya. Dia menghela napas, mengalihkan pandangan dan mendapati bahwa tidak ada pelanggan lain kecuali dirinya saat itu. Raut wajahnya terkesan seakan dia menyesal telah datang ke toko ini.
“Ah, kau lagi?”
Kanaya tersenyum, membetulkan celemek merah mudanya dengan sedikit canggung. “Kau masih mengingatku rupanya.”
Vin mengabaikannya. Dia tak ingin berurusan dengan Kanaya lebih lama lagi. Dia kembali mengalihkan pandangan, sibuk memilah roti-roti di sana. Kanaya mengulum bibirnya sesaat. Lagi-lagi sesuatu itu muncul, sesuatu yang seakan menggelitik perasaannya. Kanaya melirik ke belakang, Adelia tampak bertopang dagu memperhatikannya dengan bingung. Ini pertama kalinya dia yang bersemangat lebih dulu terhadap seorang laki-laki. Lantas, dia kembali mendekat. “Apa kau menyukai keju? Jika iya, maka roti ini adalah roti rasa keju terbaik yang kami miliki.” Kanaya menunjukkan sebungkus roti berbentuk bundar yang terdapat selai keju di atasnya.
“Aku tidak suka keju.”
“Ah, bagaimana dengan cokelat? Kau menyukai rasa cokelat?”
“Tidak juga.”
“Buah?”
“Tidak.”
“Srikaya? Kacang? Vani-“
“Cukup! Aku akan membeli yang ini.” Vin memberikan sebungkus roti tawar pada Kanaya.
Gadis itu mengambilnya. “Oh, kau suka yang ini. Kenapa tidak bilang dari tadi.” Kanaya beralih ke mesin kasir, sementara Vin mengikutinya. Mata Kanaya bergerak saat menatap Adelia, memberi sinyal bahwa dia saja yang akan melayani pelanggan satu ini. Tanpa bersuara, Adelia pun menyingkir. Kebingungan di wajahnya masih tetap ada, tapi dia memilih menuruti Kanaya saja.
Kanaya mulai mengetikkan sesuatu pada mesin kasirnya, kemudian memasukkan roti tawar itu ke dalam kantong plastik berwarna merah muda khas toko roti itu. Dia memberikannya, “totalnya dua puluh ribu rupiah.”
Vin memberikan satu lembar uang lima puluh ribu. Dia bahkan tak menatap Kanaya saat itu. Yang dia lakukan hanya memberikan uangnya, mengambil roti tawarnya lalu berbalik dan segera pergi.
“Hei, Vin ... kembaliannya!” teriak Kanaya. Namun Vin tetap berjalan tanpa menoleh sedikit pun, hingga ia membuka pintu kaca itu, kembali Kanaya berteriak, “datang lagi nanti, ya!”
Ada sesuatu yang tak bisa ia jabarkan di sini. Jantungnya berdebar seolah tadi itu adalah hal yang menyenangkan. Kanaya hanya bisa tersenyum, bertopang dagu menatap jalanan di luar. Bukan utang, tapi seorang laki-laki, seorang laki-laki yang menyita sedikit perhatiannya.
Adelia berdehem, tapi gadis itu tetap menikmati posisinya.
“Nay, nay? Sadarlah!”
Suara Adelia menyadarkannya dari lamunan. Ia menoleh, menunjukkan wajah yang sedikit konyol.
“Kau melihat ke sana sambil tersenyum sendiri dan itu sudah berlangsung selama lima menit. Aku sampai merinding melihatnya.”
Kanaya tak menjawab. Sepertinya di kepalanya yang kecil itu, ia sedang memikirkan sesuatu yang lain.
“Hei, siapa laki-laki tadi? Kenalanmu? Kau bahkan menyebut namanya tadi."
“Itu dia.”
Adelia membulatkan mata. “Itu dia? Laki-laki yang kau ceritakan itu?”
Kanaya mengangguk pelan. “Dia tampan, bukan?”
"Bukan soal ketampanannya, tapi kenapa kau bisa tahu namanya?"
Kanaya diam, dia lupa menceritakan bagian itu pada Adelia. "Ah, aku lupa mengatakannya, saat aku memesan ayam waktu itu, aku sempat menanyakan namanya."
Adelia mengembuskan napas. “Sejujurnya, saat kau bilang kau tertarik padanya, kupikir itu hanya bercanda. Wah, tak di sangka itu benar-benar terjadi.”
Kanaya menunduk, terenyak dalam pikirannya. Aku memang bercanda awalnya. Asal kau tahu saja, Adelia.
Kanaya tertawa kecut. "Haha, memangnya kapan aku bercanda padamu. Dan omong-omong, aku akan mengambil kembaliannya tadi,” ucap Kanaya sembari mengambil uang tiga puluh ribu rupiah di dalam mesin kasir.