Read More >>"> Sebelas Desember (01. Hujan, 10 Desember) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sebelas Desember
MENU
About Us  

“Hujan, 10 Desember”

Posted by Bunga Kupu-Kupu on December 10th. 15:05 p.m

 

Hujan, 10 Desember.

Besok ulang tahunku yang ke-17. Kata orang, ini adalah masa terindah. Tidak banyak yang harus kau khawatirkan; seputar pelajaran yang rumit, PR yang banyak, uang jajan terbatas, khawatir tokoh fiksi favoritmu tidak bisa bersatu, perasaan terpendam pada kakak kelas, mencuri waktu supaya bisa nongkrong sambil bercanda bareng teman-teman...

Semua itu enggak mudah, tapi kalau kupikir-pikir, memang menyenangkan.

Besok ulang tahunku yang ke-17 ... aku penasaran, apa yang hari esok bawa untukku.

***

Kamis, 10 Desember. 09:50 WITA

Di luar hujan.

Dari tempatku duduk, sisi kanan barisan tengah  paling depan, kulihat angin membawa derainya mengetuki jendela. Seperti jari-jari kecil yang terus mengetuk. Iramanya konstan, sehingga terdengar menyerupai dengung.

Ibu Rini, guru Biologiku telah meninggikan suara sejak setengah jam yang lalu, sejak hujan turun dengan kebisingannya. Ketukan ujung spidolnya di papan tulis tidak lagi terdengar seperti biasa. Beliau menuliskan sederet judul, penjelasan, lalu menatap seisi kelas. Aku menundukkan pandang, berharap beliau tidak melihat ke mataku.

“... Warna merah pada eritrosit disebabkan oleh hemoglobin, yaitu senyawa yang mengangkut oksigen dan karbondioksida melalui pembuluh darah. Proses pembentukannya berlangsung di dalam sumsum tulang belakang, proses ini disebut,” beliau menulis lagi di papan tulis, satu kata, lalu menggarisbawahinya,”... eritropoiesis. Nah, sel darah merah juga memiliki masa hidup seratus dua puluh...”

“Sstt!”

Aku mendengar suara. Samar. Tetapi dengan cepat mengabaikannya.

“Sstt Na! Nana!” suara berbisik lagi. Serta perasaan sedang di tatap.

Secara naluriah, aku menoleh, ke jendela di ujung lain ruangan.

Ulfi tampak melongokkan kepala dari jendela yang berada di samping koridor kelas. Wajahnya hanya terlihat setengah, itupun mungkin harus berjingkit-jingkit. Karena aku yakin jendela itu tingginya di atas kepala Ulfi yang pertumbuhannya terhenti di angka 149 cm.

Dia sedang apa, sebenarnya?

“Na... “ mulutnya komat kamit menyebutkan namaku. Sampai situ, aku paham. Tetapi tidak pada kalimat selajutnya.

“Apa?” Aku balas menggerakkan bibirku tanpa suara demi membalasnya.

Ulfi masih komat-kamit. Wajahnya sesekali hilang, mungkin kelelehan berdiri di ujung tumit, sebelum muncul lagi. Beberapa kali, dan aku masih tidak mengerti. Aku mengangkat bahu dan menyilangkan kedua lengan di depan dada. Kuharap dia mengerti aku sama sekali tidak jago telepati.

Buk!

“Aw!” Aku meringis pelan, mengusap kepalaku, dan menunduk. Kulihat gumpalan kertas di dekat kakiku yang sebelumnya tidak ada di sana. Dengan cepat, aku segera menoleh ke jendela, ke sumber yang melemparku dengan kertas tadi.

Ulfi menyengir sementara aku memungut kertas tadi dengan susah payah, takut ketahuan guru. Isinya berupa coretan huruf bulat-bulat yang ditulis dengan terburu-buru sehingga seperti tulisan anak kelas 1 SD.

