“ Kesempurnaan hanya milik orang – orang yang beruntung, tapi bukan berarti ketidaksempurnaan adalah milik orang – orang yang tidak beruntung. Tapi, adalah keberuntungan yang belum terbayar, karena ada kisah indah yang terselip di bawah duka. “
Semua kamar telah dinyalakan lampunya. Suara Ummi’ yang menggelegar sampai ke penjuru ruangan tak lagi terelakan. Tapi, sama saja untukku, semua temanku tak berwajah, tak berbentuk, jangankan wajah mereka, wajahku saja aku masih tak tahu. Terdengar suara hentakan-hentakan kaki, sepertinya sedang berlari, aku semakin kebingungan mencari arah, dan akhirnya aku terjatuh telungkup. Tak ada suara lagi, aku sendiri, dan menunggu.
***
Beberapa waktu kemudian aku merasa ada yang hadir, itu ummi’.
“ Ummi’ saya mau bicara.”
“ Iya nduk, ngomong saja !.”
“ Saya ingin masuk pesantren, saya ingin menghafal al Qur’an, bolehkah Ummi’?.”
Tak ada suara terdengar. Hening dan senyap, tanganku menyentuh pipi Ummi’ yang ternyata basah.
“ Ummi’ menangis? Kenapa? Aku tak bisa? Mendapat kesempatan?.”
“ Tidak nduk, Ummi’ bahagia tapi, kamu hafalan dan mondok di sini saja, yah?.”
Lalu Ummi’ pergi berlalu meninggalkanku, kenapa selalu seperti ini?, kenapa Ummi’ tak langsung saja berkata aku tak bisa?. Aku tak sempurna layaknya mereka. Tapi, apa salahnya, mungkin Ummi’ takut hatiku sedih. Halah, aku malah lebih sedih kalau begini keadaannya.
“ Anak-anak sarapan !.” teriak ibu dapur, semuanya segera berlari. Tapi, tidak dengan aku yang selalu harus menunggu. Aku tak ingin merepotkan siapapun lagi, aku harus bisa. Perjalanan menuju dapur tanpa siapapun, dan tiba-tiba.
“ Pyar...” sebuah piring kaca pecah kelantai.
“ Lihat dong kalau jalan ! Pecah tahu.” Sentak seorang gadis.
“ Eh... dia itu emang gak bisa lihat. Bola mata aja gak punya.” Saut teman di belakangnya, sontak mereka tertawa terbahak-bahak.
“ Lupa gua, dia buta kan?.”
Aku hanya bisa menangis di tempat itu juga tanpa ada pembelaan yang kulakukan. Hatiku sudah terbiasa menerima ucapan cemoohan seperti itu.
“ Lihat teman-teman, dia bisa menangis, lucu gak?”
“ Iya tuh...Gak ada mata tapi ada air mata.”
Tak puas-puasnya mereka mencemoohku berkali-kali. Tapi, biarlah sabar sudah mengakar kuat dihatiku.
*****
Seperti biasa, aku bersiap ke sekolah. Tapi, sekolahku tidak seperti anak pada umumnya, lebih tepat untuk anak cacat sepertiku SMA LB, luar biasa. Padahal menurutku sekolah itu biasa saja. Bahkan kurang dari sekolah yang biasa-biasa saja, kenapa namanya bukan sekolah cacat saja. Biar ketahuan kalau isinya anak cacat sepertiku. Kalau istirahat, semua siswa sibuk melakukan apa yang mereka bisa, karena semua orang tahu, orang semacam kita terbatas oleh banyak hal. Tak terkecuali aku, melihat itu yang kini ku mau. Berbagai cara telah kulakukan tapi, percuma dan hampir menyerah. Di sini kita sama-sama kekurangan. Tapi, ketika aku tak di sini aku merasa paling kurang, air mataku menetes membsahi pipi.
“ Bismillahirrahmanirahim.”
Ada saat ketenangan dari bibir-bibir jahat itu menghilang, indah sekali, aku tenang di buainya. Al-Qur’an, dari jurnal yang ku baca. Oh, tidak aku tak bisa membaca, dari jurnal yang ku raba (Lebih tepat seperti itu), Al- Qur’an adalah kitab terakhir Allah, firman paling sempurna. Apalagi yang paling ku soroti, ketika seorang anak menghafalnya,orang tua anak tersebut akan di selamatkan Allah di akhirat.begitu sekilasanku pada Al-Qur’an. Aku ingin memperdalamnya di pesantren, tapi bukannya santri heterogen, apa salahnya aku di sana. Sudahlah, bukan itu yang ku harap saat ini.
Apa lagi hadiah untuk orang tua. Ya, orang tua yang selalu ku rindukan belum pernah sekali aku tahu siapa mereka. Jangankan tahu aku punya orang tua, malah katanya orang tuaku tak pernah punya aku. Sejujurnya aku tahu arti kata- kata itu. Tapi, tidak buatku mana mungkin mereka sejahat itu. Tapi, kalau iya, siapa sebenarnya yang harus disalahkan. Ah, aku terlalu berimajinasi terus sedari tadi. Mereka sudah pergi, belum ku lanjutkan hafalanku selanjutnya.
