Tokyo, 25 Mei
Ini adalah kali pertama aku disambut mentari pagi di negeri orang. Sendirian. Tanpa teman satu atap. Bagiku, suhu negeri Sakura hari ini terasa hangat, sesuai dengan cerahnya sinar matahari yang masuk melalui jendela. Tadi malam setelah kelelahan menempuh penerbangan, aku langsung memasuki apartemen yang kusewa, lalu tidur di kasur single bed. Beres-beresnya nanti saja, pikirku. Untung saja aku sudah minta bantuan teman lamaku, Faira--yang sedang melanjutkan pendidikan S2-nya di Universitas Keio, untuk mencarikan apartemen kecil sejak jauh-jauh hari. Jadi aku bisa langsung menempatinya.
Ketika membuka mata pagi ini, aku teringat akan ada pertemuan dengan sutradara dan produser yang hendak menggarap drama dari skenarioku.
"Welcome to Japan. Welcome to Tokyo." Kuucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan perasaan teramat gembira seperti saat pesawat yang kutumpangi mendarat dengan selamat.
Usai turun dari pesawat, tidak lupa aku memotret pemandangan bandara untuk bahan unggahan di media sosial.
Tidak lupa pula, Faira menjemputku di bandara dan membantu mengambil foto selfie-ku secara sukarela.
Usai mandi dan berdandan, aku berangkat ke tempat kerja baruku. Aku mampir ke konbini sebentar untuk membeli onigiri lantaran belum sarapan. Usai onigiri berhasil masuk ke perut, barulah aku berjalan menuju stasiun.
Hari ini aku mengenakan outfit semi formal. Kemeja floral lengan panjang dan rok selutut warna soft pink, senada dengan warna bunga mawar yang terlukis di kemejaku. Naskah episode satu dan dua yang kukirimkan beberapa bulan lalu, sudah kucetak dan kini kubawa ke rumah produksi. Tas tangan berwarna beige yang kubawa, ukurannya cukup untuk menampung print out naskah.
Setiba di depan gedung tempat rumah produksi itu berada, aku berhenti berjalan dan memandangi gedung itu dari bawah, dari dekat. Baru kali ini aku melakukannya. Gedung tinggi berisi puluhan lantai ini, semakin ke atas jendelanya tampak semakin mengecil.
"Permisi. Anda sedang apa? Mengapa hanya berdiri di sini?" Tiba-tiba suara ringan seorang laki-laki--yang kira-kira seumuran denganku--membuat jantungku hampir keluar dari tempatnya. Refleks, aku menoleh ke sumber suara sembari memegang dada sebelah kiri.
Akan tetapi ...
Astaga, laki-laki ini tampan sekali.
"Oh, maaf sudah mengejutkan Anda." Laki-laki itu membungkuk sembilan puluh derajat selama beberapa detik.
"Tidak apa-apa. Hanya terkejut yang wajar, kok," balasku.
Meski sudah sering menonton drama dan film Jepang dan menemui adegan minta maaf seperti yang dilakukan laki-laki itu, aku masih mengalami culture shock. Sebab di negeriku, minta maaf dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi tidak dengan membungkuk. Aku jadi sungkan.
"Apakah kantor Anda berada di gedung ini?" tanya laki-laki itu. "Anda seorang karyawan dari cabang luar negeri?"
"Saya seorang penulis skenario. Saya ada pertemuan dengan sutradara dan produser di Akanezora Production."
Mata laki-laki itu seketika membelalak. Bibirnya membuka tanpa ia sadari. "Wah, jadi Anda penulis skenarionya. Mari ikuti saya ke kantor Akanezora Production." Wajahnya tampak gembira sekaligus antusias.
Dengan semangat, ia berjalan di depanku dengan langkah besar ketika kami berdua memasuki gedung. Kami berdua lalu menaiki lift yang terletak di sebelah kiri meja resepsionis.
"Kantor Akanezora Production ada di lantai delapan. Sama seperti Anda, saya juga ada pertemuan dengan dengan sutradara dan produser."
"Anda memegang bagian apa dalam proyek drama ini? Kira-kira nanti ada berapa orang yang akan rapat dengan sutradara dan produser?"
"Kalau soal itu ... saya tidak tahu." Ia terkekeh. "Tetapi yang saya dengar, dua pemeran utamanya dipilih langsung oleh Anda, ya?"