 

Ntar sore nonton drakor bareng di rumah Ghea, kuyyy?!

 

Aku menggamit Ghea dan menunjukkan kertas dari Ulfi. Cewek berambut lurus panjang itu melongo. “Rumah gue?”

“Lo emang nggak tahu?” Aku berbisik.

Ghea menggeleng. “Nggak tahu, tapi oke-oke aja sih, kalau kalian mau.”

Aku nyaris memutar bolamata. Ada-ada saja teman-temanku itu. Mengundang ke rumah teman yang bahkan tidak tahu rumahnya sedang ditumbalkan. Aku kembali menoleh pada Ulfi dan melambaikan tangan, bermaksud membuat gestur penolakan.

Nggak! Aku menggeleng.. Terlalu mendadak.

Wajah Ulfi tampak berkerut, tetapi dengan cepat dia menghilang. Namun mereka tidak pergi seperti dugaanku. Sekarang wajah Kama yang muncul. Dia terlihat tinggi, sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari biasanya. Lengannya bersedekap sementara bibirnya seolah mengatakan ‘Ayo ikut!. Aku kembali menggeleng. Lalu suara Bu Guru menarik perhatian.

“Launa!”

Dengan cepat aku menolehkan kepala kembali ke papan tulis. Dan di luar kelas, aku mendengar bunyi gedubrak. Seseorang jatuh.

Kasian Kama, tetapi aku tidak punya waktu untuk khawatir. Karena sekarang, aku harus memikirkan nasibku sendiri.

“Coba sebutkan jenis-jenis sel darah,” Bu Rini memberiku tatap memperingatkan.

Aku menggigit bibir. Di dalam kepala, sel-selku mendadak bekerja keras menggali kembali memori tentang materi tentang peredaran darah yang sempat kubaca beberapa hari lalu.

“Plasma darah, eritrosit, trombosit, leukosit?”

Wajah Bu Rini melunak. Ia lalu berbalik dan kembali pada penjelasannya, mengizinkanku menarik napas lega.

Aku menunduk pada bukuku.  Catatanku sudah tertinggal cukup banyak tapi aku sedang malas mencacat pelajaran, aku bisa meminjam catatan Ghea dan melakukannya di rumah nanti. Sebaliknya, aku membalik buku hingga berada pada halaman terakhir. Pada halaman berisi catatan-catatan isengku.

Kemudian, aku menambah catatan baru.

Besok ulang tahunku yang ke-17. Kata orang, ini adalah masa terindah. Tidak banyak yang harus kau khawatirkan; seputar pelajaran yang rumit, PR yang banyak, uang jajan terbatas, khawatir tokoh fiksi favoritmu tidak bisa bersatu, perasaan terpendam pada kakak kelas, mencuri waktu supaya bisa nongkrong sambil bercanda bareng teman-teman...

Semua itu enggak mudah, tapi kalau kupikir-pikir, memang menyenangkan.

Besok ulang tahunku yang ke-17 ... aku penasaran, apa yang hari esok bawa untukku.

***

Namaku Launa. Launa Andriani.

Hidupku berjalan dengan lambat. Seperti jarum jam tua yang nyaris kehabisan daya. Seperti roda yang bergerak pelan melintasi jalanan lurus berpasir. Kupikir .... selamanya akan begitu, tanpa ujung. Tapi ternyata, jalanan lurus berpasir pun memiliki kubangan, rodaku jatuh terjepit ke dalamnya. Jarum jam tua pun, tidak akan selamanya malas-malasan menghitung detik. Ada kalanya ... ia memilih untuk berhenti berdetak.

Aku hanya tidak tahu kapan akan terjadinya. Aku hanya tidak tahu dan tidak mempersiapkan diri. Tidak pernah.

“LAUNA ANDRIANI!”

