“Haaaahhh capek!”
Ada kaki yang ditumpangkan di atas kaki lainnya. Ada kepala yang beristirahat di dekat kaki tersebut. Ada tubuh lengan terentang lebar seperti bintang laut di tengah-tengah lantai. Aku menyingkirkan lengan itu demi meletakkan tas, mengistirahatkan kepala di atasnya sambil merebahkan tubuh. Kama, dengan menyebalkannya kembali merentangkan tangan hingga mengenai mukaku.
“Kama!” tegurku, setengah merengek.
Kama tertawa. “Sori,” ujarnya, lalu bergerak menyamping dan meletakkan kaki di atas badan Ulfi, membuat gantian cewek itu yang menyumpah-nyumpah.
Usai lomba tarik tambang dan makan es krim di siang bolong hingga membuat kepala sakit, kami berlima memutuskan untuk pulang ke rumah Ghea, tempat yang paling sering dijadikan tongkrongan karena dua alasan; tempatnya nyaman (luas serta tidak dipenuhi pengganggu seperti di rumah Kama), dan kedua, karena nenek Ghea punya banyak simpanan camilan enak.
Masing-masing dari kami merebahkan diri di pelataran rumah Ghea, memandangi mangga-mangga muda di atas pohon yang condong ke teras. Tidak peduli apapun lagi.
“Ah, adem banget rasanya.”
“Nikmatnya rebahan...”
Aku dalam diam setuju. Setelah punggung yang pegal karena berdiri seharian ditambah berpanas-panasan tadi, beristirahat di teras yang bersih dan dingin membuat badan serasa disejukkan.
“Mau ngapain kita abis ini?” Ulfi menyangga tubuh di atas lengan, ia menatap kami semua bergantian.
“Nonton, yuk!” Kama menyahut. Jika itu rumah Ghea, kami memang seringnya menonton bersama. Terutama karena cewek itu punya koleksi DVD milik sang paman yang lumayan lengkap. “Kita belum nonton sekuel Train To Busan!”
Cepat-cepat, Ulfi menggeleng. “Enggak! Ogah nonton horor, serem!”
“Seru, tahu! Nanti kita tutup tirai dan matiin lampu!”
“Enggak! Pokoknya enggak! Mending kita berantem aja!”
“Vote aja,” Laura menengahi. “Horor atau romance nih?”
Setengah jam kemudian, kami sudah duduk melingkar di depan TV besar di ruang tamu Ghea, gelap-gelapan. Pintu dan jendela ditutup. Tirai diturunkan. Lampu dimatikan. Dan zombi berkeliaran di layar televisi dengan suara-suara yang membuat merinding.
Namun di atas semua itu, dibanding menikmati cerita horor yang juga terselip drama, kami lebih banyak menertawakan Ulfi yang penakut mencengkeram erat siapapun yang ada di dekatnya, meski dari awal dia sudah mengklaim dua buah bantal sofa ke dalam pelukan. Dia juga akan berteriak heboh dengan adanya sedikit jumpscare atau kejutan apaun dalam scene apapun.
“Na!”
Di penghujung film, Ulfi menggamit lenganku. Aku pun menoleh padanya.
“Apa?”
“Gue mau pipis!”
“Yaudah pipis aja sana! Pake bilang! Kan lo tahu toiletnya dimana.” Itu Kama yang menyahut. Cewek itu sedang mengemil sestoples kembang goyang hingga bunyi kriuk-kriuknya sedikit mengganggu suasana horor yang coba kuresapi.
Ulfi kali ini merengek, wajahnya di letakkan di pundakku. “Gue takuuuttt!”
“Hadeh gitu aja takut. Nggak ada apa-apa juga!”
“Beneran?” Ia berbalik menatap Ghea. “Ghe, di rumah lo biasanya ada hantu, nggak?”
“Nggak, biasanya ada Nenek gue doang,” Ghea terkekeh.
Tetapi, Ulfi sepertinya belum yakin. Ia kembali menatapku. “Na, pipis, yuk!”
Ouch, aku lagi ... malas. “Udah, gue,” katanya, menyengir.
Tidak berhenti, sekarang sasarannya adalah Laura. “Ra! Ayo, kita ke toilet bareng!”
Laura saat itu masih berbaring di atas karpet sembari memeluk guling. Ia berusaha bertahan di posisi itu meski Ulfi menarik-narik lengannya agar bangkit. “Ayo, Ra~ Temenin~”
“Gue males, Pi... Lo sendiri aja. Toiletnya deket ini.”
Ulfi diam, bibirnya ditekuk saat dia memandangi kami semua. “Ish, ya udah!”
Ketika cewek itu akhirnya mulai berjalan menuju dapur yang terhubung dengan kamar mandi, kakinya dihentakkan lebih dari biasanya, merajuk. Kami tidak terlalu memedulikannya.
“Awas zombi belakang lo!” celetuk Kama jahil.
Ulfi berteriak refleks. Secara bersamaan, ia berlari kembali ke arah kami dan mulai melakukan kekerasan pada Kama. “Jahat banget lo, ngagetin aja!”
Kama tertawa, pasrah saja.”Lagian lo apa-apa minta ditemenin! Penakut!”
“Emang! Bleh” Ulfi menjulurkan lidah. “Makanya, temenin!”
“Ya udah. Sini sama gue.”
“Kamaaa lo emang sahabat gue!”
