Read More >>"> Love Like Lemonade (Part 6) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Like Lemonade
MENU
About Us  

Kelas Teori Warna hari ini berakhir lebih cepat. Namun, Vanta masih harus mengikuti kelas terakhir, Tipografi. Kampus sudah tidak terlalu ramai saat hari menjelang sore. Sinar matahari tidak lagi begitu menyengat, justru terasa hangat. Senyum Vanta mengembang menghirup aroma ketenangan. Hal yang baru-baru ini sulit didapatkannya sejak bertemu Alvin.

Padahal waktu awal masuk, Vanta selalu betah berlama-lama di kampus. Banyak kampus yang menawarkan beasiswa, tapi salah satu penyebab Vanta memilih Universitas Pelita Bakti adalah karena dia sudah jatuh cinta dengan suasana kampusnya saat kunjungan waktu SMA.

Vanta memilih duduk di kantin sambil membaca komik dari ponselnya. Entah ke mana teman-teman sekelasnya, Vanta lebih suka menikmati quality time sendirian. Kalau ada teman-temannya, dia pasti tidak bisa membaca dan malah diajak ngobrol. Saat ini, Vanta cuma ingin waktu tenang sebelum kelas dan sebelum rutinitas malamnya.

 

***

 

Alvin berjalan melintasi kantin usai nongkrong di smoking area dengan teman-temannya. Langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis—yang lagi-lagi—mengenakan tank top berbalut kemeja longgar, duduk di salah satu bangku. Cewek itu menampilkan raut serius menatap ponsel hingga glabellanya berkerut.

Alvin yang semula ingin pulang mengurungkan niatnya. Menarik salah satu bangku yang berada jauh dari cewek itu. Suasana kantin sore hari cukup sepi. Hingga dari kejauhan pun tak ada yang menghalangi pandangan Alvin.

Dari tempat duduknya, Alvin masih bisa melihat setiap gerakan kecil gadis itu seperti saat dia menggaruk pipinya atau berkedip. Sesekali cewek itu tersenyum dan tertawa. Entah bagaimana Alvin jadi ikut menertawakannya. Cewek itu pasti sedang membaca atau menonton, tebak Alvin.

Sebelah sisi wajahnya tersorot oleh serpihan cahaya matahari sore yang menembus kaca jendela. Diperhatikan lekat-lekat wajah cewek itu, cewek yang mengajaknya perang baru-baru ini. Bola matanya hitam mengilat. Rambut panjangnya yang hitam legam sering dikuncir rapi ke belakang. Hidung mungilnya menghiasi wajah yang oval. Hari ini Vanta memakai kemeja yanguntuk ukuran cewekkebesaran seperti biasa.

Setiap Alvin bertemu dengannya, Vanta selalu tampil cuek dan santai. Tidak seperti kebanyakan perempuan yang tampak menghabiskan waktu lama untuk berdandan dan memilih pakaian. Cewek itu hanya mengoles tint ala kadarnya di bibir. Tapi dengan penampilan yang sederhana begitu, mendadak dia terlihat ... imut?

Alvin geleng-geleng kepala menertawakan pemikirannya barusan. Memang sejak kapan dia tahu apa itu imut? Tatapannya kembali tertuju pada Vanta. Tidak lama kemudian cewek itu menegakkan badan, menoleh ke jendela, dan beralih ke jam tangannya. Alvin yang menyadari tindakannya barusan segera membuang fokus dari cewek itu. Tapi tergoda lagi untuk melirik. Pada saat itulah tatapan mereka bertemu selama beberapa detik karena Vanta langsung buang muka setelahnya.

Alvin tersentak, namun kemudian sudut-sudut bibirnya terangkat. Baru kali ini ada orang yang bereaksi seperti itu saat ditatapnya. Dia jadi penasaran, ekspresi apa saja yang bisa ditunjukkan seorang Vanta padanya?

 

 ***

 

Perasaan lega dirasakan Vanta selama seminggu. Ia curhat pada Jessi tentang Alvin yang keberadaannya tiba-tiba raib di kampus. Sungguh keajaiban yang perlu dirayakan. Hidup Vanta jadi kembali damai dan tentram tanpa provokasi cowok itu.

“Wajar sih, dia kan udah semester tujuh. Jadi nggak sering ke kampus,” komentar Jessi kemarin.

Vanta bersyukur mereka beda tiga tahun angkatan. Kalau Alvin masih semester lima, cowok itu mungkin bisa tiap hari mengusiknya. Yang artinya, tiap hari pula Vanta kena musibah.