"Benar sekali," jawabku sambil mengulas senyum bangga. "Mereka berdua idola saya. Saya ingin idola saya bisa berada di drama yang sama. Makanya, sewaktu sutradara mengabulkan permintaan yang itu, saya sangat bahagia."
Sesaat kemudian, pintu lift membuka. Kami telah sampai di depan kantor yang kedua pintu kacanya berada di pinggir kiri dan kanan. Ada tulisan 'masuk' di pintu kiri, dan 'keluar' di pintu kanan. Sementara bagian tengah adalah tembok yang diwarnai serupa warna matahari terbenam dan diberi lampu-lampu kecil yang dirangkai hingga membentuk nama perusahaan. Berupa huruf alfabet. Di samping nama perusahaan, dipasang sebuah logam warna emas berbentuk matahari.
Beberapa langkah setelah keluar dari lift, kulihat beberapa orang berjalan lalu-lalang keluar-masuk kantor Akanezora Production. Salah satunya perempuan berambut pirang panjang--yang sepertinya sengaja dicat--dan dikucir twintail melangkah keluar dari kantor dengan membawa setumpuk dokumen. Pakaian yang dikenakannya sangat santai, kasual, dan tampak modis. Dia lebih cocok bekerja di bidang kecantikan, pikirku. Senyumnya seketika merekah dan matanya berbinar usai tak sengaja melihat laki-laki di sampingku.
"Halo, Mas Tatsuya," sapanya sambil mlambaikan tangan. Laki-laki itu membalas sapaannya dengan cara yang sama. Perempuan itu lalu menghampiri kami berdua.
"Anda ini ngawur sekali, Mas Tatsuya. Nanti bagaimana kalau orang-orang di gedung ini memotret Anda sedang berjalan bersama perempuan. Bisa-bisa foto Anda viral di SNS, lho."
"Tidak akan terjadi seperti itu, Mbak Aiko. Oh, ya, ini penulis skenarionya. Kami berdua bertemu di depan gedung tadi."
Perempuan itu beralih kepadaku. "Jadi Anda Mbak Naraya? Selamat sudah memenangkan kompetisi menulisnya. Welcome to Akanezora Production. Mari masuk." Ia menyambutku dengan heboh.
Aku memperkenalkan diri ketika kami berjalan menuju ruang rapat.
"Saya Marilyn Naraya yang menggarap skenario drama Ryouri Kara Hajimaru Koi. Senang bertemu dengan Anda. Mohon kerja samanya."
"Saya Aiko Yamanaka, asisten sutradara. Panggil Aiko saja. Senang menggarap drama ini bersama Anda. Dan perkenalkan, laki-laki ini Tatsuya Ishibashi. Pemeran adik tokoh utama perempuan. Dia aktor pendatang baru yang wajahnya belum terlalu dikenal. Makanya dia berani tampil di publik tanpa masker." Ia terkekeh ketika menjelaskan profil laki-laki itu barusan. Cara bicaranya juga lumayan cepat.
Oh, ternyata laki-laki ini aktor pendatang baru. Pantas saja aku belum pernah melihatnya muncul di drama dan film.
Aku dan Tatsuya dipersilakan duduk tatkala sudah sampai di ruang rapat. Di sini ada satu meja panjang, empat belas kursi, dan satu layar proyektor. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan jendela kaca agar dapat melihat pemandangan gedung-gedung bertingkat.
"Lima menit lagi, sutradara dan produser akan segera datang. Saya akan membawakan air mineral untuk semua yang rapat pada pagi hari ini," tutup Aiko.
***
"Skenario yang Anda buat ini sedikit mirip dengan film Nigakute Amai sepertinya. Apakah Anda sudah menonton film itu sebelumnya?"
"Benar, Sutradara. Saya mengambil unsur utama 'perempuan tidak bisa memasak' dan 'laki-laki pandai memasak' karena mendapat inspirasi dari film itu. Sementara unsur-unsur lainnya, saya tambahkan sendiri berdasarkan imajinasi saya."
Aku menjawab pertanyaan Sutradara Yamazaki--yang nadanya hampir mirip interogasi--itu dengan jujur. Sebagai penulis skenario pemula, tidak ada salahnya aku mengakui inspirasiku.
"Laki-lakinya adalah Kepala Chef di restoran Korea. Jadi sangat logis jika dia mahir memasak. Ini juga poin bagus karena dikembangkan dengan adegan 'mengajar memasak secara privat untuk si tokoh wanita'. Tetapi kekurangannya ...." Pria yang mengenakan kemeja flanel motif kotak-kotak dan celana jin itu tampak berpikir meskipun matanya masih fokus pada print out naskah.