Sebuah suara besar, keras dan marah memembuatku menoleh mencari asal suara. Aku tidak mengenali suara itu, tetapi sekarang, dengan fakta bahwa aku sedang berdiri tepat di depan koridor ruang kelas dua belas, di samping kantor guru membuatku ragu. Sesaat, aku segera menunduk meneliti pakaianku, rok di bawah lutut, kemeja rapi dan penuh dengan atribut sekolah. Rambutku hitam sebahu, dikuncir sederhana ke belakang. Sepatuku hitam, bahkan tanpa warna lainnya barang sedikit pun. Penampilanku sempurna menurut standar peraturan sekolah, tidak ada yang salah. Aku juga tidak membawa barang aneh apapun di dalam tas.

Lalu, kenapa─

“Duarrr! Kaget, nggak?!”

Sekarang aku mengenalinya. Suara itu, yang tadinya disamarkan. Namun sebelum sempat aku berbalik demi mencari sumbernya, dua pasang lengan telah mengalung ke pundakku, hampir membuatku jatuh ke tanah. Ketimbang kaget karena suara, aku nyaris meluncur dari lantai dua sekolah karena beban yang tahu-tahu menimpa.

“Sori, sori!” Kama menyengir tanpa dosa. Di sisi lainnya, ada Ulfi yang lengannya hampir mencekikku, dan Ghea.

“Kalian belum pada pulang?” Aku mengernyitkan alis. Kupikir, hampir semua anak telah meninggalkan sekolah. Dan seingatku mereka telah berjalan bersama lepas bel berbunyi,

“Hujan. Kakak gue belum jemput,” Kama menyahut pertama.

“Dan lo Pi? Bukannya ada ekskul?”

“Pengurusnya taunya sakit, jadi batal. Tahu gitu gue pulang dari tadi!” sungut Ulfi.

Aku tersenyum miris sebagai ungkapan belasungkawa. Di belakang, hujan tidak ada tanda-tanda akan segera reda. Masih deras. Butir-butir air yang besar-besar masih berebutan turun. Tetapi itu tidak menghalangi kami untuk terus mengobrol.

“Oh iya, soal tadi. Na, nonton yuk, di rumah Ghea.” Kama kembali bicara, kali ini sambil membimbing kami semua untuk terus berjalan, menuju tangga ke bawah. “Ikut, nggak?”

“Nonton apaan?”

“Apa aja. Drama yang kemaren belum selesai!”

Aku meringis. Drama yang dimaksud adalah dama Korea berjudul Goblin, drama yang sudah lama tayang namun tak satu pun dari kami yang menontonnya sampai habis. Aku, karena memang bukan penggemar drama Korea, atau drama apapun, Laura pun tidak. Tetapi Ulfi dan Kama adalah penggemar Kpop garis keras yang akan mengajak tawuran siapapun yang berani melecehkan idolanya. Belakangan, Kama mulai keranjingan drama Korea dan mulai meracuni semua orang. Masing-masing dari kami memiliki satu folder berisi episode lengkap drama itu, tetapi Kama melarang keras siapapun untuk menonton sendiri. Mulai bersama, harus tamat bersama, katanya.

“Ya, Na? Lo ikut, kan?” Ulfi ikut buka suara, menyeretku dari lamunan sejenak.

Namaku Launa Andriani. Hampir tujuh belas tahun. Hobi membaca buku dan mendengarkan musik, kadang menonton film juga, menulis juga. Aku menyukai puisi dan membenci keramaian, atau apapun yang melibatkan manusia lainnya. Kekuatan terbesarku adalah kemampuan belajar, kata teman-temanku. Dan kelemahanku ... sulit mengatakan tidak.

Apalagi dengan wajah-wajah memelas tiga orang di hadapanku ini.

Launa, kamu harus kuat! Kali ini aku harus menolak.

Maka sambil menguatkan keputusan, aku menggeleng. “Gue belum selesai ngerjain prakarya buat dikumpul besok.”

Dan aku tidak berbohong. Hanya tidak mengatakan seluruh alasanku.

