Vanta bergegas memasuki kampus. Hari ini ia bangun kesiangan setelah mengerjakan tugas Tipografi. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh lima menit. Lima menit lagi sebelum kelas Bahasa Inggris dimulai. Dosen paling rewel soal keterlambatan dan absen dibanding dosen mata kuliah lain.
Pernah salah seorang teman sekelas Vanta, Anto, terlambat masuk kelas karena ada kecelakaan lalu lintas. Beritanya benar ada, bukan hanya alasan yang dibuat-buat. Tetapi Mam Sinta, dosen mata kuliah Bahasa Inggris, tetap menceramahi Anto sepenuh hati di depan kelas.
“Kecelakaan lalu lintas tidak bisa jadi alasan untuk masuk kelas saya terlambat. Hal-hal seperti itu bisa diantisipasi dengan berangkat lebih awal.”
Bayangkan saja, ceramahnya berlangsung selama 2 SKS penuh. Anto juga diminta keluar dari kelas. Mam Sinta sangat tegas, atau bisa dibilang terlalu kaku dalam membuat peraturan di kelasnya. Mahasiswa yang terlambat tidak diperbolehkan masuk kelas dan dianggap tidak hadir. Jangan harap bisa titip kartu absen di mata kuliahnya. Setiap pagi Mam Sinta langsung membuka laptop dan mengabsen mahasiswa di kelas.
Mahasiswa rajin yang peduli nilai dan tata tertib seperti Vanta berusaha tidak menyia-nyiakan absensinya. Gadis itu mengerahkan upaya untuk mengejar kelas pertama. Sambil berlari, Vanta membuka tas, memasukkan masker yang masih ada di genggamannya. Saking terburu-buru, Vanta sampai tidak fokus pada jalan di depannya dan menabrak seseorang.
Hampir saja Vanta terjatuh kalau orang yang ditabrak tidak menarik lengannya dan meraih pinggangnya. Yang bernasib sial adalah ransel Vanta. Mendarat di lantai beserta isinya yang tercecer keluar.
Vanta melongo sesaat, masih belum dapat mencerna kejadian yang hanya sekelebat mata itu. Ia menaikkan pandangan, mendapati Alvin sedang menatapnya datar. Pemandangan ini tentu saja mengundang perhatian beberapa mahasiswa yang lewat di koridor serta teman-teman Alvin yang saat itu berjalan dengannya. Ada juga seorang cewek yang berjalan dengan kumpulan Alvin, cewek itu melemparkan pandangan sinis kepada Vanta.
Harum musk samar-samar tertangkap indra penciuman Vanta. Setelah mengerjap sekilas, ia bergegas memalingkan muka dan melepaskan diri dari pegangan cowok itu. Jaraknya yang sangat dekat dari Alvin tak kentara memunculkan rona di kedua pipinya.
Kenapa Vanta terus-menerus bertemu cowok ini? Padahal dialah orang yang paling tidak ingin dijumpai Vanta sekarang.
Vanta kemudian teringat akan ranselnya yang terjatuh. Segera memasukkan barang-barang yang berserakkan di lantai ke dalam tas. Alvin masih berdiri di sana, di hadapan Vanta, memerhatikannya tanpa membantu sama sekali.
Ketika Vanta hendak memungut benda yang berada di dekat Alvin, gerakannya terhenti. Matanya membelalak kaget. Menelan ludah dengan susah payah. Semburat merah di wajahnya pasti semakin terlihat jelas. Alvin dan teman-temannya ikut melihat ke arah ‘benda pusaka’ itu. Sedetik kemudian tawa Alvin dan teman-temannya meledak. Vanta malu bukan main. Benda ‘khusus cewek’ itu ternyata ikut terpental keluar!
Vanta bege! Malang banget sih nasib gue! Batinnya dalam hati.