Ulfi memeluk cewek bertubuh tinggi besar itu erat, yang harus kami hentikan dengan menimpuk mereka bantal, masalahnya, keduanya menghalangi kami menonton televisi. Tawa pun bergema di ruangan gelap itu.
Tawa canda yang terdengar seperti anak-anak paling bahagia di dunia. Tawa canda seakan tidak ada hari esok.
Lalu, suara penuh tawa canda itu perlahan ... memudar.
***
Minggu, 13 Desember. 22.56 WITA
Kurasa, aku pingsan. Aku terbangun di samping tempat tidur Ghea. Merasa yakin tentangnya setelah melihat parsel buah dan teko yang sama seperti yang kuletakkan di atas lemari di sisi tempat tidur Ghea tadi sore.
Aku bangkit berdiri, kemudian melongokkan kepala untuk mencarinya. Kupikir, Ghea sedang berada di toilet. Namun sekitar lima belas menit berlalu dan aku tidak kunjung melihatnya. Jadi, aku turun dari tempat tidur, mengenakan kembali sneakersku dengan asal, dengan menginjak ujungnya, lalu berjalan dengan terseret ke luar ruangan.
Jam dinding menunjukkan telah pukul sebelas malam, lorong-lorong telah sepi. Tetapi ketika aku berjalan menuju kamar tempat Kama dirawat, semuanya terasa berbeda. Aku menemukan Ghea berdiri bersama keluarga Kama di sana, di depan ruang ICU. Namun yang membuatku terkejut dan menghentikan langkah sebelum sampai di sana, bukanlah tentang pakaian rumah sakit Ghea yang kumal, bukan tentang dirinya yang bertelanjang kaki, atau rambutnya yang tidak mendapat sisiran.
Ghea sedang menangis. Ia jatuh terduduk, lalu kembali menangis tersedu-sedu sembari memeluk lutut. Sesekali, tangisnya menderas dan ia akan meneriakkan nama cewek itu. Kama. Kama. Kama.
“Kamaaa... Please, Ma....”
Mendadak, lututku lemas. Jantungku mencelus hingga ke kaki. Pikiran-pikiran terburukku bermunculan ke permukaan. Aku mulai meremas tanganku dan menggigit kukuku dengan kalut. Tidak. Kumohon... jangan berita itu... jangan lagi...
Pintu ruang rawat itu terbuka. Beberapa perawat tampak keluar. Dan mereka ... membawa sebuah ranjang dorong. Ada seseorang di atasnya. Kama ... Apakah Kama di sana? Menjadi sosok yang tertutup kain putih ... hingga kepala?
Mengelilingi ranjang, adalah keluarga Kama. Ibunya yang penyabar, Ayahnya dengan rahang mengeras, juga abangnya... yang sebelumnya selalu terlihat seakan menyimpan sejuta candaan di kepala. Sekarang, tidak ada satupun di antara mereka yang tidak menangis kencang.
Kakiku mati rasa, tetapi dengan susah payah aku menyeretnya, berlari menuju sosok di balik kain putih tersebut.
“Ghe?” tanyaku.
Ghea tidak menjawab. Ia terlalu banyak menangis. Jadi aku merangsek maju. Dengan tangan yang kebas, kusingkap kain itu.
Sesosok wajah yang tenang tengah tidur di sana. Nyaris tersenyum. Meski tampak sangat pucat. Meski dengan bekas-bekas luka yang masih amat begitu nyata. Sosok yang ... di sepanjang ingatanku, tidak pernah setenang itu. Kama selalu berisik. Kama selalu aktif. Kama selalu ... tertawa.
Sekarang, kemana perginya seluruh tawa itu?
“Kama...”
Jmeariku menyentuh wajahnya. Dingin. Dingin sekali. Kama yang kukenal selalu hangat.
Seketika itu pula, kakiku goyah dan tidak lagi sanggup menopang bobot tubuh. Aku jatuh terduduk di lantai yang dingin, memandangi kain putih itu, memandangi ranjang yang perlahan didorong menjauh, yang diiringi tangisan semua orang.
“Bahkan meskipun ia selamat, ia tidak akan kembali seperti semula. Ia mungkin akan kehilangan fungsi kaki, dan akan membutuhkan operasi berbeda untuk wajahnya yang hancur,” aku masih mengingat perkataan dokter yang kucuri dengar waktu itu.
Airmataku berjatuhan di lantai. Aku menangis, keras-keras.
Mungkin ... mungkin ini yang terbaik untuknya?
Sementara di kepalaku, kalimat terakhir Kama masih terngiang-ngiang dengan begitu jelasnya.
“Sok-sokan. Ke toilet aja ditemenin. Lo kan kemana-mana nggak bisa sendiri, Upi, perlu ditemenin.”
Sekarang kamu juga melangkah pergi, Kama, menempuh jalan yang sama yang ditempuh Ulfi. Apakah ini karena kalian sangat sangat dekat? Semua orang selalu bilang Kama dan Ulfi lebih kembar dari aku dan Laura. Tidak secara fisik, tetapi dua orang itu benar-benar tidak dapat dipisahkan.
Sampai akhir hayat pun tidak dapat dipisahkan.
Ulfi, Kama telah memenuhi janjinya sekarang, untuk selalu menemani kamu kemanapun.
Kama, tolong jaga Ulfi baik-baik di sana.
Kuharap kalian ... bisa tertawa bersama hingga aku iri. Aku sangat iri. Kuharap kalian ... bahagia, sangat bahagia di sana.