“Ih, besok nggak masuk juga!”

Segera setelah mengucapkannya, Ulfi segera membekap mulut sementara Kama tampak menyikut cewek berhijab itu, dan Ghea menyengir canggung. Aku mengerutkan kening.

“Besok libur?” Aku hampir tidak pernah melupakan jadwal. Dan besok Jumat, seingatku, bukan tanggal merah.

Ulfi cepat-cepat meralat. “E-Enggak. Maksudnya ... lo kan bisa ngerjainnya malem aja. Hehehe.”

Sekarang, kekehan mereka malah semakin tampak mencurigakan hingga aku menyedekapkan lengan. “Kalian lagi menyembunyikan sesuatu?” tembakku tanpa basa-basi.

Reaksi yang kudapat nyaris membuktikan segalanya. Keterkejutan yang hadir di wajah mereka karena tertangkap basah tidak mampu disembunyikan selama beberapa detik pertama. Tetapi Ulfi tidak menyerah, ia bergelayut di lenganku, menggoyang-goyangkannya pelan. “Ikut aja sih, Na! Rara udah ikut. Lo ikut juga dong!”

Ah, omong-omong soal Rara. “Kemana dia?”

Sekarang sudah hampir jam lepas bel tanda pulang sekolah berdentang. Aku terlambat pulang karena harus menyelesaikan piket kelas, sebelum akhirnya hujan yang sempat reda kembali turun tiba-tiba, dan teman-teman yang kukira sudah pulang duluan rupanya masih di sini. Tapi dimana Laura? Tanpanya, aku tidak akan bisa pulang. Dia yang membawa motor, aku yang menumpang.

“Biasa, lah.” Ulfi mengibaskan tangan. “Banyak fanboy-nya memang, temen kita yang satu itu. Tadi ada kakel yang ajakin dia ke kantin. Lumayan~”

“Panjang umur!” Kama berseru dan kami semua menoleh.

Saat itu juga aku menemukan Rara yang melambaikan tangan, lantas berlari-lari kecil menuju kami yang tengah berdiri di anak tangga. Sebuah kantong plastik berayun di jinjingannya, dan senyum lebar tersungging di wajahnya.

“Siapa mau Yakult?!” serunya setibanya di ujung tangga. Tanpa sungkan ia lalu membagi satu pak berisi lima botol kecil  minuman fermentasi itu dan mengedarkannya satu-satu. Aku menerima salah satunya tanpa meminta.

“Kak Geri, yang ngasih,” tambahnya. Yang disambut sorakan suka cita dari semua orang, kecuali aku.

Selanjutnya, Ulfi terus bicara dengan mulut masih menyedot minumannya. “Loyal banget ya, Kak Geri tuh. Kenapa nggak lo pacarin aja, deh Ra?”

“Pacarin apaan. Kita cuma bahas masalah OSIS, kok.”

“Dan ada Kak Rei!” Kama menambahkan. “Jangan lupakan Kak Rei!”

Laura tersenyum. Kalau boleh kugambarkan, Laura punya senyum paling cantik yang pernah kulihat, dan bukan karena kami kembar. Kata orang, kami adalah kembar yang cukup identik, sekilas terlihat mirip. Tapi sekilas itu tidak akan bertahan lama. Dengan segera, mereka biasanya akan segera menyebutkan beberapa perbedaan, beberapa perbandingan. Dia memiliki beberapa hal yang tidak kupunyai. Seperti senyum itu, senyum yang menunjukkan kepercayaan diri, tetapi tidak mengintimidasi. Laura dengan mudah selalu dapat membuat orang lain merasa nyaman dan diterima.

Dan aku tidak.

Dan aku selalu memiliki ekspresi wajah tertekuk sehingga orang selalu berpikir aku sedang marah atau kesal. Atau sakit karena kulit yang pucat.

