Read More >>"> After Feeling (Chapter 01) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - After Feeling
MENU 0
About Us  

"Baiklah, akan aku usahakan membayarnya bulan ini, tolong jangan di jadikan dua kali lipat, kumohon!"

Kanaya mengembuskan napas panjang. Ini masih pagi dan seseorang sudah menagihnya lewat telepon.

Kanaya menyisir rambut cokelatnya dengan kasar. Dia sudah siap dengan kaus merah muda bergambar karakter animasi jepang dan jins hitam yang sedikit robek di bagian paha. Matahari sudah berkilau bagai emas batangan di luar sana, tapi dia masih berkutat pada rambut panjangnya yang belum juga kering. Dia menaikkan volume kipas angin dan mengarahkan tepat di wajahnya, sembari mengibaskan rambut ia merenung. Entah malam tadi atau pagi ini, semua sungguh kacau. Mengingat kembali dia harus membayar semua tagihan utang karena jatuh temponya sudah semakin dekat. Itu hanya satu dari sekian banyak hal yang ia khawatirkan. Belum lagi manusia menyeramkan yang kerap kali ia sebut sebagai rentenir itu mengetuk pintu rumahnya, beruntung dia menagih lewat telepon kali ini. Terkadang dia heran, rentenir selalu tahu di mana pun Kanaya berada. Sungguh mengerikan saat tersadar bahwa dia hidup dalam bayang-bayang seperti itu.

Kanaya mendesah lemah, membiarkan saja kipas angin kecil itu menerbangkan rambut panjangnya yang kecokelatan. Gadis yang selalu menyebutkan dirinya sebagai orang yang tak beruntung itu memejamkan mata sekilas. “Di mana lagi aku harus mencari uang yang banyak,” gumamnya.

Berbicara soal utang, itu mungkin tak akan ada habisnya. Semua yang berkaitan dengan uang memang tak akan pernah ada ujungnya. Kanaya menyeret kursi plastik kecil dan mendudukinya. Sambil meletakkan pipi kanannya di atas meja sepetak di kamar kecil itu, dia terus-terusan menghela napas. Semua ini tidak akan terjadi kalau saja ibunya tidak menikah lagi. Pria gila yang kerjanya hanya main judi online dan berutang sana-sini. Beruntung dia sudah berpisah dengan ibunya, hanya saja dia memberikan warisan berupa utang judi yang jumlahnya tidak sedikit. Kanaya menggeram, ingin rasanya dia meninju pria tidak tahu diri itu, tapi dia bahkan tidak tahu pria itu kabur ke mana. Pada titik ini, Kanaya sangat merindukan sosok ayahnya, ya ayah kandungnya. Seorang ayah yang rela bekerja siang malam untuk membuat istri dan anak-anaknya bahagia. Lalu, karena itu pula dia akhirnya sakit dan meninggal dunia.

“Hah, si bangsat itu apa sudah mati, ya sekarang? Gara-gara dia, aku harus terus mencicil utang judinya.” Kanaya mengoceh kesal. Bahkan saja, hingga kini Kanaya belum bisa melunasi utang pria gila itu. Dengan gaji yang ia dapatkan sebagai penjaga toko, dia hanya mampu membayar bunganya setiap bulan. Pengeluaran Kanaya tidak hanya serta merta membayar utang itu. Dia perlu makan, membayar biaya tempat tinggal agar lebih dekat dengan tempat ia bekerja, dan juga kebutuhan yang lain. Di era yang sudah modern ini, semua kadang dipermudah, tapi terkadang juga membuat sulit.

Solusi pertama yang di dapatkan adalah berkenalan dengan sebuah pinjaman uang berbasis online. Jika dijabarkan, solusi itu malah membuatnya menyesal. Membayar tagihan, lalu meminjam kembali. Begitu seterusnya, tak tahu sampai kapan waktu bebasnya tiba. Ya, tapi mau bagaimana lagi. Hanya sebuah aplikasi yang bisa meminjamkan uang dengan cepat.

“Jika saja aku tahu ini akan terjadi, aku akan menabung sejak bayi.”

Kanaya menggigit bibir, itu kebiasaannya sejak kecil jika dia merasa kesal atau pun sedih. Netra cokelat tuanya terlihat sayu menatap tembok yang tanpa hiasan. Detik jam dinding itu terus berbunyi hingga ia tersadar akan sesuatu. Gadis itu melupakan satu hal, dia mungkin akan terlambat masuk kerja hari ini. Dengan segenap tenaga, Kanaya menyisir rambutnya lagi, kali ini rambut cokelat panjang itu sudah hampir kering seluruhnya. Ia mengambil tas kecil andalannya yang tergeletak di atas kasur dan buru-buru pergi.