Lamunan Vanta dibuyarkan oleh panggilan masuk di ponsel. Dari nomor tidak dikenal. Sempat ragu sejenak, tapi akhirnya Vanta menjawab panggilan itu.

“Hai Ta, ini gue Ferdi. Gue tau nomor lo dari Jessi. Sorry ya, nggak izin dulu minta nomornya,” sahut suara rendah dan lembut di ujung sana.

Agak terperangah mengetahui siapa yang menelepon. Tapi dengan cepat kesadaran Vanta kembali. “Santai kok, Fer. Ada apa nih?”

“Waktu itu kita pernah ngobrol soal kamera, inget? Kalau hari ini ada waktu, mau coba?”

“Serius?? Mau banget!” jawab Vanta antusias. “Duh, sorry banget jadi repotin lo. Gue yang butuh, tapi lo yang nelepon duluan. Harusnya gue tanya nomor lo waktu itu.”

“Tadinya sih itu yang gue tunggu.” Ferdi bergumam pelan.

“Huh, kenapa?” tanya Vanta yang tidak mendengar jelas.

“Nggak pa-pa, gue bisa nanya ke Jessi juga kontak lo. Habis lunch gimana?”

Vanta menyetujui tawaran Ferdi kemudian mereka mengakhiri panggilan karena Ferdi masih harus mengikuti kelas. Ternyata Ferdi tipe orang yang menepati janji dan pengingat. Vanta kira tawaran Ferdi untuk meminjamkan kamera hanya basa-basi. Tapi cowok itu sampai mau repot-repot menelepon. Sudah ganteng, baik pula. Tidak seperti seseorang yang egois dan kekanakan, suka menyimpan dendam.

Huh!

Tidak boleh. Vanta tidak boleh merusak kesenangannya sendiri dengan mengingat cowok malapetaka itu. Sekarang pikirkan yang bagus-bagus saja. Hari tanpa Alvin di kampus, belajar kamera, dan ... Ferdi. Si kalem yang wajahnya enak dilihat.

“Hayoo ... ngapain lo mesem-mesem gitu?” Arya, teman sejurusan sekaligus tetangganya waktu kecil menepuk pundak Vanta dari belakang.

Vanta sedikit kaget. Tapi kemudian menjawab dengan senyum cerah di wajah. “Ada dehh ....”

“Abis nonton bokep ya?” tanya Arya asal.

”Heh! Sembarangan aja kalo ngomong!” Dipukulnya lengan Arya galak. Tetapi cowok itu malah cekikikan.

Vanta dan Arya cukup akrab waktu masih bertetangga. Setiap hari Sabtu mereka selalu bermain bersama anak-anak tetangga yang lain saat masih SD. Selama SMP mereka berdua masih berkomunikasi karena jarak sekolahnya dekat. Kadang-kadang Arya menawarkan tumpangan untuk Vanta. Setelah perceraian orang tuanya, Vanta pindah dan putus kontak dengan Arya. Dan dunia memang sesempit itu, Mereka bertemu di kampus yang sama, sejurusan pula. Waktu bertemu kembali, keduanya sama sekali tidak merasa canggung, Arya masih supel seperti dulu. Wajah Arya tidak banyak berubah sehingga mudah mengenali lelaki itu.

Teman-teman kelas Vanta hari ini berkumpul di Gallery DKV. Mengamati hasil karya yang terpampang di sana. Semua karya di Gallery merupakan karya terbaik yang dipilih berdasarkan keputusan para dosen. Baik itu lukisan, maket, foto, buku, dan karya lain mahasiswa Fakultas Desain. Setiap tahun ada beberapa karya yang diganti, ada juga yang tetap dipajang. Pasti bangga sekali jika karyanya bisa dipamerkan di Gallery, pikir Vanta.

Mata Vanta kemudian terarah pada satu lukisan yang tergantung di dinding. Ilustrasi seseorang atau mungkin malaikat yang memeluk setangkai mawar besar yang dibuat dengan cat minyak warna monokrom. Sosok kecil yang memeluk mawar hitam merekah, penuh duri, dengan beberapa helai kelopak yang gugur.

Meski hasil akhir warnanya monokrom, tapi Vanta yakin, perpaduan warna yang digunakan bukan hanya cat hitam dan putih saja. Orang itu mampu menyihir lukisan ini menjadi begitu indah dan penuh kisah. Gradasi warna pada kelopak mawar itu menciptakan kesan hidup. Setiap goresan kuasnya tampak nyata. Namun dalam lukisan ini terkandung sarat kesepian dan kesedihan yang dalam.

