Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sebelas Desember
MENU
About Us  

Minggu, 13 Desember. 14. 19 WITA

 

Kama masih dirawat di ruang ICU, masih tidak sadarkan diri, dan melihat keadaannya, membuat lututku lemas. Hampir seluruh kepalanya diperban, tangan dan kakinya digips, juga banyak sekali selang-selang dan alat bantu yang menopangnya. Kata dokter, bahkan meskipun ia selamat, ia tidak akan kembali seperti semula. Ia mungkin akan kehilangan fungsi kaki, dan akan membutuhkan operasi berbeda untuk wajahnya yang hancur.

Aku tidak bisa membayangkan Kama yang seperti itu, Kama yang berbeda. Kama yang kukenal, tertawa sangat keras, tersenyum dengan matanya, bibirnya, pipinya, dengan seluruh wajahnya. Kama yang kukenal adalah gadis yang sempurna... dengan caranya sendiri. Gadis yang bersinar amat terang seperti matahari pagi.

Namun bahkan, selamat saja memiliki persen kemungkinan yang lebih rendah. Selamat saja ... akan menjadi sebuah keajaiban.

Keadaanya terus memburuk. Hari ke hari. Sekarang telah memasuki hari ketiga, dan ia ... masih kritis.

Keluar dari kamar tempat ia dirawat, yang hanya diperbolehkan dikunjungi paling banyak dua orang, aku menatap seluruh keluarga Kama yang menunggu di luar. Wajah-wajah lelah, wajah-wajah yang digelayuti kesedihan. Sebelumnya, aku tidak pernah menyukai rumah sakit, bau desinfektannya. Namun sekarang, aku mengerti kenapa banyak orang juga membencinya, sepertiku. Dibandingkan aroma cairan pembersih, yang lebih menyesakkan adalah aroma keputusasaan, aroma dari orang-orang yang telah mengetahui bahwa kematian berjarak hanya satu tarikan napas dari mereka. Oleh mereka yang akan meninggalkan ... atau ditinggalkan.

Dan sekarang, aroma itu begitu pekat di udara hingga sulit untuk menghela napas.

Kama adalah anak terakhir. Dia adalah SI Bayi Raksasa. Dia bercerita, meskipun Kama itu tinggi dan terkenal kuat, kakaknya masih senang mengerjai dan menindasnya. Kak Adam, namanya. Abangnya itu suka meledek Kama hingga menangis. Atau hingga keduanya bergulat di lantai, atau berlarian di halaman membawa sapu.

Sekarang Kak Adam hanya duduk di bangku di depan ruang tunggu. Wajah jahilnya yang kuingat selalu punya bahan ejekan sekarang menyimpan murung, menunduk menatap foto di tangan. Foto dirinya dengan Kama sewaktu mereka masih anak-anak. Aku bertaruh, ia akan bersedia memberikan apa saja agar Kama kembali, agar Kama selamat.

Ibu Kama adalah ibu rumah tangga. Aku melihatnya duduk di pojok, mengangsurkan roti, membujuk keluarga yang lain untuk makan meski bertaruh, ia sendiri tidak melakukannya. Ketika melihatku, ia mengulaskan senyum dan segera berjalan ke arahku.

“Nana, mau roti? Selai cokelat. Kamu belum makan, kan?” Pertanyaan yang sama selalu terlontar dari mulut ibunya Kama setiap kali kami bermain ke rumahnya. Akan ada banyak makanan. Kami akan begitu dimanjakan. Dan aku terbiasa dengan pertanyaan itu. Juga dengan roti selai cokelat yang sering Kama bawa sebagai bekal ke sekolah.

Tapi ... kali ini berbeda.

Sebuah pertanyaan berputar di kepalaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia mempedulikan orang lain saat ia sendiri terlihat paling hancur di antaranya? Bagaimana bisa dia menjadi penopang sementara dirinyalah yang paling membutuhkan sandaran?

Sulit untuk mengembalikan senyumnya, tapi aku mencoba. Bibirku tertarik ke kedua sisi, dan aku tidak tahu apakah aku terlihat aneh. Yang kutahu, tanganku meraih kotak makan yang ia sodorkan. Dan aku masih menatap ibunya Kama.

“Tante... belum makan juga, kan? Kita makan sama-sama?”

Aku tidak punya kalimat penghiburan. Aku tidak bisa mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Itu akan menjadi sebuah kebohongan dan semua orang tahu itu. Jadi aku hanya duduk di sana, di sisinya, memakan roti dalam diam, menekan airmataku agar tidak mengalir keluar.

Aku hanya bisa berdoa, begitu keras dalam diam, tanpa henti.