Awan putih bak kapas yang berjalan pelan itu seakan mengisyaratkan sesuatu. Namun, matahari yang terlihat seperti bola api itu membuatnya mengernyitkan dahi. Tempat ia bekerja memang lumayan dekat dengan tempat tinggalnya sekarang. Ya, itu adalah alasan pertama mengapa dia tak tinggal bersama ibunya. Perlu waktu lima belas menit untuk berjalan kaki dengan santai dan hanya lima menit jika menggunakan ojek. Namun, sepertinya sudah sangat terlambat untuk gadis itu jika ingin menggunakan kedua kakinya.

Kanaya harus menyisihkan uang makannya untuk membayar ojek yang ia gunakan sekarang. Setidaknya aroma petrikor masih bisa tercium akibat hujan subuh tadi. Tukang ojek ini membawa motornya cukup cepat, itu pun karena Kanaya yang meminta. Sudah hampir pukul sembilan, Kanaya masuk ke toko roti dengan napas yang memburu. Seorang gadis dengan rambut mencapai bahu itu hanya menggelengkan kepala sembari mengepel lantai. Setelah menempelkan kartu pegawainya pada mesin absen, ia duduk dan mengibaskan telapak tangannya ke wajah.

“Kau telat dua menit.” Gadis berambut sebahu yang baru saja selesai mengepel lantai itu pun berkomentar.

"Ya, aku tahu karena aku melihatnya. Apa nanti gajiku akan di potong, Delia?”

Adelia, si gadis berambut sebahu berwarna hitam itu hanya mengangkat bahunya. “Mana kutahu.” Dia adalah teman sekaligus rekan kerja Kanaya. Mereka seumuran.

“Kau sungguh tidak tahu atau malas memberi tahu? Inikan toko punya ibumu.”

Adelia sedikit menyipitkan mata, “ini memang toko ibuku, tapi yang hitung gajinya bukan aku, Naya.”

Kanaya mendesah lesu, dengan lemah seakan tak bergairah, ia memasukkan tas hitamnya di dalam loker dan bergegas memakai celemek merah muda khas toko roti itu. Memulai hari seperti biasa, mengambil roti-roti yang baru saja sampai dan menyusunnya di etalase. Aromanya semerbak, wangi dan menggoda.

“Kau sudah sarapan?” tanya Adelia yang sekilas memerhatikan wajah lesu temannya.

Dengan tangan yang masih bergerak menyusun satu demi satu buah roti di etalase, Kanaya menggeleng pelan. Jangankan sarapan, semalam saja dia tak mengisi perut lantaran sayang mengeluarkan uang. Adelia tahu itu, karena ekspresi Kanaya sangat mudah di baca. Ia berjalan ke belakang, mengambil dua bekal makanan yang dibungkus dalam satu wadah plastik. “Ayo sarapan dulu! Aku membawa nasi goreng, Ibuku yang membuatnya.”

Mata gadis itu berbinar melihat wadah yang dijunjung oleh Adelia. Ia menutup etalase dan berjalan menghampiri Adelia. Tempat kecil yang cukup untuk dua orang memang sudah tersedia. Tempatnya tak jauh dari meja kasir, sebuah nakas kayu tempat menyimpan berkas digunakan sebagai penghalangnya. Jadi, ketika beristirahat atau makan siang, mereka bisa leluasa karena pelanggan tak akan bisa melihat.

Ini masih belum pukul sepuluh, masih ada waktu hingga saatnya toko roti buka. Kanaya membuka bekal yang dibuat oleh Ibu Adelia. Ya, nasi goreng yang dicampur dengan telur dan juga sosis. Luar biasa nikmat, apalagi Kanaya mendapatkannya secara gratis. “Nasi gorengnya sangat enak. Beritahu Ibumu untuk selalu membuatnya, karena aku juga akan selalu menghabiskannya.”

“Ya, ya, akan aku katakan padanya. Makanlah dengan cepat, sebentar lagi kita harus membuka toko.”

Membicarakan toko, toko roti milik Ibu Adelia ini memang tidak terlalu besar. Namun, pelanggannya cukup banyak. Itu karena roti yang dijual begitu beragam dan rasanya tentu saja sangat enak. Dimulai dari roti berbagai isian rasa, dan rasa vanila adalah kesukaan Kanaya. Ada juga kue balok, bahkan jajanan pasar berbagai varian juga tersedia. Ibu Adelia sangat pintar membuat semua kue dan roti ini. Dia mengerjakannya di rumah, lebih tepatnya di belakang rumahnya, dia membuat satu tempat khusus untuk memproduksi semua kue dan rotinya. Pekerjanya juga lumayan banyak. Tak heran jika datang ke rumah Adelia, maka akan tercium aroma roti yang di panggang.