Vanta merasa tersentuh sekaligus kagum dengan lukisan di depannya. Si pembuat lukisan benar-benar berhasil menyampaikan perasaannya lewat lukisan ini. Orang itu pasti melukisnya dengan sepenuh hati, mencurahkan segenap perasaannya.

Hebat, seperti melihat karya seniman di pameran besar. Apa yang orang itu rasakan saat membuat lukisan ini? Saat melihatnya, entah bagaimana Vanta terharu. Ingin memeluk sosok yang ada dalam lukisan.

 

***

 

Jessi dan Ferdi sudah tiba di kantin lebih dulu. Vanta mengambil tempat di sebelah sahabatnya, meletakkan ransel dan drafting tube di bangku. Ferdi pamit untuk memesan makanan lebih dulu karena Vanta dan Jessi membawa bekal hari itu.

“Gue jadi ikutan bawa makanan,” Jessi terkekeh menunjukkan kotak makannya yang berisi sayuran segar hijau dan warna-warna lainnya.

Healthy food banget nih?” tanya Vanta mengeluarkan kotak makannya sendiri.

Sebagai jawaban, Jessi hanya tersenyum lebar. Gadis cantik itu langsung membahas hal lain. “Yang mulai PDKT, cerita dulu dong.”

“Cerita apa? Lo yang kasih nomor gue kan?” elak Vanta membuka kotak makannya.

“Iya, tapi Ferdi duluan kok yang minta. Waktu itu juga dia sempet nanya jadwal lo.”

“Oh , ya?”

Garpu Jessi sudah menusuk potongan telur rebus, siap dilahap. “Beneran. Kayaknya bisa ni, Ferdi jadi pahlawan lo.”

“Hemm ...,” gumam Vanta menopang dagu dengan sebelah tangan yang memegang sendok.

“Kok cuma ‘heemm’? Ini tuh peluang, tau.” Raut gemas Jessi malah memancing cengiran Vanta.

“Udah deh, lihat nanti. Biar mengalir aja. Lagian hari-hari gue mulai tenang nih, mungkin Alvin udah bosen.”

“Tetep aja, lo harus waspada. Justru ombak itu datangnya pas laut lagi tenang-tenangnya.”

“Udah ah, jangan bahas dia lagi. Tar malah muncul orangnya, males banget.”

Sesuai keinginan Vanta, Jessi berhenti membahas Alvin. Mereka mengajak Nathan bergabung saat melihat cowok itu di kantin. Jessi sengaja menyuruh Nathan duduk di sebelahnya supaya  Ferdi duduk di sebelahh Vanta. Matang sekali rencana Jessi. Gadis itu memperlancar segalanya. Apalagi saat ia berinisiatif menggunakan Nathan untuk menyingkir pergi. Cerdas memang teman Vanta yang satu ini. Kalau soal jadi makcomblang, Jessi paling cepat tanggap. Ada saja idenya buat jodohin teman.

“Kita jadi?” tanya Ferdi menunjuk tas kameranya.

“Jadi, dong. Di mana nih?”

Ferdi lalu mengajak Vanta ke taman di sebelah gedung jurusan mereka yang ditumbuhi pepohonan rindang. Panas terik matahari sukses terhalang oleh daun-daun lebat sehingga mereka tak terlalu kepanasan siang itu. Ferdi meletakkan tasnya di salah satu bangku taman dan Vanta mengikutinya.

Setelah mengeluarkan kamera dari dalam tas, Ferdi menjelaskan fungsi beberapa tombol yang ada di kamera, juga ikon-ikon yang terdapat pada layar kameranya. Lelaki itu juga memberi arahan untuk mengatur pengambilan gambar.

”Gue pakai lensa manual focus. Jadi lo harus putar lensanya untuk dapatin fokus. Nih, coba. Usahain fotonya nggak blur.”

“Eh, iya.” Vanta menerima kamera yang diulurkan Ferdi. Dilihatnya pemandangan dari viewfinder kamera. Sambil mencoba menjepret, Ferdi mengajaknya ngobrol.

“Rambut lo cantik. Apa setiap pagi butuh waktu lama buat styling? Kayak geblow, catok?”

Hanya sekilas Vanta menoleh. Setelah menekan tombol shutter, dia menyahut, “Nggak, kok. Mana sempat kayak gitu? Masuk pagi terus. Lagian kan pake helm, ngapain ribet-ribet.”

Ferdi terkekeh. Jenis tawa yang bikin meleleh. “Jadi, lo biasa dipanggil Tata?”

“Nggak, cuma Jessi doang yang manggil gitu. Panggilan sayang katanya.” ganti Vanta yang terkekeh.

