Read More >>"> Love Like Lemonade (Part 9) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Like Lemonade
MENU
About Us  

Pagi-pagi sekali Vanta sudah dikejutkan oleh sebuah suara, ”Tata! Miss you, Honey!

Dua tangan yang mulus melingkari lehernya. Siapa lagi yang memangilnya dengan panggilan itu kalau bukan Jessi. Temannya yang suka bersikap genit kepadanya cuma Jessi. Yang berani nempel-nempel dan gelayut-gelayut ke Vanta cuma Jessi. Vanta nggak seakrab itu dengan teman-teman cewek di jurusannya meski dia sering dikerumuni teman-teman untuk membantu mengajari tugas mereka.

Hubungan timbal balik dan hubungan persahabatan jelas beda. Apa lagi dia cenderung memisahkan diri saat kelas berakhir. Lebih sering menolak ajakan temannya untuk makan bersama dan pergi menemui Jessi.

Entahlah, Vanta suka berada di dekat gadis cerewet yang tidak pernah kehabisan bahan obrolan itu. Sama seperti dulu, saat dia bersahabat dengan Clarisa. Dia selalu cocok berteman dengan gadis yang ceria. Sifat mereka yang berbanding terbalik malah terasa melengkapi. Sayang, sifat ceria Clarisa hanyalah topeng.

”Pagi-pagi udah heboh aja. Lo belum ke kelas?”

“Gue nungguin lo, karena lo bilang kelas jam sembilan juga. By the way, kok lo jadi ganteng ya? Huhu ... aku terpikat.” Jessi melipat tangannya dan meletakkannya di sebelah pipi, bergaya sok imut.

Kemarin Vanta meminta Jessi memotong rambutnya dengan gunting yang selalu dia bawa-bawa untuk mengerjakan tugas. Tapi Jessi menolak karena takut melakukan kesalahan. Dia tidak cukup percaya diri memotong rambut orang lain sembarangan. Makanya Jessi mengusulkan Vanta pergi ke salon di mal seberang kampus mereka.

Sebetulnya rambut Vanta masih bisa diselamatkan sebatas bahu. Penata rambut di salon menawarkannya gaya rambut layer atau shaggy sepundak. Tapi Vanta menolak, malah memilih pixie haircut yang membuatnya kelihatan boyish dengan kemeja dan kaus yang biasa dikenakan ke kampus.

“Karena udah jadi begini, sekalian aja rambut gue dipangkas lebih pendek. Biar dia tau, apa pun yang dilakuin dia nggak berpengaruh apa-apa ke gue. Mau seratus kali pun dia ngejatuhin gue, sebanyak itu juga gue akan bangkit.”

Jessi mengacungkan dua jempolnya dengan wajah bangga. “Mantap! Lo keren banget, Ta! Ini baru Tata-nya gue. Eh, nyokab lo nanyain nggak kemarin pas pulang.”

Vanta menghela napas. “Tadinya gue berniat sembunyi-sembunyi, tapi di rumah gue rasanya nggak ada yang bisa disembunyiin dari nyokab. Jadi malamnya gue cerita tentang Alvin. Terus nyokab gue bilang, gue harus minta maaf.”

Reaksi Jessi kebingungan dan melongo seperti Vanta waktu mendengarnya. “Minta maaf?”

“Soal lemonade.

“Oohh ... nyokab lo baik banget, ya. Terus, lo mau minta maaf ke Alvin?”

Vanta menoleh menatap Jessi lurus-lurus. “Menurut lo?”

“Nggak,” jawab Jessi lugas.

“Ya kan?? Nggak bakal bisa gue berhadapan dengan tenang sama dia. Bawaannya kesel aja, pengin ngacak-ngacak mukanya. Apalagi kalo inget semua yang dia lakuin ke gue.”

“Tapi kan itu pesen nyokab lo, Ta.” Jessi menyeringai lebar. Bikin Vanta ingin menyambit sahabatnya.

“Lo pengin banget ya, lihat gue minta maaf ke Alvin?”

“Hehe ... nggak, kok.” Gadis itu menyuarakan tawanya dalam suku kata. Menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Jadi, langkah lo selanjutnya apa? Katanya perang kalian belum berakhir.”

“Hmm ... tahun depan dia lulus kan? Apa gue cuti kuliah aja sampe dia lulus?”

Sontak Jessi tertawa mendengarnya. “Cuti cuma bisa dimulai dari semester dua, sista.”