Kama, kamu adalah yang paling kuat di antara kita berlima. Kamu pasti kuat melewati ini, kan? Kamu harus kuat, Kama.

***

 

19. Him

Minggu, 13 Desember 16. 44 WITA.

 

Selama beberapa hari ini, aku hampir melupakannya sama sekali. Laki-laki yang dulunya, sebelum kejadian Sebelas Desember, mengisi paruh yang besar dalam tiap ruang di kepalaku. Aku memikirkannya hampir setiap saat, melamunkan berbagai kemungkinan aku dan dia menjadi kami, kita, satu kesatuan. Tetapi sekarang, dengan setiap ketakutan yang membayangi tiap napas yang kuhirup, semuanya lenyap. Aku bahkan tidak lagi mengerti kenapa aku pernah begitu menginginkannya.

Nawala berdiri di depanku. Atau aku harus memanggilnya Rei? Dia datang dengan penampilan yang tidak serapi biasanya. Dan melihat bagaimana ia tidak tampak kebingungan dan berjalan mantap ke arahku yang berdiri tepat di depan ruang perawatan Laura, aku dapat menyimpulkan ini bukan kali pertama dia kemari.

“Nana,” sapanya.

Aku membalas dengan satu menyum tipis. “Kak.”

Dia tampan, ya. Lalu kenapa? Yang kuinginkan hanya Kama kembali, Laura bangun, Ghea sehat... itu saja. Yang kuinginkan hanya mendengarkan lagu Day6 sampai gila bersama Ulfi lagi.

Sambil membalas senyumku, dia bertanya, “Gimana Laura?”

“Masih sama,” jawabku.

Dan Nawala tidak bertanya lagi. Dia mengerti. Masih sama artinya keadaannya masih separah kemarin. Masih kritis. Masih tidak diketahui kapan ia akan bangun. Ataukah apa ia akan bangun atau tidak sama sekali.

Kami diam untuk beberapa saat. Aku tidak menghitung waktu. Tetapi tiap detik yang terlewat, aku mengutuki diriku dalam diam. Kenapa kehadirannya membuat beban ini sedikit terangkat? Mengapa tubuhnya yang berdiri di sisiku menguarkan hangat? Kenapa ... aku ingin bersandar di pundaknya dan menceritakan lelahku?

Seperti yang selama ini kulakukan.

“Mau keluar sebentar?” tanyanya.

Aku tidak menjawab. Tetapi memutar tumitku, mulai melangkah menuju persimpangan lorong.

Kami memutuskan untuk berjalan keluar dari aroma pengap rumah sakit. Tidak jauh, ada sebuah kafe kecil, berseberangan dengan hotel. Di kafe itulah, kami memutuskan untuk duduk bersama, memesan dua gelas jus dan dua porsi eggdrops. Makanan yang menggugah, seandainya situasinya berbeda. Sekarang, aku kesulitan menelan apapun melewati tenggorokan.

Kafe itu cukup hening. Lagu yang diputar melalui pengeras suara di sudut kafe tidak diputar dalam volume keras, hanya cukup untuk mengisi ruang yang senyap itu. Aku juga tidak repot-repot memecah keheningan di antara kami, aku dan Rei. Aku selalu suka keheningan. Nawala yang terbiasa melakukannya, mencari topik baru. Dia seperti matahari pagi, cerah, memikat, disukai. Akan tetapi kali ini, aku dapat melihat awan mendung di atas kepalanya, menyembunyikan matahari pagi yang cerah itu.

“Kamu pasti kaget.” Adalah kalimat pertama yang diucapkan Nawala semenjak kami duduk. Setelah beberapa lama hanya senyap.

Dan selama sesaat, aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Jika setiap orang yang melihatku akan bertanya apa aku baik-baik saja, Psikopat mana memangnya, yang akan baik-baik saja setelah melalui apa yang aku lalui? Nawala tidak melakukannya. Dia ... memahamiku. Rasanya seakan begitu.

“Aku nggak nyangka─nggak ada yang nyangka ini akan terjadi,” katanya lagi. Suaranya, secara mengejutkan terdengar berat, serak.

Aku mengangkat wajah untuk menatapnya, tanpa mengatakan apa-apa. Di antara kami, embun mulai membanjiri bibir gelas. Egg drops kami sudah mendingin. Namun di antara kami, tidak ada satupun yang menyentuhnya.

Sambil menatapku balik, Rei kembali bicara. “Baru kemarin, sehari sebelum kejadian itu aku ketemu kamu. Dan aku bahkan belum ketemu Rara. Kami hanya sempat ngobrol di telepon. Dan aku sudah nyiapin ... kejutan.”