Cowok itu mendekat, berdiri di sebelah Vanta. ”Oh, jadi panggilan lo apa dong?”

Masih fokus memegang kamera, Vanta merespons, “Ya panggil Vanta aja. Kalo di rumah sih, gue dipangil Ata.”

“Ata Halilintar?”

Vanta tertawa. “Ngelawak lo. Nggak lah, waktu kecil gue belum bisa nyebutin nama gue dengan jelas. Karena itu orang rumah jadi kebiasaan manggil gue Ata. Terus, gue juga yang bikin kakak gue dipanggil Oka.”

Ferdi tampak tertarik dengan obrolan itu. ”Lo punya kakak cewek atau cowok?”

“Punya, cowok.”

“Apa nama kakak lo seunik nama lo juga?”

Vanta menurunkan kamera, memandang Ferdi sambil menyeringai. “Emang nama gue seunik itu?” Dibalas anggukan oleh Ferdi.

“Lo belum kasih tau gue nama kakak lo. Gue jadi penasaran, nih.”

Melihat tampang penasaran Ferdi, Vanta jadi tertawa lagi. “Nama kakak gue, Vodka.”

 

***

 

”Eh, eh, liat tuh!” seru Andre menyenggol lengan Alvin. Mereka baru saja keluar dari Student Lounge.

Alvin dan yang lain serempak mengikuti arah pandang Andre, ke satu titik di taman kampus. Di antara orang-orang yang berlalu-lalang melintasi jalan berkonblok sepanjang taman, ada sepasang mahasiswa yang tengah berdiri di sana. Mengobrol asyik sambil mengalungkan kamera.

”Weits, ada yang mojok, Vin. Gangguin lah,” ujar Edo menyandarkan lengan di bahu Alvin. Membuat Alvin melirik temannya.

“Iya, udah berapa hari kita nggak lihat lo ngerjain Pepsi Blue, nih.” Andre memanas-manasi. Sementara Toto yang sifatnya netral-netral saja hanya ikut memerhatikan tanpa berkomentar.

Sekali lagi Alvin memandang ke arah taman. Mengamati gadis berkuncir ponytail yang tersenyum lebar pada lawan bicaranya. Cowok di sebelahnya juga tersenyum, tangannya terangkat untuk menyentuh kepala cewek itu. Tidak. Cowok itu hanya mengambil daun yang jatuh ke rambut Vanta. Tapi, kenapa Alvin merasa kesal dengan tindakannya? Apalagi melihat dua orang itu kemudian tertawa. Ada perasaan tidak terima karena Vanta tampak baik-baik saja. Seharusnya, cewek itu tetap bersembunyi darinya atau minimal berekspresi jutek seperti saat mereka berhadapan. Bukan tersenyum manis begitu.

“Siapa?” Alvin menunjuk lelaki di sebelah Vanta dengan dagunya.

Sebagai gudang informasi, Toto pun menjawab, “Anak Ikom kalo nggak salah, broadcasting.”

“Cowoknya?” Alvin masih memerhatikan Vanta sambil memainkan permen karetnya di dalam mulut.

“Setau gue sih, cowok itu nggak punya pacar.” Lagi-lagi Toto yang menjawab. Memang cowok ini selain ingatannya kuat, juga up-to-date mengenai berita tentang mahasiswa dan seputar kampus.

“Lagi PDKT berarti,” Andre berceletuk.

Pandangan Alvin belum beralih dari pasangan itu. “Kalian ... siap-siap buat pertunjukan selanjutnya.”

Komando darinya segera disambut sorakan girang dan tos oleh Andre dan Edo. “Kayaknya tahun terakhir kuliah kita bakal seru, nih,” kata  Edo antusias.

Andre pun menimpali, “Yoi, thanks to Alvin.

Tetapi Alvin hanya diam tanpa merespons. Ia tidak mengerti, mungkin sudah takdirnya untuk menjadi musuh besar Vanta. Saat cewek itu menjerit kesal kepadanya, dia senang, dia puas. Saat cewek itu terlihat bahagia mengobrol dengan orang lain, Alvin yang merasa kesal, merasa tidak adil. Tiba-tiba satu pertanyaan muncul dalam benaknya, bagaimana bila gadis itu tersenyum dan tertawa karena dia?

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka atau bahagia?
3201      1022     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
River Flows in You
698      401     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
KataKu Dalam Hati Season 1
3860      1124     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Let's See!!
1492      727     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
KILLOVE
3336      1098     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Lily
1184      554     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Play Me Your Love Song
3070      1251     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Manuskrip Tanda Tanya
3976      1347     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Demi Keadilan:Azveera's quest
692      384     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...