“Jadi, gue harus bertahan empat bulan lagi dong, sampe bisa cuti?”

Jessi terbelalak dan menukas, “Hah, lo serius mau cuti?”

“Nggak kok, nggak.” Ganti Vanta yang tertawa.

“Tapi ... jujur aja,” Raut Jessi berubah kalem. “lo jadi lebih banyak ngomong dan berapi-api sejak berantem sama Alvin. Tadinya kan lo ... apa, ya? Bukan pendiem, tapi lo lebih milih nyimpen banyak hal sendiri. Gue kayak radio yang cuap-cuap sendirian dan lo cuma nanggapin cerita gue tanpa balik cerita.”

“Nggak ada hal yang menarik buat diceritain. Hari-hari gue ya nugas-nugas aja,” kilah Vanta.

“Temen kan emang gitu, cerita hal apa pun meski nggak jelas sekali pun. Ketawain hal-hal gaje sama-sama. Kadang gue merasa, lo kayak kotak misteri yang sulit ditebak isinya. Tapi sejak ada Alvin, lo lebih ekspresif.”

Vanta mendengkus, menghadapi kalimat Jessi dengan candaan. “Itu bukan ekspresif, makan hati yang ada.”

“Yah ... intinya, gue harap lo bisa lebih banyak cerita. Nggak nyimpen semua sendiri. Gue selalu siap dengerin, kok.”

Vanta menatap Jessi dan tersenyum. “Iya, iya. Makasihh, Jes.” Senyum separuh hati.

Ada banyak hal yang tidak bisa diceritakannya pada Jessi. Ia belum siap untuk kembali mempercayai orang lain. Vanta masih butuh waktu untuk mengenal Jessi lebih lama dan memutuskan apakah Jessi orang yang bisa dipercaya. Rasa takut dan waspada itu masih ada.

 

***

 

Jika ada yang tidak diceritakan Vanta pada Jessi, salah satunya adalah pekerjaannya sebagai waitress pengganti di sebuah Café & Bar yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sebelumnya Vanta pernah bekerja sebagai barista. Namun karena jadwal kuliah yang padat, dia harus berhenti.

Ketika teman baristanya menawarkan pekerjaan ini, Vanta merasa jam kerjanya tidak mengganggu waktu kuliah. Dan lagi, hanya tiga bulan untuk menggantikan waitress yang cuti. Setelah coba melamar atas rekomendasi, ternyata dia diterima.

“Beres-beres gih, Ta. Kamu pulang duluan aja.”

Vanta melirik jarum pendek jam pada pergelangan tangannya yang berada di angka sepuluh. “Kak Windy sama yang lain gimana?”

Windy, teman kerja Vanta, berumur dua puluh enam tahun. Tingginya hampir sama dengan Vanta. Rambutnya yang panjang sebahu tetap dapat menampilkan keayuan khas Jawa. Dia juga wanita yang ramah.

Sebenarnya Windy terkejut ketika melihat rambut pendek Vanta saat baru datang tadi. Sejak melihat Vanta, ia mengagumi rambut hitam Vanta yang panjang. Bawaannya selalu ingin menata dan mengepang rambutnya. Sayang, niat itu belum tersampaikan, tapi Vanta malah potong rambut.

“Sebentar lagi kan memang waktunya pulang, tenang aja,” ujar kak Windy lembut.

“Hmm, oke deh. Aku ganti baju dulu ya, Kak.”

Vanta bergegas ke toilet dan mengganti pakaian. Ia menggunakan jasa layanan ojek online setiap bekerja karena tidak ingin membuang lebih banyak tenaga. Sialnya, sejak tadi halaman aplikasi terus saja menampilkan pencarian. Vanta belum mendapat driver sama sekali.

Sepuluh menit Vanta menunggu, aplikasinya tidak menunjukkan tanda-tanda tersedia driver. Vanta mulai frustrasi. Seharusnya dia terima saja tawaran Tony—teman waiter-nya—tadi untuk mengantarnya pulang. Tetapi karena tidak ingin merepotkan, Vanta menolak dengan sopan tawaran itu.

Merasa tak sabar, Vanta memutuskan berjalan kaki. Barangkali nanti dia menemukan driver di jalan. Saat Vanta sedang melangkah sambil mengecek ponselnya, dari arah berlawanan terdapat sebuah motor yang tiba-tiba melaju pelan. Sosok pria yang mengendarai motor itu terlihat mencurigakan. Pria itu mengamati Vanta dari ujung kepala sampai ujung kaki, membuatnya risi.