Laura selalu menjadi pusat perhatian. Dan aku tidak. Dan aku selalu berusaha mengambil posisi di sudut, berkeinginan terlupakan.

Aku sudah sangat terbiasa mengambil peran sisi bawah mata uang, menjadi yang di bagian gelap sementara Laura disirami cahaya. Aku selalu ... menjadi yang tidak menarik di antara kami berdua.

“Omong-omong lo tadi rapat OSIS ya, di kantin?” Ulfi kembali membuka percakapan. “Berdua doang? Atau sama yang lain?”

Seketika, aku, Laura, Ghea dan Kama bertukar senyum tahu sama tahu. Namun Kama-lah yang lebih dulu mengistirahatkan lengan di pundak cewek itu sembari menaik-turunkan alisnya. “Kenapa, Sayang? Nyariin Kak Iyo?”

Ulfi menyergah lengan Kama dan dengan gugup membuang muka.”Enggak, kok! Nggak ada urusannya sama Kak Iyo. Kenapa sih dibahas terus!”

“Karena ada yang naksir Kak Iyoo~” Ghea menimpali. Laura mengangguk-angguk setuju.

“Karena ada yang mukanya merah sekarang~”

“Iiiih! Stop atau gue nggak jadi ya nonton ke rumah Ghea!”

Tetapi, namanya juga Laura, Ghea dan Kama, terutama Kama, tidak ada kata ‘berhenti menggoda Ulfi’ di kamusnya.

“Karena ada yang takut baper nonton drama malah ngebayangin Kak Iyo~ Kak Iyo~”

Aku ikut terkekeh bersama mereka. Tawaku lebur dalam derai gelak Kama, tawa Laura, cekikikan Ghea, bahkan senyum malu Ulfi.

Sampai sore itu, semuanya masih baik-baik saja. Atau setidaknya terasa begitu. Jarum jam nyaris rusak masih berdetak dan rodaku masih bergulir di pasir. Sampai sore itu, kehidupanku masih berjalan seperti hidup remaja seharusnya, atau setidaknya begitu yang kutahu. Pusing memikirkan tugas, kuis, ulangan di depan mata, dan PR, ada terlalu banyak PR, juga les. Tetapi di antaranya, selalu ada hal-hal kecil yang membuat segala hal berat itu terlupa. Seperti makanan gratis yang dibagi berlima, menggoda teman yang diam-diam kasmaran, atau membahas topik konyol dan membangun rencana masa depan yang tidak masuk akal.

“Kalau udah dewasa, kita harus kerja di tempat yang sama, ya! Terus tinggal satu kompleks, rumahnya harus berjejer!”

“Bener! Terus kalau bisa kita nikahnya nanti barengan ya!”

“Gue mau nikah sama member TXT! Yang mana aja!”

“Eh tapi gue nggak mau rumah sebelahan sama Kama. Berisik!”

“Nggak pa-pa. Ntar gue pasang karaoke segede dosa biar suaranya nyampe ke rumah lo, Upi!!!”

Aku berjalan ke ujung pelataran sekolah, kemudian mengulurkan tangan. Hujan masih turun. Tetapi sekarang memelan. Di atas, langit yang tadinya gelap, berangsur-angsur menjadi lebih terang.

Kepada langit itu, aku bertanya-tanya. Sudahkah dia membisikkan pesanku padanya? Pada seseorang yang menjadi alasanku untuk banyak hal?

                            

***

 

 

Kamis, 10 Desember. 16.50 WITA

Rencana menonton drama sore itu, aku tidak hadir. Ada alasan yang tidak kukatakan, tidak pernah kukatakan pada siapa pun. Bahkan kepada Ulfi, Kama ataupun Ghea, yang menceritakun kepadaku apa saja, hal paling pribadi sekalipun. Tidak juga kepada Laura, saudari kembarku. Terutama, tidak kepada Laura.