Ibu Adelia adalah orang yang baik, terutama pada Kanaya. Padahal Kanaya dan Adelia itu baru saja akrab saat Kanaya mulai bekerja, dan itu terjadi sekitar satu setengah tahun yang lalu. Waktu itu Kanaya melihat ada lowongan kerja di media sosial. Kanaya pun pergi melamar kerja, dan dia diterima. Ya, karena toko ini berada di pusat kota dan cukup jauh dari rumahnya, akhirnya Kanaya memilih untuk tinggal di rumah kos agar menghemat ongkos.

Omong-omong, Adelia itu orang beruntung menurut pandangan Kanaya, walau hanya orang tua angkat, tapi Ibu maupun Ayahnya sangat menyayangi Adelia seperti anak sendiri. Kehidupan yang enak, buat iri saja.

“Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?”

Kanaya mengerjap. Ia mendongak, menumpuhkan kedua tangan di belakang sambil melihat langit-langit toko. “Aku lelah.”

"Kemarin lalu kau juga berkata seperti itu. Hari ini juga. Kau berkata seperti itu hampir setiap hari. Aku sampai bosan mendengarnya.”

Kanaya mengabaikan kata-kata itu, seakan masih hanyut dengan pikirannya sendiri. Lalu, ia menoleh, menatap sebentar Adelia yang sedang membereskan bekas sarapan mereka. “Adelia, bisa kau pinjamkan aku uang? Aku sudah tak ada uang untuk makan nanti malam,” pinta Kanaya kemudian. Terlebih bola mata yang memelas itu terlihat seperti anak anjing yang tak boleh keluar rumah.

Adelia mengerutkan dahi. “Ya ampun, sudah berapa banyak uang yang kau pinjam dariku! Aku saja sampai berniat untuk merelakannya karena aku tak tahu kapan kau akan membayar semuanya.”

“Oh, Ayolah! Tolong aku! Aku akan membayarnya nanti. Aku tak akan melarikan semua uangmu, aku pasti mengembalikannya. Kau bilang, kau sayang padaku.” Dia merengek. Seakan tak ada lagi tempat berlabuh, memegangi lengan Adelia dengan tatapan penuh belas kasih. Gadis dengan kulit kuning langsat itu mendesah pelan. Dia tidak marah, omong-omong. Perkataan seperti tadi terbilang cukup biasa di antara mereka. Adelia cukup iba dengan kemalangan yang menimpa temannya itu. Namun, ia juga tak bisa banyak membantu, karena pada dasarnya ia juga bukan orang yang kaya raya.

“Baiklah, ambil saja berapa uang yang ingin kamu pinjam. Ambil beserta dompetnya bila perlu,” guraunya.

Mendengarnya membuat Kanaya tampak senang. Itu terlihat saat bibirnya naik ke atas membentuk sebuah tawa lega. Seakan menutupi rasa malunya, ia bergelayut di lengan Adelia, mendekap pelan lengan itu sambil memasang wajah yang cukup menyebalkan. “Kau memang yang terbaik,” ujarnya kemudian.

“Ya, baiklah, aku tahu aku baik, jadi lepaskan tanganku!” tukas Adelia menggoyangkan tangan yang di gelayuti oleh Kanaya. Namun, Kanaya tetap tak ingin melepaskannya. Selain wajahnya yang cengar-cengir karena kegirangan mendapatkan pinjaman uang, Kanaya tetap memeluk lengan yang cukup berisi itu.

“Nay, kenapa kau tidak pulang ke rumah dan cerita ke Ibumu? Mungkin saja dia bisa membantu mencari solusinya.”

Kanaya tertegun dan melepaskan pelukannya secara perlahan. Ia kembali menatap atap dengan bibir yang sesekali condong ke depan. “Percuma,” katanya. “Ibuku mana mungkin bisa membantuku. Sejujurnya ini membuatku lelah, aku kerja setelah lulus sekolah dan seluruh gajiku habis untuk mencicil utang pria berengsek itu.” dia mendesah kasar dan melanjutkan, “kenapa ayahku harus pergi begitu cepat? Sejak kematiannya, hari-hari yang kulalui sudah tak lagi sama. Terlebih ibu menikah lagi, sama pria remeh itu pula. Dia meminjam uang dengan jumlah besar, dan semua itu dihabiskan untuk bermain judi. Setelahnya dia kabur entah ke mana. Rentenir itu, tempat dia berutang, selalu datang menagih dengan nada yang mengancam. Tabungan yang dikumpulkan ibuku  sudah habis karena di peras oleh si berengsek itu. Belum lagi soal kebutuhan sehari-hari juga sekolahnya Yohan. Ibu sampai meminjam sana-sini untuk mencukupi semua itu. Dia sampai sakit dan terbaring di rumah karena kelelahan fisik dan juga mentalnya.”

“Ibumu sekarang bagaimana?”

