Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aku Biru dan Kamu Abu
MENU
About Us  

     Semua bermula dari isi kepalaku yang terasa penuh. Jika ditanya apa saja isinya, aku hanya bisa terdiam dengan wajah yang berangsur menjadi muram. 

     Selang beberapa saat, timbul gejolak dalam dada dan emosi-emosi negatif mulai melingkupi. Aku merasakan sedih, marah, kesal, kecewa, gelisah, dan juga takut. 

     Aku terus bertanya-tanya kenapa aku kerap kali merasakan itu semua secara tiba-tiba. Namun, seperti yang sudah-sudah, aku masih dirundung kebingungan tanpa tahu apa penyebabnya.

     Hari ini pun aku kembali dengan perasaan campur aduk. Aku berusaha mengenyahkannya dengan menggambar yang sudah menjadi hobiku sejak kecil. Aku menggambar juga hitung-hitung untuk meluapkan emosi. Siapa tahu dengan menuangkannya ke dalam bentuk goresan, aku bisa meneguk kelegaan.

     Detik bertemu detik hingga berubah menjadi menit. Sayangnya aku tak kunjung mulai menggerakkan tangan. Entah kenapa kali ini aku hanya bisa menggenggam pensil tanpa meyentuhkannya ke sketchbook. Padahal beberapa saat lalu aku sangat antusias untuk melakukan kegemaranku itu.

     "Bingung, ya?"

     Tetiba suara asing menyapa rungu. Aku yang mendengarnya sedikit merasa ngeri. Terlebih suara tersebut berasal dari seorang laki-laki. Dengan waspada, aku menatapnya lekat-lekat. Takut dia akan berbuat macam-macam.

     Laki-laki itu awalnya hanya berdiri sambil memandangiku dengan bibir melengkung. Sampai kemudian dia berjalan mendekat dan mengubah arah pandangnya. Kini sorot matanya terlihat mengarah pada sketchbook milikku yang lembarnya masih kosong.

     "Memangnya kamu mau menggambar apa sampai kebingungan begitu?" tanyanya.

     Aku tertegun. Benar juga. Aku mau menggambar apa, ya?

     Mata si lelaki kembali tertuju padaku. "Tidak perlu bingung sebegitunya, kan tinggal coret-coret saja?"

     Mulutku langsung menganga tidak percaya. Aku memberinya tatapan tajam. "Bagi kamu menggambar semudah itu, ya? Tinggal coret-coret?"

     "Aku tidak bilang mudah," jawabnya. "Lagi pula mencoret-coret termasuk tahap pertama dalam perkembangan seni rupa. Apa salahnya balik ke titik awal biar bisa memulai semua dengan lebih baik?"

     Dahiku berkerut. Jujur saja, aku tidak terlalu mengerti apa maksud ucapannya.

     "Nah, sekarang ayo coret-coret!"

     Mata laki-laki itu tampak berbinar seolah dipenuhi bintang. Dia terdengar begitu bersemangat.

     Aku pun seakan terhipnotis dan bergerak sesuai perkataannya. Tanganku yang sedari tadi hanya menggenggam pensil, sekarang mulai menorehkan coretan demi coretan. Lembar kosong pada sketchbook milikku akhirnya mulai terisi dengan gambar abstrak yang terbentuk dari goresan tanganku.

     "Bagaimana? Jauh lebih baik daripada hanya diam kebingungan tanpa melakukan apa-apa, bukan?"

     Sebuah senyuman secara alami terukir di wajahku. Ini benar-benar menakjubkan. Tanganku bergerak sendirinya dan sukses menciptakan gambar abstrak. Mungkin tidak seberapa, tetapi bagiku ini terlihat cukup berkesan. Semua perasaan negatif yang melingkupiku tergantikan oleh rasa senang.

     "Aku tahu kamu suka menggambar, tetapi jangan juga memaksakan dirimu. Kamu kan bisa memulainya dari yang paling sederhana. Jadi, tidak perlu kebingungan dan berpikir berlebihan. Lakukan saja sesukamu dan menggambarlah dengan bebas."

     Darahku berdesir dan hatiku terasa bergetar. Aku lantas mendongak dan menatap laki-laki yang sudah mengeluarkan kata-kata luar biasa tersebut. Untuk beberapa saat aku terhanyut tatkala wajah rupawannya terlihat sangat memesona.

     Laki-laki itu memiringkan kepalanya. "Aku tampan, ya?"

     Sontak aku membuang muka. Aku kaget dengan ucapannya yang seakan bisa membaca pikiranku. Lagi pula kenapa dirinya bisa kelewat percaya diri?

     Ya, meski begitu kuakui dia memang tampan, sih.

     Tidak mau menanggapi dirinya yang narsistik, buru-buru aku mengganti topik. "Hei, daripada itu lebih baik kamu beri tahu aku siapa namamu."

     "Aku tidak punya nama."

     Tentu saja aku tidak percaya. "Omong kosong macam apa itu? Di dunia ini semua orang punya nama. Aku yakin kamu pasti juga punya." 

     Aku ingin mendesaknya agar cepat memberi tahu siapa namanya, tetapi kuurungkan niatku itu kala mendapati sorot matanya yang sulit diartikan. Tanpa sadar aku mulai menyelisik untuk memahami arti tatapannya.

     Keheningan pun mulai tercipta di antara kami berdua.

     Hei, jangan bilang dia sungguhan tidak punya nama? Memangnya itu masuk akal? Aku berpikir keras tentang hal ini.

     "Kenapa kamu memandangku sampai sebegitunya? Ah, aku tahu. Kamu pasti terpesona dengan ketampananku, kan?"

     Aku tak habis pikir. Lihat kepercayaan dirinya itu. Sungguh patut diberi jempol.

     "Sudahlah, itu tidak penting. Beri tahu saja siapa namamu." Pada akhirnya aku tetap mendesaknya.

     "Bagaimana kalau kamu saja yang namai aku?"

     "Ha, kamu sekarang serius bicara begitu?"

     "Iya, aku serius."

     Aku tidak percaya dia menjawab pertanyaanku barusan. Aku sendiri sebenarnya masih menaruh keraguan, tetapi tidak salah juga memberinya nama panggilan.

     "Kalau begitu, mulai sekarang nama kamu Abu," ujarku sambil melempar senyum.

     "Kok Abu, sih?" Ekspresi tidak suka terpancar dari wajah tampannya.

     "Karena itu cocok denganmu," jawabku sekenanya. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa bisa berpikir seperti ini.

     Abu menghela napas pasrah. "Aku bisa apa kalau kamu sudah bicara begitu."

     "Hei, apa maksudmu?"

     "Kamu yang paling tahu apa maksudku," jawab Abu.

     "Ha? Apa lagi maksudnya itu?"

     "Baiklah, kalau aku Abu lalu bagaimana denganmu? Aku harus memanggilmu seperti apa?"

     Bibirku sedikit mengerucut. Aku tahu Abu sengaja mengalihkan pembicaraan. Dalam beberapa saat aku memang kecewa akan sikapnya itu, tetapi setelahnya aku lekas menanggapi dengan senyum menunjukkan gigi. 

     Kemudian aku berkata, "Aku Biru dan kamu Abu."

     Kira-kira begitulah aku dan Abu mulai saling mengenal.

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags