Kelas Teori Warna hari ini berakhir lebih cepat. Namun, Vanta
masih harus mengikuti kelas terakhir, Tipografi. Kampus sudah tidak terlalu
ramai saat hari menjelang sore. Sinar matahari tidak lagi begitu menyengat,
justru terasa hangat. Senyum Vanta mengembang menghirup aroma ketenangan. Hal
yang baru-baru ini sulit didapatkannya sejak bertemu Alvin.
Padahal waktu awal masuk, Vanta selalu betah berlama-lama di
kampus. Banyak kampus yang menawarkan beasiswa, tapi salah satu penyebab Vanta memilih
Universitas Pelita Bakti adalah karena dia sudah jatuh cinta dengan suasana
kampusnya saat kunjungan waktu SMA.
Vanta memilih duduk di kantin sambil membaca komik dari ponselnya.
Entah ke mana teman-teman sekelasnya, Vanta lebih suka menikmati quality time sendirian. Kalau ada
teman-temannya, dia pasti tidak bisa membaca dan malah diajak ngobrol. Saat
ini, Vanta cuma ingin waktu tenang sebelum kelas dan sebelum rutinitas
malamnya.
***
Alvin berjalan melintasi kantin usai nongkrong di smoking area dengan teman-temannya.
Langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis—yang lagi-lagi—mengenakan tank top berbalut kemeja longgar, duduk
di salah satu bangku. Cewek itu menampilkan raut serius menatap ponsel hingga
glabellanya berkerut.
Alvin yang semula ingin pulang mengurungkan niatnya. Menarik salah
satu bangku yang berada jauh dari cewek itu. Suasana kantin sore hari cukup
sepi. Hingga dari kejauhan pun tak ada yang menghalangi pandangan Alvin.
Dari tempat duduknya, Alvin masih bisa melihat setiap gerakan
kecil gadis itu seperti saat dia menggaruk pipinya atau berkedip. Sesekali
cewek itu tersenyum dan tertawa. Entah bagaimana Alvin jadi ikut
menertawakannya. Cewek itu pasti sedang membaca atau menonton, tebak Alvin.
Sebelah sisi wajahnya tersorot oleh serpihan cahaya matahari sore
yang menembus kaca jendela. Diperhatikan lekat-lekat wajah cewek itu, cewek
yang mengajaknya perang baru-baru ini. Bola matanya hitam mengilat. Rambut
panjangnya yang hitam legam sering dikuncir rapi ke belakang. Hidung mungilnya
menghiasi wajah yang oval. Hari ini Vanta memakai kemeja yang─untuk ukuran
cewek─kebesaran
seperti biasa.
Setiap Alvin bertemu dengannya, Vanta selalu tampil cuek dan
santai. Tidak seperti kebanyakan perempuan yang tampak menghabiskan waktu lama untuk
berdandan dan memilih pakaian. Cewek itu hanya mengoles tint ala kadarnya di bibir. Tapi dengan penampilan yang sederhana
begitu, mendadak dia terlihat ... imut?
Alvin geleng-geleng kepala menertawakan pemikirannya barusan.
Memang sejak kapan dia tahu apa itu imut? Tatapannya kembali tertuju pada Vanta.
Tidak lama kemudian cewek itu menegakkan badan, menoleh ke jendela, dan beralih
ke jam tangannya. Alvin yang menyadari tindakannya barusan segera membuang
fokus dari cewek itu. Tapi tergoda lagi untuk melirik. Pada saat itulah tatapan
mereka bertemu selama beberapa detik karena Vanta langsung buang muka
setelahnya.
Alvin tersentak, namun kemudian sudut-sudut bibirnya terangkat. Baru
kali ini ada orang yang bereaksi seperti itu saat ditatapnya. Dia jadi penasaran,
ekspresi apa saja yang bisa ditunjukkan seorang Vanta padanya?
***
Perasaan lega dirasakan Vanta selama seminggu. Ia curhat pada
Jessi tentang Alvin yang keberadaannya tiba-tiba raib di kampus. Sungguh
keajaiban yang perlu dirayakan. Hidup Vanta jadi kembali damai dan tentram
tanpa provokasi cowok itu.
“Wajar sih, dia kan udah semester tujuh. Jadi nggak sering ke
kampus,” komentar Jessi kemarin.
Vanta bersyukur mereka beda tiga tahun angkatan. Kalau Alvin masih
semester lima, cowok itu mungkin bisa tiap hari mengusiknya. Yang artinya, tiap
hari pula Vanta kena musibah.