*****
“ Pak Fadil, njenengan mau antarkan saya ke rumah Ibu?”
Tanpa berpikir panjang beliau memasukkan kedua kaki beserta jarinya ke lubang sandal. Bergagas mengantarku tanpa berkata- kata lagi.
Ya, inilah pak Fadil. Satu-satu orang yang kabarnya tahu siapa ibuku. Dia yang menerimaku di panti ini. Tak usah ditanya ! Aku sudah tanpa mata pastinya. Tapi, setelah itu ibu pergi meninggalkan dunia ini. Karena sebab yang tak ada yang tahu. Pak Fadil mendapat undangan 100 hari kematian ibu dari masjid setempat, dan dari situlah setiap hatiku rindu, pak Fadil bersiap mengantarku. Iba,kasihan mungkin padaku, tapi memang kenyataan beberapa orang demikian. Apalagi kalau bukan kasihan?.
“ Shodaqallahuadzim”selesai ku tutup buku Yasinku.
“ Assalamu’alaikum.” Ucap seseorang yang menepuk pundakku dari belakang.
“ wa’alaikumussalam.”balasku lirih.
Betapa kagetnya aku ternyata itu kak Mey, orang yang kukenal dekat sejak 3 tahun lalu. Walaupun kita tak terlalu dekat.
Siang ini dia mengajakku ke kaki gunung Pacet. Sejuk, rindang, ia menceritakan berbagai kisah indahnya di Columbia University. Membuatku seolah takjub akan semua kisahnya.
“ Semua itu Cuma 2 hal. Dream and Effort, dan selalu ada kemudahan di balik kekusahan.”
“ Innama’al usry usra.”
Mataku menangis, seduhku lirih di bawah heningan semilir angin menggodaku meletakkan kepalaku di pundakknya. Ku jabarkan luas, panjang, volume piluh hatiku selama ini, seolah ia adalah diary kedua ku setelah Ruby. Tapi, ini berbeda tega, hari-hari kusam tanpa sedikitpun riang terbongkar bak muatan barang di dermaga. Berlahan, tanpa ku sadari air matanya membasahi pipiku, jatuh dan membuatku kaget. Ia begitu simpati padaku begitu memang kelihatannya. Sejak kali itu, tak ada hatiku yang sendiri dan kaku, semuany penuh kisah. Bahagia sekali aku, padahal tak ada yang istimewa sepertinya. Apa istimewanya di bacakan Al- Qur’an?.tapi, salah satu kistimewaan itu memudahkanku. Hafalanku yang bergantung pada kemampuanku meraba tak lagi di tunggu, ada sosok yang siap mendengarku. Yes, hari ini juz 5, lebih cepat dari perkiraanku.
Sore ini dia datang lagi. tak lain ketika kutulis Ruby. Kelinciku dengan tulisan –tulisan manusia tak sempurna sepertiku, kakak datang lalu meminjamnya. Membaca lembar perlembar sampai akhir. Capek sekali dan sekian lama ia memfokuskan matanya akhirnya, matanya bertemu padaku.
“ Indah sekali. “ Matanya berbinar –binar.
Aku semakin salah tingkah. Bagaimana tidak, siapa orang-orang yang malah berterima kasih ketika buku diary isinya dibaca orang lain. Ya sudahlah, mau apalagi.
“ Aku punya sekotak hadiah untukmu. Untuk keberhasilanmu atas 5 juz mu.”
“ Apakah itu kak?.”
Dia menyodorkan kotak kecil yang ku tak tahu motifnya, warnanya saja aku tak tahu. Kusobek, kucium, apakah itu?. Aku tak tahu. Bentuknya sedikit panjang. Aku semakain kebingungan benda apa ini?.
“ Itu namanya kacamata , untuk memudahkan orang melihat ketika matanya kelainan.”
“ Oo.....mata bisa kelainan juga ya kak?.”
Sesungguhnya aku sangat sedih. Dibalik senyum kecutku aku menyembunyikan tangisan. Dia bukan orang yang baik seperti perkiraanku, tidak sama sekali semua orang di dunia ini sama saja. Ah, tapi aku tetap bersikap ramah, aku sudah biasa menghadapi orang seperti ini. Bahkan lebih parah. Tak apa, aku ikhlas.
“ Iya, tak ada manusia yang sempurna dek, dan kamu harus tahu orang yang sempurna sekalipun juga punya kekurangan. Tapi, tidak juga semua kelebihan, kesempurnaan itu membuat mereka lebih mulia dibandingkan kamu. Dunia ini semakin durjana maksiatul ain dimana-mana. Mereka bisa berdosa karena matanya sendiri. Sedangkan kamu, bisa melihat apapun. Tak ada maksiatul ain untukmu, tidak ada dosa untuk itu.”