Alasan itu kusimpan dalam sebuah diary rahasia yang tidak akan pernah ditemukan siapapun. Tidak karena ia sendiri tidak berbentuk buku utuh, melainkan selipan kertas berisi corat-coret di buku-buku yang kupunya. Buku-buku kesayanganku. Dari Jane Eyre hingga All The Bright Places.

Alasan itu bernama Nawala.

Aku menghabiskan dua jam sore itu untuk mengukir sabun mandi. Setelah menghabiskan dua batang sabun dengan sia-sia, pada percobaan ketiga aku berhasil mengukir bentuk seperti yang kumau. Seekor kupu-kupu berwarna ungu. Bukan warna kesukaanku, tapi milik Laura. Sekarang semuanya ada tiga, mungkin aku harus membuat dua lagi, membaginya satu-satu untuk teman-temanku.

Butterfly Squad, itu nama geng kami. Aku ingat Kama adalah orang pertama yang mencetuskannya, saat kelas 3 SMP. Filosofinya adalah tentang sekumpulan anak ingusan yang tidak tahu apa-apa, jelek dan tertutup, seperti kepompong.

“Suatu saat, kita akan jadi kupu-kupu,” katanya. “Dan kita akan jadi kupu-kupu sama-sama. Gue jadi pengacara, Nana penulis, Rara, artis, model atau apa deh yang lo mau, Upi sekarang cita-citanya jadi chef, nggak tahu nanti, dan Ghea mau jadi wanita sukses.”

“Kita akan jadi kupu-kupu sama-sama?”

“Iya, dong! Nggak boleh ada yang ketinggalan!”

“Pokoknya kita harus sukses, dan jadi cantik!”

“Dan punya rumah berjejer!”

“Dan selamanya sama-sama.”

“Dan selamanya sama-sama.” Semua mengulang. Lalu... satu tangan ditutup oleh empat tangan lainnya ketika kami semua bersorak. “Best friends forever!”

Dedaunan kering beserta bunga merah muda jambu air yang dirontokkan oleh angin sore, mengetuk-ngetuk jendela sebelum mendarat di tanah menyergahku dari lamunan. Perhatianku sekarang tertuju pada pohon itu, yang pokoknya besar dan kokoh, sebagian akarnya menyembul ke tanah, dipenuhi warna merah muda di sekitarnya. Sekarang sedang musim dia berbunga. Di pohon itu aku terbiasa menulis, apapun, puisi, cerita pendek, atau sekadar coretan. Di tempat yang sama, aku bertemu Nawala.

Hari ini, aku menemukan diriku kembali berjalan ke arah yang sama, kembali berharap, dengan selembar surat yang terselip di tangan. Hari ini Kamis, seharusnya dia datang.

Seperti setahun, hampir dua tahun yang lalu. Di bulan Mei.

Pohon itu adalah markas rahasiaku. Tidak ada rumah pohon di sana seberapa keras pun aku menangis meminta Ayah membuatkannya dulu. Meski begitu, pohon itu tetap rumahku, tempat yang paling sering kujadikan tempat melalui sore, karena kamar tidak hanya milikku sendiri.

Jadi, ketika Laura menyanyi keras-keras demi latihan paduan suara yang diikutinya, aku memilih kembali ke pohonku dengan buku di tangan. Hari itu kepalaku dipenuhi deret kata-kata yang belum terangkai, kata-kata yang menyimpan magis. Baru beberapa menit aku duduk di atas akar, menulis dua baris puisi bebas tentang sepi, ketika penaku terjatuh dan aku menemukan benda yang tak seharusnya di sana.

Sebuah gulungan surat kabar.

Dan ada selembar lipatan kertas terselip di bawah karetnya.

Untuk, Pemilik Pohon Jambu.

Kemaren jambunya kumakan, maaf ya. Rasanya manis. Terima kasih. Dan koran ini ada di halaman kami, padahal kami nggak berlangganan koran. Sepertinya punya kalian?