“Dia sudah sehat. Semenjak aku mendapat pekerjaan, masalah utang-utang itu aku yang menanggungnya. Awalnya aku sangat bersemangat karena niatku memang menolong Ibu, tapi lama-kelamaan aku jadi kesulitan. Utangnya masih banyak karena bunganya terus berjalan. Sedangkan aku tak punya penghasilan lebih untuk membayar pokoknya. Belum lagi aku juga ada tagihan di beberapa tempat melalui aplikasi, rasanya kepalaku ingin meledak.”

“Aku turut senang mendengar Ibumu sehat. Terakhir kali aku bertemu dengannya ialah sebulan yang lalu, saat kita main ke rumahmu. Hah, tolong sampaikan salamku pada Bibi, ya.”

Kanaya hanya manggut-manggut, masih dengan wajah yang menekuk.

“Bagaimana keadaan Adikmu?”

“Yohan? Dia baik-baik saja. Tahun ini dia akan masuk SMP. Ibuku mengambil upah mencuci dan menyetrika baju. Penghasilannya cukup untuk mereka makan dan kebutuhan mereka. Ibu juga tak perlu pusing untuk biaya sekolah Yohan, karena dia mendapat beasiswa. Dia pintar, tidak sepertiku.” Kanaya tertawa ringan. “Kehidupan itu menggelikan. Dia bisa dengan mudah menaikkan dan mengempaskan situasi orang-orang. Dulu, aku dan Yohan serba berkecukupan, bahkan kami bersekolah di tempat yang bergengsi. Lalu, sekarang lihatlah sendiri! Membeli satu buah mi instan saja terkadang sulit bagiku.”

“Bagaimana kalau kau mencari kerja sampingan?” celetuk Adelia. Gadis itu hanya mencoba mencairkan suasana yang terasa mendung. Arah cerita Kanaya sudah menyentuh perasaannya. Satu detik saja membiarkan dia terhanyut, maka air mata pasti lolos dari sela matanya.

“Kerja sampingan?”

“Ya, misalnya saja menjual diri,” ucap Adelia sambil terkikik.

“Jual diri? Haruskah aku melakukannya? Apa bayarannya benar-benar menjanjikan seperti rumornya?”

Adelia berhenti tertawa. Tangannya yang berisi terlihat mengepal dan menjitak kepala kecil Kanaya. Gadis itu meringis, memegangi kepalanya yang baru saja dijitak sangat kuat. Rumor apanya? Itu bukan lagi sebuah rumor. Bayarannya memang benar menjanjikan, tentu saja dengan konsekuensi yang ada. Hanya perempuan berhati lemah yang melakukan itu, hanya mereka yang ingin mendapatkan uang dengan cara yang instan. Bahkan, untuk membuat kopi instan pun harus memasak air terlebih dahulu. Itu berarti, tak ada yang benar-benar instan di dunia ini.

“Apa kau sudah gila, Kanaya?”

“Apa masalahnya? Kau yang menyarankan itu, dan kau pula yang mengataiku gila sekarang.”

“Apa kau bahkan tak tahu mana yang serius dan mana yang bercanda?”

“Aku sudah tidak tahu lagi! Kepalaku rasanya sudah ingin meledak, Del.”

“Hah, kau ini! Sudahlah, jangan menangis! Nanti kubantu jika aku punya uang lebih.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mahar Seribu Nadhom
4659      1603     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
Ojek Payung
482      349     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
DELUSI
524      367     0     
Short Story
Seseorang yang dipertemukan karena sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak masuk akal. Membiarkan perasaan itu tumbuh dan ternyata kenyataan sungguh pahit untuk dirasakan.
The pythonissam
356      274     5     
Fantasy
Annie yang harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang penyihir dan juga harus dengan terpaksa meninggalkan kehidupanannya sebagai seorang manusia.
Semu, Nawasena
7334      2728     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Who are You?
1297      568     9     
Science Fiction
Menjadi mahasiswa di Fakultas Kesehatan? Terdengar keren, tapi bagaimana jadinya jika tiba-tiba tanpa proses, pengetahuan, dan pengalaman, orang awam menangani kasus-kasus medis?
the invisible prince
1532      824     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
Pahitnya Beda Faith
449      319     1     
Short Story
Aku belum pernah jatuh cinta. Lalu, aku berdo\'a. Kemudian do\'aku dijawab. Namun, kami beda keyakinan. Apa yang harus aku lakukan?
A Ghost Diary
5031      1585     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Renjana: Part of the Love Series
231      190     0     
Romance
Walau kamu tak seindah senja yang selalu kutunggu, dan tidak juga seindah matahari terbit yang selalu ku damba. Namun hangatnya percakapan singkat yang kamu buat begitu menyenangkan bila kuingat. Kini, tak perlu kamu mengetuk pintu untuk masuk dan menjadi bagian dari hidupku. Karena menit demi menit yang aku lewati ada kamu dalam kedua retinaku.