Lamunan Vanta dibuyarkan oleh panggilan masuk di ponsel. Dari
nomor tidak dikenal. Sempat ragu sejenak, tapi akhirnya Vanta menjawab
panggilan itu.
“Hai Ta, ini gue Ferdi. Gue tau nomor lo dari Jessi. Sorry ya, nggak izin dulu minta
nomornya,” sahut suara rendah dan lembut di ujung sana.
Agak terperangah mengetahui siapa yang menelepon. Tapi dengan
cepat kesadaran Vanta kembali. “Santai kok, Fer. Ada apa nih?”
“Waktu itu kita pernah ngobrol soal kamera, inget? Kalau hari ini
ada waktu, mau coba?”
“Serius?? Mau banget!” jawab Vanta antusias. “Duh, sorry banget jadi repotin lo. Gue yang
butuh, tapi lo yang nelepon duluan. Harusnya gue tanya nomor lo waktu itu.”
“Tadinya sih itu yang gue tunggu.” Ferdi bergumam pelan.
“Huh, kenapa?” tanya Vanta yang tidak mendengar jelas.
“Nggak pa-pa, gue bisa nanya ke Jessi juga kontak lo. Habis lunch gimana?”
Vanta menyetujui tawaran Ferdi kemudian mereka mengakhiri
panggilan karena Ferdi masih harus mengikuti kelas. Ternyata Ferdi tipe orang
yang menepati janji dan pengingat. Vanta kira tawaran Ferdi untuk meminjamkan
kamera hanya basa-basi. Tapi cowok itu sampai mau repot-repot menelepon. Sudah
ganteng, baik pula. Tidak seperti seseorang yang egois dan kekanakan, suka
menyimpan dendam.
Huh!
Tidak boleh. Vanta tidak boleh merusak kesenangannya sendiri
dengan mengingat cowok malapetaka itu. Sekarang pikirkan yang bagus-bagus saja.
Hari tanpa Alvin di kampus, belajar kamera, dan ... Ferdi. Si kalem yang
wajahnya enak dilihat.
“Hayoo ... ngapain lo mesem-mesem gitu?” Arya, teman sejurusan
sekaligus tetangganya waktu kecil menepuk pundak Vanta dari belakang.
Vanta sedikit kaget. Tapi kemudian menjawab dengan senyum cerah di
wajah. “Ada dehh ....”
“Abis nonton bokep ya?” tanya Arya asal.
”Heh! Sembarangan aja kalo ngomong!” Dipukulnya lengan Arya galak.
Tetapi cowok itu malah cekikikan.
Vanta dan Arya cukup akrab waktu masih bertetangga. Setiap hari
Sabtu mereka selalu bermain bersama anak-anak tetangga yang lain saat masih SD.
Selama SMP mereka berdua masih berkomunikasi karena jarak sekolahnya dekat.
Kadang-kadang Arya menawarkan tumpangan untuk Vanta. Setelah perceraian orang
tuanya, Vanta pindah dan putus kontak dengan Arya. Dan dunia memang sesempit
itu, Mereka bertemu di kampus yang sama, sejurusan pula. Waktu bertemu kembali,
keduanya sama sekali tidak merasa canggung, Arya masih supel seperti dulu.
Wajah Arya tidak banyak berubah sehingga mudah mengenali lelaki itu.
Teman-teman kelas Vanta hari ini berkumpul di Gallery DKV.
Mengamati hasil karya yang terpampang di sana. Semua karya di Gallery merupakan
karya terbaik yang dipilih berdasarkan keputusan para dosen. Baik itu lukisan,
maket, foto, buku, dan karya lain mahasiswa Fakultas Desain. Setiap tahun ada
beberapa karya yang diganti, ada juga yang tetap dipajang. Pasti bangga sekali
jika karyanya bisa dipamerkan di Gallery, pikir Vanta.
Mata Vanta kemudian terarah pada satu lukisan yang tergantung di
dinding. Ilustrasi seseorang atau mungkin malaikat yang memeluk setangkai mawar
besar yang dibuat dengan cat minyak warna monokrom. Sosok kecil yang memeluk mawar
hitam merekah, penuh duri, dengan beberapa helai kelopak yang gugur.
Meski hasil akhir warnanya monokrom, tapi Vanta yakin, perpaduan
warna yang digunakan bukan hanya cat hitam dan putih saja. Orang itu mampu
menyihir lukisan ini menjadi begitu indah dan penuh kisah. Gradasi warna pada
kelopak mawar itu menciptakan kesan hidup. Setiap goresan kuasnya tampak nyata.