PS: Boleh minta jambu airnya yang jatuh ke halaman kami?

PSS: Salam kenal, dari Tetangga Baru.

Keluarga kami juga tidak berlangganan surat kabar, sudah lama berhentinya. Ayah sudah terlalu sibuk bekerja dan menurut ibuku, menumpuk surat kabar bekas tidak ada gunanya. Ia menjual sebagian besar dan menyisakan sedikit untuk keperluan seperti alas menggoreng kerupuk atau untuk bersih-bersih. Aku tidak tahu milik siapa seharusnya surat kabar itu. Jadi aku mengembalikannya, beserta surat lainnya.

Untuk, Pemakan Jambu.

Nggak papa, ambil aja. Kamu boleh ambil langsung dari pohon, kalau mau. Dan surat kabar ini juga bukan punya kami. Jadi kukembalikan. ^^

PS: Petik langsung dari pohon aja, jangan makan yang jatuh : (

PSS: Salam kenal~ >,<

Kupikir, semuanya akan berakhir di sana. Tapi besoknya, aku menemukan gulungan surat kabar yang sama, dengan surat berbeda.

Untuk, Pemilik Pohon Jambu.

Aku sudah tanya-tanya, dan koran ini memang nggak ada pemiliknya. Jadi, kita pakai aja! XD

Omong-omong, beneran boleh nih, manjat langsung pohonnya? Kalau gitu aku bisa manjat ini dan ke rumah kamu, dong?

PS: Kamu bukan om-om kan? Soalnya pakai emoji imut masa om-om.

PSS: Nama kamu?

.

Untuk, Pemakan Jambu.

Aku masih SMA, ya! Dan nggak kumisan, nggak akan pernah!

Memangnya kamu bisa manjat?

PS: You tell me first.

.

Untuk, Pemilik Pohon Jambu.

Kalau nggak mau kasih tahu, aku akan panggil kamu Jambu.

.

Untuk, Pemakan Jambu.

Dan aku akan panggil kamu Nawala, surat kabar.

.

Aku mencari di sela-sela akar dan semak rerumputan, menyipitkan mata meneliti di antara jarum-jarum kelopak bunga jambu air, serta beberapa buah busuk yang dibiarkan di tanah, koran lusuh yang sudah beberapa kali berganti wujud itu tidak ada.

Apa dia sedang sibuk?

Nawala itu telah masuk bangku kuliah sekarang. Dia tinggal di kos dekat kampus seperti anak kuliahan lainnya, meski jarak rumah ini dan kampusnya tidak sejauh itu. Dia hanya di sini hari Kamis sore hingga Jumat pagi karena jadwalnya semester ini, sedangkan akhir pekan ia habiskan di rumahnya sendiri, atau mengerjakan tugas. Rumah di sebelah hanya milik neneknya yang tinggal berdua dengan sang bibi.

“Nyari ini?”

Aku tersentak. Seketika menemukan sosok jangkung yang familiar di belakangku. Ia tampak tampan hari ini. Dengan jins hitam dan denim biru yang pas di tubuh. Di tangannya, sebuah gulungan surat kabar bergoyang-goyang. Di wajahnya, senyum lebar terbentuk.

“Hei, Jambu!” sapanya.

Dan aku seketika memasang wajah merajuk seraya mengulurkan tangan, berusaha meraih gulungan itu. Tidak berhasil karena Nawala segera mengangkat tangannya, menjauhkannya dari jangkauannku.

“Tapi janji dulu, bacanya nanti aja!”

“Kapan?”

“Nanti kalau gue suruh. Nanti.”

Aku menyipitkan mata, kemudian mengangguk pelan. Senyumnya berubah kekehan sebelum dia mengacak rambutku dan menyerahkan korannya. Aku hanya bisa mendemel pelan sambil memperbaiki tatanan rambut. Rambut yang susah payah kusisir tadi!