Setelah motor pria itu berpapasan melewatinya, Vanta mendengar dari belakang suara motor yang menderu mendekatinya. Sembari menyimpan ponsel, Vanta menggunakan kesempatan itu untuk melirik dari ekor matanya, mempercepat langkah.

“Cewek ... mau kemana malem-malem gini? Abang anterin aja, yuk.” Pria yang tadi mengamatinya telah memutar tujuan mengikuti arah Vanta berjalan.

Vanta tidak mengabaikan pria itu dan terus menapak cepat. Dia melirik tak nyaman lantaran orang aneh tersebut masih mengikutinya.

“Hai ... hei ... sombong amat, sih? Nggak usah jual mahal gitu, dong.” Motor itu berhenti tepat di depan Vanta, menghalangi jalannya.

Dia hendak menghindar menjauhi orang itu. Namun sebelum sempat menjauh, pria mencurigakan tersebut mencekal tangannya.

“Apa sih?! Lepas!” bentak Vanta berusaha menghempas tangannya yang dicekal.

“Duh, galaknya si geulis. Nanti dianter pulang, kok.”

“Nggak usah, minggir!” Dengan emosi sekali lagi Vanta menarik paksa pergelangan tangannya yang dicengkram, tapi tenaga orang itu terlalu kuat.

Vanta berusaha memberontak sekuat tenaga. Alih-alih berhasil, orang itu malah menangkap pergelangan tangannya yang sebelah lagi.

“Lepasin, nggak?!” Semakin Vanta berontak, semakin kuat cekalan pria itu.

Saat itu jalanan tidak terlalu sepi. Masih ada beberapa pengendara mobil yang berlalu lalang. Tapi tidak satu pun orang yang peduli. Vanta terus berdoa dalam hati agar ada seseorang yang menolongnya.

Merasa perlawanannya tidak berarti, Vanta mencoba untuk berteriak mencari pertolongan. Pria itu terus menarik tangannya hingga ia bisa merasakan perih yang teramat.

Dewi keberuntungan berpihak padanya kali ini. Sorotan lampu mobil mengarah kepada mereka. Membuat keduanya menunduk dan menyipitkan mata dari silaunya lampu tembak mobil. Lebih merasa beruntung lagi, mobil itu berhenti di depan mereka. Dan si pengendara melongokkan kepala keluar jendela. “Lepasin tangan lo sebelum gue tabrak.”

 

***

 

“Lepasin tangan lo sebelum gue tabrak!” gertak cowok yang duduk di balik kemudi.

“Si-siapa lo?! Gue cuma nawarin anter dia pulang kok, maksud gue baik.” Pria aneh itu membalas dengan terbata.

Vanta bukan saja terbelalak kaget, ia juga menganga lebar, terperangah ketika mendapati orang yang menolongnya ternyata Alvin. Sebenarnya, Tuhan mengirimkan penyelamat untuknya atau malah akan memasukannya ke kandang singa?

“Nggak usah bacot, cepetan cabut!” Alvin menginjak gasnya dalam posisi netral hingga suara deru mesin mobilnya membahana di jalan. Karena si pria aneh belum beranjak, Alvin memindahkan persneling. Menancap gas dan menginjak rem saat bumper depan mobilnya tepat menabrak motor pria itu.

“Beneran mau gue giling ya? Oke!” Baru beberapa senti mobil Alvin mundur, pria berandal bermotor itu kalang-kabut dan langsung melaju pergi.

“Ngapain lo malem-malem gini?” tanya Alvin dengan gaya sengak ketika turun dari mobil.

Vanta kontan menoleh. “Lo sendiri ngapain?” Dia balik bertanya, lalu mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit bekas cengkeraman pria tadi.

“Bukan urusan lo.”

Sendirinya nanya-nanya, tapi ditanya balik nyolot, kesal Vanta dalam hati.

Vanta menghela napas jengkel dan hendak melangkah meninggalkan Alvin. Tapi kalimat cowok itu mencegahnya.

“Heh, lo barusan gue tolongin, loh.”

Awalnya Vanta ingin berterima kasih. Tapi setiap kali cowok itu membuka mulut, rasanya setiap kata yang keluar selalu terdengar menyebalkan. Bikin Vanta darah tinggi. Kenapa bisa ada makhluk semenyebalkan Alvin?

Thanks,” gumam Vanta malas.

“Apa? Lo ngomong apa?” Cowok itu menaruh telapak tangannya di sebelah telinga.