Namun dalam lukisan ini terkandung sarat kesepian dan kesedihan yang dalam.
Vanta merasa tersentuh sekaligus kagum dengan lukisan di depannya.
Si pembuat lukisan benar-benar berhasil menyampaikan perasaannya lewat lukisan
ini. Orang itu pasti melukisnya dengan sepenuh hati, mencurahkan segenap
perasaannya.
Hebat, seperti melihat karya seniman di pameran besar. Apa yang
orang itu rasakan saat membuat lukisan ini? Saat melihatnya, entah bagaimana
Vanta terharu. Ingin memeluk sosok yang ada dalam lukisan.
***
Jessi dan Ferdi sudah tiba di kantin lebih dulu. Vanta mengambil
tempat di sebelah sahabatnya, meletakkan ransel dan drafting tube di bangku. Ferdi pamit untuk memesan makanan lebih
dulu karena Vanta dan Jessi membawa bekal hari itu.
“Gue jadi ikutan bawa makanan,” Jessi terkekeh menunjukkan kotak
makannya yang berisi sayuran segar hijau dan warna-warna lainnya.
“Healthy food banget
nih?” tanya Vanta mengeluarkan kotak makannya sendiri.
Sebagai jawaban, Jessi hanya tersenyum lebar. Gadis cantik itu
langsung membahas hal lain. “Yang mulai PDKT, cerita dulu dong.”
“Cerita apa? Lo yang kasih nomor gue kan?” elak Vanta membuka
kotak makannya.
“Iya, tapi Ferdi duluan kok yang minta. Waktu itu juga dia sempet
nanya jadwal lo.”
“Oh , ya?”
Garpu Jessi sudah menusuk potongan telur rebus, siap dilahap.
“Beneran. Kayaknya bisa ni, Ferdi jadi pahlawan lo.”
“Hemm ...,” gumam Vanta menopang dagu dengan sebelah tangan yang
memegang sendok.
“Kok cuma ‘heemm’? Ini tuh peluang, tau.” Raut gemas Jessi malah memancing
cengiran Vanta.
“Udah deh, lihat nanti. Biar mengalir aja. Lagian hari-hari gue
mulai tenang nih, mungkin Alvin udah bosen.”
“Tetep aja, lo harus waspada. Justru ombak itu datangnya pas laut
lagi tenang-tenangnya.”
“Udah ah, jangan bahas dia lagi. Tar malah muncul orangnya, males
banget.”
Sesuai keinginan Vanta, Jessi berhenti membahas Alvin. Mereka
mengajak Nathan bergabung saat melihat cowok itu di kantin. Jessi sengaja
menyuruh Nathan duduk di sebelahnya supaya
Ferdi duduk di sebelahh Vanta. Matang sekali rencana Jessi. Gadis itu memperlancar
segalanya. Apalagi saat ia berinisiatif menggunakan Nathan untuk menyingkir
pergi. Cerdas memang teman Vanta yang satu ini. Kalau soal jadi makcomblang,
Jessi paling cepat tanggap. Ada saja idenya buat jodohin teman.
“Kita jadi?” tanya Ferdi menunjuk tas kameranya.
“Jadi, dong. Di mana nih?”
Ferdi lalu mengajak Vanta ke taman di sebelah gedung jurusan
mereka yang ditumbuhi pepohonan rindang. Panas terik matahari sukses terhalang
oleh daun-daun lebat sehingga mereka tak terlalu kepanasan siang itu. Ferdi
meletakkan tasnya di salah satu bangku taman dan Vanta mengikutinya.
Setelah mengeluarkan kamera dari dalam tas, Ferdi menjelaskan
fungsi beberapa tombol yang ada di kamera, juga ikon-ikon yang terdapat pada
layar kameranya. Lelaki itu juga memberi arahan untuk mengatur pengambilan
gambar.
”Gue pakai lensa manual focus. Jadi lo harus putar lensanya untuk
dapatin fokus. Nih, coba. Usahain fotonya nggak blur.”
“Eh, iya.” Vanta menerima kamera yang diulurkan Ferdi. Dilihatnya
pemandangan dari viewfinder kamera.
Sambil mencoba menjepret, Ferdi mengajaknya ngobrol.
“Rambut lo cantik. Apa setiap pagi butuh waktu lama buat styling?
Kayak geblow, catok?”
Hanya sekilas Vanta menoleh. Setelah menekan tombol shutter, dia menyahut, “Nggak, kok. Mana
sempat kayak gitu? Masuk pagi terus. Lagian kan pake helm, ngapain
ribet-ribet.”