Kali ini aku menunduk, menatap tanganku di pangkuan. Mereka saling remas, hanya demi menyalurkan rasa sakitku. Tidak, ini bukan rasa sakit yang seperti itu. Bukan karena aku cemburu, bukan lagi. Ada ngilu yang dapat kurasakan dari suara Rei, bercampur dengan kesakitanku sendiri, dengan segala ketakutanku, dengan segala rasa bersalah yang terus menggerogotiku.

“Ironisnya, aku yang dapat kejutan,” kata Rei lagi. “Kejutan yang sama sekali nggak pernah kuharapkan.”

Juga ada nyeri lainnya. Rasa sesak tiba-tiba saja menyerangku. Membuat pandanganku mengabur dan kepalaku seakan dipukul ribuan palu.

“Hari itu aku berencana jemput kalian. Hari itu harusnya aku jemput kalian. Seandainya aku melakukannya ... things could have differen story.

Things could have different story. But ... it didn’t. And this is what happened. Seandainya aku bisa memutar waktu dan mencegah kejutan ulangtahun dari teman-temanku. Seandainya kami tidak pergi dan diam di sekolah. Seandainya kami tidak naik mobil itu. Seandainya aku memilih duduk di kursi berbeda ...

Ada begitu banyak seandainya. Tidak ada yang yang terwujud.

Seakan dapat membaca pikiranku, ia kemudian berujar. “Tapi tidak ada yang namanya kebetulan. Ini ... sudah digariskan. Kamu nggak perlu merasa bersalah jika kamu baik-baik aja dan teman-teman kamu terluka parah.”

Nawala meraih tanganku yang bersembunyi di sudut meja, menariknya lebih dekat. Menghangatkanku. Tidak membiarkanku menarik diri sekali lagi. “Kita hadapi ini sama-sama, oke? Kamu nggak harus menanggung beban sendirian.”

Apakah ia memang seorang pembaca pikiran ataukah aku hanyalah sebuah buku yang terbuka? Atau karena ... seringnya kami bertukar surat, bertukar rasa yang membuat cowok di depanku ini dapat memahami dengan mudahnya.

Pelupuk mataku menghangat. Dan rasa bersalah yang kutanggung, bukannya berkurang, justru bertambah banyaknya. Bagaimana mungkin aku menjadi manusia yang begitu egois?

“Makan sedikit dan kita pulang sekarang, ya,” bujuk Nawala kemudian.

Aku tidak punya pilihan selain mengangguk pasrah. Eggdrops milikku mendapat dua gigitan yang kemudian ditelan dengan susah payah. Nawala, meskipun kata-katanya berusaha menghibur, tidak makan dengan lebih baik. Ia meletakkan separuh sisa makanan serta minumannya di atas meja sebelum membayar. Kemudian kami pulang, kembali dalam diam.

Langit bersemburat oranye di luar, menandakan kedatangan senja yang cerah.

Tidak seperti senja hari itu yang muram. Senja sebelas Desember.

Nawala berjalan di sisiku, jemari kami sesekali bersentuhan tetapi tidak pernah bertaut, sementara kami berjalan di sepanjang trotoar, di bawah pepohonan yang menaungi jalanan. Gemerisik dedaunan kering di bawah kaki menjadi satu dari dua hal yang mengisi senyap di antara kami, bersama dengan bisingnya lalu lalang kendaraan di sekitar.

Aku melangkah perlahan, merasakan gamang dalam setiap pijakan.

“Bagaimana pendapat kamu tentang rahasia?” Nawala tiba-tiba bertanya.

“Rahasia?” Kepalaku tertoleh menatapnya.

Dia mengangguk.

“Aku rasa ... beberapa hal harus disampaikan saat itu juga. Kalau tidak ... sepertinya harus menunggu. Entah sampai kapan. Menjadi rahasia sendiri.”

Entah apa yang sedang coba ia katakan. Apakah ia berbicara tentang Laura dan perasaannya?

Di satu sisi, aku ingin menamparnya. Masih sempat-sempatnya ia memikirkan hal itu sementara Laura tengah terbaring koma saat ini? Di lain sisi, aku ... hatiku ... ada denyut sakit yang tidak dapat kukendalikan.

Surat itu. Ia menyampaikan perasaannya lewat surat itu. Perasaan yang tidak dibagi denganku. Surat yang kuhancurkan menjadi berkeping-keping. Jika aku tidak merobeknya, mungkinkah ceritanya akan menjadi berbeda sekarang? Mungkinkah pelarian itu tidak pernah ada? Mungkinkah Ulfi masih di sini dan Kama baik-baik saja?

Atau setidaknya ... jika saja aku tidak merobeknya, Laura akan terbaring di sana, mengetahui seseorang yang ia puja juga menyimpan perasaan yang sama besarnya. Mungkin dengan cara itu, ia akan bangun. Dan dengan cara itu, Rei tidak punya penyesalan. Dan aku ... tidak perlu sesak oleh rasa bersalah ini.