Thanks.” Vanta mengulang.

Alvin mencondongkan badan, mendekat pada Vanta. “Apaan? Nggak kedengeran!” Mungkin Vanta harus meninju wajah ganteng laki-laki ini di lain kesempatan.

Hah?! Apanya yang ganteng, Ta?!

THANKS, BUDEK!”

Bukannya marah, cowok itu tertawa geli. “Ayo,” kata Alvin usai tawanya berhenti.

Mata Vanta memicing menatap Alvin. Dia hanya memerhatikan Alvin yang melangkah ke pintu pengemudi. Ayo, katanya?

“Ngapain lo masih di situ?” tegur Alvin membuka pintu mobil.

Karena Vanta masih bingung dengan kata-kata Alvin barusan, seolah cowok itu baru saja memakai bahasa sansekerta, pertanyaan yang dilontarkannya malah terkesan bodoh. “Apaan?”

“Lo nggak mau pulang?”

Apa sih maksud cowok ini?

Alvin mengajaknya pulang?

Seorang Alvin??

Perlu Vanta ingatkan pada diri sendiri bahwa cowok ini adalah musuh besarnya di kampus. Orang yang berkali-kali menjahatinya. Orang yang dengan kejam memotong rambutnya kemarin. Bisa saja Alvin pura-pura menolong, tapi ternyata menjualnya ginjalnya di tengah jalan. Atau menyerahkannya ke mucikari.

Bisa saja.

Semua bisa terjadi karena dia seorang Alvin, cowok yang tak punya hati.

“Buruan, lama banget elah! Jangan bilang lo minta digendong?” Tanpa sadar cowok itu sudah berdiri lagi di depan Vanta. Mendorongnya ke sisi pintu penumpang.

“Apa, sih? Gue bisa pulang sendiri!”

“Udah malem, ntar kalo lo dicegat sama orang nggak jelas kayak tadi lagi gimana? Belom tentu gue balik lewat sini.”

Karena jarak Alvin begitu dekat, hidung Vanta menangkap percampuran aroma di kemeja cowok itu.

“Ge-er! Siapa juga yang minta tolong sama lo?”

“Ni cewek, ya, batu banget!” decak Alvin. Tangannya melewati Vanta, membuka pintu mobilnya. Posisi Vanta terkunci oleh tubuh lelaki itu. “Udah deh, buruan. Gue lagi males debat sama lo.”

Kalau ditanya sudah berapa banyak pujian yang diterima Alvin selama hidupnya, Alvin tidak bisa menghitung. Perempuan menyatakan cinta lebih dulu padanya bukan hal aneh. Telinga Alvin bahkan sudah kebal terhadap segala puja-puji kaum hawa dan sebangsanya. Tetapi, hanya ada satu orang yang dengan tegas berani menantangnya. Hanya satu orang yang selalu memandangnya sengit penuh aura perselisihan.

Gadis yang ada di depan Alvin bukan saja telah mendobrak otoritasnya, tapi kini menghina terang-terangan. “Jangan deket-deket. Lo bau!”

“Hah?!” Seumur hidup, baru pertama kali ada orang yang mengatainya bau!

“Bau rokok. Bau alkohol.”

Hampir saja Alvin mengendus tubuhnya sendiri. Tolol.

“Eh, eh! Lo ngapain?!” Punggung Vanta merapat pada mobil Alvin. Dia membekap mulutnya dengan kedua tangan ketika cowok itu melepas hoodie abu-abu yang dikenakan, di depan kedua matanya. Alvin menggulung-gulung hoodie itu, mendorong Vanta duduk di kursi penumpang, menyusul masuk di sebelahnya. Dan semua itu berlangsung seperti satu kedipan mata saking Vanta sibuknya mengatur detak jantung.

Duduk di dalam mobil cowok yang mengganggunya, bersebelahan dengannya, tidak pernah terbayangkan akan terjadi dalam mimpi terabstrak Vanta sekali pun. Siapa sangka, orang yang akan menolongnya di tempat yang jauh dari kampus adalah titisan dajjal satu ini.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka atau bahagia?
3201      1022     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
River Flows in You
698      401     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
KataKu Dalam Hati Season 1
3859      1124     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Let's See!!
1492      727     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
KILLOVE
3336      1098     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Lily
1184      554     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Play Me Your Love Song
3070      1251     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Manuskrip Tanda Tanya
3976      1347     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Demi Keadilan:Azveera's quest
692      384     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...