Ferdi terkekeh. Jenis tawa yang bikin meleleh. “Jadi, lo biasa
dipanggil Tata?”
“Nggak, cuma Jessi doang yang manggil gitu. Panggilan sayang
katanya.” ganti Vanta yang terkekeh.
Cowok itu mendekat, berdiri di sebelah Vanta. ”Oh, jadi panggilan
lo apa dong?”
Masih fokus memegang kamera, Vanta merespons, “Ya panggil Vanta
aja. Kalo di rumah sih, gue dipangil Ata.”
“Ata Halilintar?”
Vanta tertawa. “Ngelawak lo. Nggak lah, waktu kecil gue belum bisa
nyebutin nama gue dengan jelas. Karena itu orang rumah jadi kebiasaan manggil
gue Ata. Terus, gue juga yang bikin kakak gue dipanggil Oka.”
Ferdi tampak tertarik dengan obrolan itu. ”Lo punya kakak cewek
atau cowok?”
“Punya, cowok.”
“Apa nama kakak lo seunik nama lo juga?”
Vanta menurunkan kamera, memandang Ferdi sambil menyeringai.
“Emang nama gue seunik itu?” Dibalas anggukan oleh Ferdi.
“Lo belum kasih tau gue nama kakak lo. Gue jadi penasaran, nih.”
Melihat tampang penasaran Ferdi, Vanta jadi tertawa lagi. “Nama
kakak gue, Vodka.”
***
”Eh, eh, liat tuh!” seru Andre menyenggol lengan Alvin. Mereka
baru saja keluar dari Student Lounge.
Alvin dan yang lain serempak mengikuti arah pandang Andre, ke satu
titik di taman kampus. Di antara orang-orang yang berlalu-lalang melintasi
jalan berkonblok sepanjang taman, ada sepasang mahasiswa yang tengah berdiri di
sana. Mengobrol asyik sambil mengalungkan kamera.
”Weits, ada yang mojok, Vin. Gangguin lah,” ujar Edo menyandarkan
lengan di bahu Alvin. Membuat Alvin melirik temannya.
“Iya, udah berapa hari kita nggak lihat lo ngerjain Pepsi Blue, nih.” Andre memanas-manasi.
Sementara Toto yang sifatnya netral-netral saja hanya ikut memerhatikan tanpa
berkomentar.
Sekali lagi Alvin memandang ke arah taman. Mengamati gadis
berkuncir ponytail yang tersenyum
lebar pada lawan bicaranya. Cowok di sebelahnya juga tersenyum, tangannya
terangkat untuk menyentuh kepala cewek itu. Tidak. Cowok itu hanya mengambil
daun yang jatuh ke rambut Vanta. Tapi, kenapa Alvin merasa kesal dengan
tindakannya? Apalagi melihat dua orang itu kemudian tertawa. Ada perasaan tidak
terima karena Vanta tampak baik-baik saja. Seharusnya, cewek itu tetap
bersembunyi darinya atau minimal berekspresi jutek seperti saat mereka
berhadapan. Bukan tersenyum manis begitu.
“Siapa?” Alvin menunjuk lelaki di sebelah Vanta dengan dagunya.
Sebagai gudang informasi, Toto pun menjawab, “Anak Ikom kalo nggak
salah, broadcasting.”
“Cowoknya?” Alvin masih memerhatikan Vanta sambil memainkan permen
karetnya di dalam mulut.
“Setau gue sih, cowok itu nggak punya pacar.” Lagi-lagi Toto yang
menjawab. Memang cowok ini selain ingatannya kuat, juga up-to-date mengenai berita tentang mahasiswa dan seputar kampus.
“Lagi PDKT berarti,” Andre berceletuk.
Pandangan Alvin belum beralih dari pasangan itu. “Kalian ...
siap-siap buat pertunjukan selanjutnya.”
Komando darinya segera disambut sorakan girang dan tos oleh Andre
dan Edo. “Kayaknya tahun terakhir kuliah kita bakal seru, nih,” kata Edo antusias.
Andre pun menimpali, “Yoi, thanks
to Alvin.”
Tetapi Alvin hanya diam tanpa merespons. Ia tidak mengerti, mungkin
sudah takdirnya untuk menjadi musuh besar Vanta. Saat cewek itu menjerit kesal
kepadanya, dia senang, dia puas. Saat cewek itu terlihat bahagia mengobrol
dengan orang lain, Alvin yang merasa kesal, merasa tidak adil. Tiba-tiba satu
pertanyaan muncul dalam benaknya, bagaimana bila gadis itu tersenyum dan
tertawa karena dia?