"Bagaimana kalau bagian review masakannya diganti dari blog ke Instagram saja? Menurut saya, postingan di SNS lebih cepat viral dibandingkan di blog. Karena SNS memiliki fitur mention, bukan? Sementara blog tidak punya. Pegawai manajemen restoran mungkin tidak punya waktu untuk mencari artikel tentang tempat kerja mereka di mesin pencari. Lebih praktis menulis dan mengeklik @namarestoran dan menggunakan tagar." Produser Inoue menimpali.
"Ide yang sangat bagus." Sutradara Yamazaki langsung menyetujuinya. Lalu pria berumur awal empat puluhan itu mengalihkan tatapannya kepadaku. "Mbak Naraya, mari kita gunakan ide itu."
"Baik, Sutradara." Aku mengambil buku catatan kecil dari dalam tas dan mencatat ide produser. "Selain ini, bagian mana lagi yang harus saya revisi?"
Sutradara lalu menyerahkan empat bendel print out naskah yang kutulis. Dua bendel episode satu, dan dua bendel episode dua. "Beberapa dialog yang sudah ditandai oleh dua pemeran utama. Mereka berdua ingin Anda memperbaiki ini karena kekurangan emosional yang mereka rasakan."
"Kekurangan emosional." Aku mengulangi poin perkataan sutradara. "Tapi, Sutradara, kapan dua pemeran utama itu membaca naskah ini? Mengapa penulis skenario tidak dilibatkan dalam pembacaan naskah?"
"Pembacaan naskah drama oleh pemeran utama sudah diadakan kemarin," jawabnya. "Hanya pemeran utama saja yang kami ikutsertakan dalam pengajuan revisi naskah. Untuk pemeran pembantu, kami beri kebebasan improvisasi saat syuting sudah dimulai."
Pertanyaanku tentang mengapa penulis skenario tidak dilibatkan saat pembacaan naskah, tidak dijawab. Aku merasa sedikit kesal di sini. Sedikit.
"Oh, jadi begitu peraturannya."
"Benar," sahut Produser Inoue.
"Apakah semua pemain sudah diputuskan?" Aku bertanya lagi.
"Sudah," jawab produser. "Mereka akan kami panggil satu per satu untuk menandatangani kontrak perjanjian kerja seperti yang dilakukan Ishibashi tadi."
Aku membuka naskah yang sudah dicorat-coret dengan pensil oleh dua pemeran utama. Aku memutuskan membawa pulang empat bendel tersebut.
"Untuk episode ketiga dan seterusnya, bagaimana perkembangan naskahnya?" Sutradara bertanya lagi.
"Untuk episode ketiga, mungkin hampir selesai. Sedangkan yang lain baru di tahap sinopsis."
"Kalau begitu, pengumpulan naskahnya dilakukan secara bertahap atau diselesaikan semuanya dahulu, Pak Yamazaki?" tanya produser kepada sutradara.
"Lebih baik satu per satu saja seperti dua episode awal. Agar dua pemeran utama tidak terlalu pusing saat punya usul revisi."
Kami bertiga pun melanjutkan rapat lagi hingga satu jam lamanya. Sebelum aku pulang, produser sempat memberikan pujian untuk naskah dan 'strategi'ku.
"Untuk tulisan seorang pemula, menurut saya ide Anda kreatif meskipun ceritanya ringan. Anda juga mengerti jika dewasa ini banyak anak muda Jepang yang mencintai musik K-pop. Jadi bayangan saya, drama ini nantinya akan ditonton oleh para penggemar K-pop. Anda tidak salah memilih pemerannya, Mbak Naraya."
"Ah, tidak sampai begitu kok, Produser. Saya adalah fans mereka berdua. Saat menulis naskah, mereka berdualah yang terbayang di benak saya. Tetapi, terima kasih banyak atas pujian Anda."
Deadline pengumpulan revisi episode satu dan dua, sekaligus naskah asli episode ketiga telah diputuskan. Dalam perjalanan pulang, aku menggumamkan 'welcome to' seperti yang kulakukan pagi tadi.
Welcome to Japan
Welcome to Tokyo
Welcome to Akanezora Production
Welcome to Writing
Welcome to Deadline
Welcome to Revision
Welcome to ....
Aku membuka aplikasi Instagram dan menelusuri akun milik aktor pendatang baru Tatsuya Ishibashi yang baru kuikuti beberapa jam yang lalu.