Aku dan Abu mulai sering menghabiskan waktu bersama. Kami berdua pun perlahan menjadi dekat. Aku saja sampai heran. Pasalnya aku tidak mudah akrab dengan orang lain, tetapi entah kenapa bisa begitu leluasa berhadapan dengan Abu. Berada di sampingnya tidak membuat gugup ataupun canggung. Aku juga merasa nyaman saat mengobrol dengannya.
Iya, aku memang sudah nyaman dengan Abu. Meski begitu, tak dapat dipungkiri laki-laki itu terkadang membuatku jengkel. Mungkin bisa dibilang dia punya mulut cerewet. Seperti yang dilakukannya padaku saat ini. Dia sukses membuat wajahku berubah datar dengan mulut terkatup rapat.
"Kenapa tidak berusaha mencurahkan isi hatimu?" tanya Abu, terdengar serius. "Padahal lebih baik kamu curhat saja. Aku juga yakin ada banyak hal yang kamu pendam sendirian."
Pandanganku serta-merta jatuh. Bibirku kelu tak mampu menjawab dan hanya bisa memandangi jari-jari kakiku.
Masih dengan kepala tertunduk, aku membalas perkataan Abu, "Kenapa kamu bisa seyakin itu? Aku bahkan tidak bilang apa-apa dari tadi."
"Biru ... mata adalah jendela hati seseorang dan matamu saat ini sedang menjelaskan segalanya," ungkap Abu dengan suara yang mengalun lembut.
Tanpa sadar tanganku mengepal dan mataku terasa panas. "Ha, memangnya kamu tahu apa?" elakku.
"Aku tahu. Semua hal yang kamu rasakan kian menumpuk, dan kamu yang lebih suka memendam sendirian, masih belum bisa bercerita kepada orang lain."
Ucapan Abu barusan akhirnya membuatku mengangkat kepala. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca diikuti alis menukik. "Tidak ada. Tidak ada yang perlu kuceritakan."
Abu balas menatapku dengan matanya yang seakan sedang mengulitiku. "Kamu yakin?" tanyanya.
Tidak tahan dengan tatapan Abu, aku memilih mengubah arah pandangan. "Memangnya apa yang perlu kuceritakan? Aku juga tidak punya masalah besar hingga harus memerlukan uluran tangan dari orang lain. Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Hidupku baik-baik saja, kok."
"Lalu kenapa sekarang kamu menangis?"
"A-aku tidak menangis," balasku dengan suara bergetar.
"Apanya yang tidak menangis? Matamu banjir tuh."
Abu lantas mengangkat tangannya. Melalui jari-jemarinya, dia menghapus air mataku dengan gerakan lembut.
Tidak disangka, ternyata aku sungguhan menangis. Namun, tetap saja aku tidak tahu apa yang membuat air mataku keluar saat ini.
"Sekarang kamu pasti sangat kebingungan, ya." Abu tiba-tiba menempelkan dahinya ke dahiku dan membuat kami saling merasakan embusan napas satu sama lain.
"Biru, apa yang kamu alami bisa jadi hanya masalah kecil, tetapi jumlahnya ada begitu banyak dan terus menumpuk seiring waktu." Abu menarik napas sejenak dan kembali melanjutkan perkataannya. "Kamu selalu memendam masalahmu dan tidak benar-benar terselesaikan. Itulah kenapa kamu sering kali sedih atau gelisah secara tiba-tiba. Bukannya tanpa alasan, melainkan kamu dibuat kebingungan karena ada begitu banyak dari masalahmu yang bisa menjadi penyebabnya."
Aku mendorong tubuh Abu hingga dahi kami berdua tidak lagi bersentuhan. Aku melakukan itu demi bisa menatapnya meski dengan pandangan mengabur karena sedang menangis. "Te-tetapi bukan berarti kita harus menceritakan semuanya kepada orang lain, kan?"
"Itu memang benar. Namun, adakalanya kita perlu mencurahkan isi hati. Karena membagikan ceritamu bukan berarti kamu butuh bantuan, melainkan hanya ingin didengar untuk mendapat rasa lega dan ketenangan. Aku juga yakin kamu pasti pernah berpikir untuk menceritakan masalahmu pada orang lain."
Perkataan Abu lagi-lagi sukses membuatku terdiam. Pikiranku jadi ke mana-mana.
"Melihatmu terdiam sepertinya aku benar, kan? Ya, meski begitu, aku pikir kamu pasti setidaknya pernah menceritakan masalahmu pada orang lain. Tentang apa yang membuatmu berhenti melakukannya, kalau kutebak mungkin karena tidak mendapat respons yang baik."
Jika dipikir-pikir aku memang pernah mengalaminya, ya.
Aku ingat betul bagaimana aku sudah merasa sangat senang karena ada yang mau mendengarkanku, tetapi reaksi yang kuterima tidak begitu baik. Setiap kali aku mencurahkan isi hati, tanggapan yang kuterima seringnya berupa penghakiman yang menolok ukur dari mereka sendiri.
Padahal jika benar-benar ingin menghargaiku, mereka bisa melakukannya dengan hanya mendengarkan dan selebihnya cukup memberikan kata-kata klise seperti, "Yang sabar, ya". Dijamin seribu persen aku pasti bakal senang.
Karena sekecil apa pun bentuk reaksi mereka terhadap ceritaku, selama itu adalah hal positif, sudah pasti merupakan sesuatu yang bermakna. Lagi pula di sini aku hanya ingin didengar agar bisa merasa lebih tenang.
"Biru," seru Abu. "Tidak apa-apa. Sekarang kamu bisa menceritakan semuanya kepadaku. Kamu bebas berkeluh kesah apa pun. Aku akan mendengarkanmu."
"Memangnya aku boleh begitu? Aku saja tidak tahu masalah seperti apa yang bisa kuceritakan pada orang lain."
Abu tersenyum. Wajah rupawannya jadi terlihat lebih manis. "Tentu saja boleh dan kamu bebas bercerita apa saja. Tak melulu harus masalah besar. Apa pun itu yang membuatmu merasa terganggu, kamu bisa menceritakannya padaku. Bahkan jika ceritamu berupa pengalaman menyenangkan. Itu malah jauh lebih boleh lagi."
Memangnya aku benar-benar boleh begitu?
Ah, benar juga, jika dengan Abu sepertinya aku bisa melakukannya.