Entah ini yang keberapa aku menangis. Aku sebenarnya bersyukur, benar kata kak Mey. Aku sedih-sangat sedih sakit hati tapi dalam hati kecilku aku tersentuk karena sikap kak Mey.aku mulai terprranjak diantara air mataku. Mungkin itu adalah tujuan tersendiri, darinya untuk menjagaku. .air mata bahagia ini untukmu.
“ Kakak tahu perasaanmu, ini adalah cara kakak biar kau kuat. Maaf , selalu adah kisah diantara takdir tak indah. Sudah ayo hafalan lagi.”
“ Kau akan mendapatkannya, suatu hari nanti aku.”
*****
Kali ini, aku mendapat 1 masalah baru, Ruby kecilku hilang, buku kecil dimana kutulis kisah-kisah harianku.
“ Kak, tahu buku diary kecilku gak, gambar kelinci?.” Tanyaku tergopoh-gopoh pada segerombolan anak.
“ Hah kamu?,buta kok punya buku. Ya gak bisa, iya gak guys.” Suaranya keras.
“ Iyalah.” Serentak temannya menyahut.
Ah, kalu hanya diejek aku lebih baik pergi bertanya pada yang lain.
“ Dek, ad yang tahu buku kakak?, gambar kelinci?.”
“ Apa? Kelinci?, Emang orang buta tahu kelinci kayak apa?.”
*****
Sejak tadi, aku menunggu kak Mey yang setiap hari datang tapi sampai pukul 12 ia tak datang. Biasanya sebelum pukul 9 ia sudah datang. Aku hampir lelah menunggunya.
“ Eh, sibuta deket pager nih temen-temen.”
Teriak kakak-kakak ini, sudah biasa mereka mengejekku. Bisa dibilang langganan. Aku sudah hafal gelagatnya mendekatiku.
Aku sudah mulai panas. Mulai kehabisan kesabaran untuk menghadapi mereka. Hih, ingin kusobek-sobek mulutnya. Biar tau rasa. Huft...... aku khilaf dalam bayangan. Aku gak boleh melakukan sesuatu pada mereka kejahatan tidak boleh dibalas kejahatan, lalu apa bedanya aku sama mereka, sama sama hinanya.
Dari pada aku marah marah dan khilaf lepas kendali lebih baik aku pergi ke kamar. Tiba-tiba aku terjatuh kulihat kebelakang. Kakak-kakakku tadi yang sengaja membentangkan kakinya agar aku terjatuh. Lututku berdarah, darahnya terus mengucur deras. Aku semakin tak kuasa menahan amarah. Tapi, kak Mey selalu mengajarkanku untuk bersabar.
*****
“ Mia, kamu harus bahagia hari ini. Karena bapak punya kabar bahagia untuk kamu. Ada rumah sakit yang mengundang kamu untuk dicangkuk mata. Kamu dapat donor mata, nduk.”
“ Alhamdulillah.” Aku langsung bersujud syukur. Kebahagiaan begitu terpancar dari diriku hari ini.
Diperjalanan pikiranku melayang-layang. Membayangkan bagaimana bentuknya bintang?, bagaimana bentuknya gunung?, bagaimana bentuknya bukit, dan bagaimana bentuk wajahku, uh bahagianya.
Ya, aku siap ternyata operasi tak berjalan lama. Cepat sekali . Kini, dokter telah membukakan perbanku.
“ Aku bisa melihat. Barakallah...barakallah...barakallah... barakallah... barakallah.” Seratus kali kusebut kalimat itu.
Tiba-tiba aku teringat pada kak Mey. Aku harus segera bertemu dengannya. Tapi, sedari tadi aku masih bertanya-tanya memangnya mata itu tak bisa terlihat dengan sempurna apa?. Kok seperti ini. Ah, biarlah tak penting kupikir.
“ Nak ini ada surat untukmu.” Ucap pak Fadil sambil menyodorkan secarik kertas
" Untuk adikku Mia. Kakak minta maaf kalo tak bisa ada disana. Mungkin dikebahagiaanmu kakak sudah pergi bersamaNya. Kamu harus tahu dek kamu itu adik kandungku ibu dulu punya satu anak tunggal yaitu aku tapi aku terlahir cacat, jadi ibu membuat bayi tabung tapi hanya untuk diambil matanya, dan lahirlah kamu. Ibu tak ingin membunuhmu, ibu meninggalkanmu tanpa sepengetahuan siapapun di panti. Ibu sudah tidak ada, ayah juga. Aku terdiagnosa tumor otak.jadi sebelum aku pergi aku mencari untuk mengembalikan matamu. Sudahkan?, maaf beribu maaf untukmu matamu kelainan min 3, kacamata yang dulu kakak beri, pakailah. Kau akan dapatkan pengelihatan sempurna. Maaf karena aku telah merenggut kebahagiaan yang telah kau miliki, dan seharusnya milikmu. Maaf lagi buku Rubymu ada diaku. Ku novelkan. Besok sudah kurancang bedah buku buatmu. Penerbitan bukuitu milikku, kau bisa sepuasnya menerbitkan bukumu"