Lalu, skenario-skenario itu mulai bermunculan di kepalaku. Kecelakaan yang diputar ulang, kemudian beputar mundur, seperti semula, seperti belum terjadi apa-apa. Rei dan Laura mungkin sedang bahagia sekarang. Ulfi sedang mendengarkan Day6. Kama sedang berolahraga. Ghea menonton drama. Dan aku ... aku ...

Kumohon hentikan. Aku meremas ujung rokku. Memohon kepada bukan siapa-siapa. Karena... rasa sakit itu semakin menjadi, menghantamku keras-keras. Langkahku mulai terseok, lalu terhenti.

“Na? Kamu nggak papa?”

Samar, aku dapat mendengar Rei bicara. Tetapi tidak mampu meresponsnya. Bahkan wajahnya terlihat buram.

“Na?”

Cukup. Aku tidak tahan lagi. Aku ...

Wajah Rei yang samar kemudian berubah menjadi putih, lalu hitam. Lalu semua hitam dan aku tidak lagi mendengar apa-apa, segera setelah merasakan tubuhku melayang jatuh ke tanah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
RUMIT
6743      1921     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
Trasfigurasi Mayapada
213      163     1     
Romance
Sekata yang tersurat, bahagia pun pasti tersirat. Aku pada bilik rindu yang tersekat. Tetap sama, tetap pekat. Sekat itu membagi rinduku pada berbagai diagram drama empiris yang pernah mengisi ruang dalam memori otakku dulu. Siapa sangka, sepasang bahu yang awalnya tak pernah ada, kini datang untuk membuka tirai rinduku. Kedua telinganya mampu mendengar suara batinku yang penuh definisi pasrah pi...
Premium
Cinta Dalam Dilema
38791      4820     0     
Romance
Sebagai anak bungsu, Asti (17) semestinya menjadi pusat perhatian dan kasih sayang ayah-bunda. Tapi tidak, Asti harus mengalah pada Tina (20) kakaknya. Segala bentuk perhatian dan kasih sayang orang tuanya justru lebih banyak tercurah pada Tina. Hal ini terjadi karena sejak kecil Tina sering sakit-sakitan. Berkali-kali masuk rumah sakit. Kenyataan ini menjadikan kedua orang tuanya selalu mencemas...
Lily
1965      891     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Attention Whore
245      202     0     
Romance
Kelas dua belas SMA, Arumi Kinanti duduk sebangku dengan Dirgan Askara. Arumi selalu menyulitkan Dirgan ketika sedang ada latihan, ulangan, PR, bahkan ujian. Wajar Arumi tidak mengerti pelajaran, nyatanya memperhatikan wajah tampan di sampingnya jauh lebih menyenangkan.
Ich Liebe Dich
11855      1827     4     
Romance
Kevin adalah pengembara yang tersesat di gurun. Sedangkan Sofi adalah bidadari yang menghamburkan percikan air padanya. Tak ada yang membuat Kevin merasa lebih hidup daripada pertemuannya dengan Sofi. Getaran yang dia rasakan ketika menatap iris mata Sofi berbeda dengan getaran yang dulu dia rasakan dengan cinta pertamanya. Namun, segalanya berubah dalam sekejap. Kegersangan melanda Kevin lag...
Sacrifice
6797      1732     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"
Dolphins
631      404     0     
Romance
Tentang empat manusia yang bersembunyi di balik kata persahabatan. Mereka, seperti aku yang suka kamu. Kamu yang suka dia. Dia suka sama itu. Itu suka sama aku. Mereka ... Rega Nicholando yang teramat mencintai sahabatnya, Ida Berliana. Namun, Ida justru menanti cinta Kaisal Lucero. Padahal, sudah sangat jelas bahwa Kaisal mengharapkan Nadyla Fionica untuk berbalik dan membalas cintanya. Sayan...
Jawaban
381      242     3     
Short Story
Andi yang digantung setelah pengakuan cintanya dihantui penasaran terhadap jawaban dari pengakuan itu, sampai akhirnya Chacha datang.
Train to Heaven
1169      736     2     
Fantasy
Bagaimana jika kereta yang kamu naiki mengalami kecelakaan dan kamu terlempar di kereta misterius yang berbeda dari sebelumnya? Kasih pulang ke daerah asalnya setelah lulus menjadi Sarjana di Bandung. Di perjalanan, ternyata kereta yang dia naiki mengalami kecelakaan dan dia di gerbong 1 mengalami dampak yang parah. Saat bangun, ia mendapati dirinya berpindah tempat di kereta yang tidak ia ken...