“Omong-omong, Rara mana?”

“Di rumah. Latihan paduan suara.”

“Oh iya, bener. Penampilannya minggu depan, ya?”

Anggukanku menjadi jawaban. Hening sejenak, sebelum aku memutuskan untuk memecahnya. “Mau mampir?”

Ada ekspresi sedih yang kutangkap dari raut wajahnya. Terselip di antara hidungnya yang mancung dan matanya yang sendu. Bersembunyi di bawah alisnya yang rapi serta bulu mata panjang.

“Pengennya,” desahnya, lalu melirik arloji. “Tapi gue ke sini cuma mampir buat ngasih ini doang. Ada tugas kelompok yang harus selesai malam ini juga.”

Lalu setelah desah panjang lagi, ia menepuk pundakku pelan. “Di situ ... dalam koran itu ada dua surat,” katanya. “Satu buat kamu, satu buat Rara. Nanti tolong sampaikan, ya.”

Gamang sebentar. Aku lalu menarik napas dan menguatkan diri. “Beneran nih, nggak mampir? Biar kupanggilin Rara-nya.”

That’s okay,” senyumnya. “Besok juga bakal ketemu. Kejutan, jadi jangan bilang-bilang, ya?”

Ia berpamitan kemudian. Dan ada rasa tidak rela di diriku. Aku sudah menunggu seminggu untuk itu, bertemu dengannya, hanya untuk memandanginya lima menit. Atau, rasa tidak rela itu muncul karena pertanyaan-pertanyaannya.

Ia bertanya tentang Laura. Dua kali. Juga, menitip surat untuknya. Tidak ada satu pun tentangku dalam percakapan itu.

Padahal hari ini aku mendapat nilai sempurna untuk kuis Bahasa Inggris. padahal hari ini aku berhasil menyelesaikan seri buku Game of Thrones yang ia tonton, yang kami pernah janji akan diskusikan. Padahal hari ini aku mengukir kupu-kupu yang cantik.

Padahal hari ini aku merindukannya. Sangat.

Punggung itu menjauh, tidak tahu menahu bahwa, di sini... aku sedang menahan sakit. []

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
THE DARK EYES
651      347     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
Evolvera Life
5766      2647     27     
Fantasy
Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis du...
PurpLove
189      174     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
SATU FRASA
13266      2696     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
Love Never Ends
10157      2032     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
The Twins
3869      1340     2     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
U&O
21072      2108     5     
Romance
U Untuk Ulin Dan O untuk Ovan, Berteman dari kecil tidak membuat Rullinda dapat memahami Tovano dengan sepenuhnya, dia justru ingin melepaskan diri dari pertemanan aneh itu. Namun siapa yang menyangkah jika usahanya melepaskan diri justru membuatnya menyadari sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing.
Gino The Magic Box
2703      925     1     
Fantasy
Ayu Extreme, seorang mahasiswi tingkat akhir di Kampus Extreme, yang mendapat predikat sebagai penyihir terendah. Karena setiap kali menggunakan sihir ia tidak bisa mengontrolnya. Hingga ia hampir lulus, ia juga tidak bisa menggunakan senjata sihir. Suatu ketika, pulang dari kampus, ia bertemu sosok pemuda tampan misterius yang memberikan sesuatu padanya berupa kotak kusam. Tidak disangka, bahwa ...
Unsuitable
1109      506     6     
Romance
Bagi Arin tak pernah terpikirkan sekalipun bersekolah dalam jerat kasus tak benar yang menganggapnya sebagai pelacur. Sedangkan bagi Bima, rasanya tak mungkin menemukan seseorang yang mau membantunya keluar dari jerat tuduhan yang telah lama menimpanya. Disaat seluruh orang memilih pergi menjauh dari Bima dan Arin, tapi dua manusia itu justru sebaliknya. Arin dan Bima dipertemukan karena...
Dessert
867      443     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...