Secepat kilat Vanta menyambar pembalut yang tergeletak di dekat Alvin. Ia melirik Alvin dan teman-temannya dengan tatapan antara malu dan jengkel. Vanta tidak habis pikir. Bahkan sebagai sesama jenis, cewek yang bersama Alvin ikut tertawa!
Sumpah, Vanta malu banget! Karena bukan Alvin *cs saja yang menyaksikannya, tapi mahasiswa yang berlalu-lalang di sana juga melihatnya. Setelah memastikan tidak ada lagi benda miliknya yang berserakkan, ia melirik jam tangannya, kemudian berlari meninggalkan Alvin cs.
(*cs = cum suis, artinya teman-teman, rekan-rekan, kolega)
***
Alvin dan kawan-kawannya masih tertawa. Cia, cewek yang tadi sedang membujuk Alvin untuk membantu tugas Cinematography juga ikut tertawa.
”Pagi-pagi si Pepsi Blue udah ngelawak aja,” sahut Andre di sela-sela tawanya.
Kenapa Pepsi Blue? Julukan itu diberikan oleh Alvin karena suatu hari dia pernah melihat Vanta berpakaian serba biru, tas biru, dan motornya juga biru. Katanya bikin keinget sama Pepsi Blue, minuman yang dulu sempat beredar di Indonesia. Padahal namanya Vanta, pink banget, tapi sukanya biru. Jadi Alvin, dengan murah hati memberikan nama baru untuk cewek itu.
”Tu cewek bego banget, ih,” celetuk Cia yang juga masih tertawa. Cia tahu kalau Vanta adalah cewek yang baru-baru ini sering dikerjai oleh Alvin.
Tawa Alvin terhenti, membuat semuanya ikut berhenti tertawa. Lelaki itu menoleh ke arah Cia. ”Lo ngapain masih di sini? Gue udah bilang kan, nggak minat bantuin lo.”
”Sekali aja dong Vin, pengecualian buat gue. Please ...,” mohon gadis cantik di angkatannya itu.
“Kasiiih, Vin. Lo tuh ya, tega banget sama cewek, ckck ...” Edo menimpali sambil cengengesan.
“Ya udah, lo aja yang bantuin, Do.”
“Hah, masa gue? Tugas gue aja dibantuin lo, Vin.”
Andre dan Rio kompak menertawakan Edo. Sementara Toto mendengkus geli sambil geleng-geleng kepala.
“Itung-itung menerapkan ilmu yang udah gue ajarin,” kata Alvin lagi. Dia lalu menoleh pada Cia. “Udah clear ya, urusan lo sama Edo sekarang. Jangan ganggu gue lagi. Sana pergi.”
Meski tak puas dengan keputusan Alvin, Cia terpaksa hengkang. Tak mau dibentak Alvin di tengah kampus sepagi ini.
Alvin bisa bernapas lega setelah kepergian perempuan yang wangi parfumnya semerbak itu. Entah berapa liter yang disemprotkannya, yang pasti setelah Cia berada 100 meter jauhnya dari mereka pun masih jelas tercium aroma manis yang menyengat. Wangi parfum mahal, tapi karena terlalu berlebihan bikin Alvin menahan muntah sejak tadi.
Sesuatu yang berkilauan di bawah pilar tiba-tiba menarik perhatian Alvin. Ia membungkuk untuk memungut benda itu dan memerhatikannya sekilas. Sebuah kalung dengan liontin cincin.
“Kenapa, Vin?” tanya Andre ketika sadar Alvin tertinggal di belakangnya.
Alvin menggenggam benda itu sebelum menyelipkannya ke saku jins. “Nothing.”
***
“Gue malu banget tadi. Gilaa!”
“Terus mereka gimana?” Jessi menggigit burgernya setelah bertanya.
Barusan Vanta menceritakan tragedi benda pusakanya yang disaksikan ratusan mahasiswa serta Alvin. Betapa dia kehilangan muka di depan warga kampus. Tidak ada satu pun yang dikenal Vanta selain gerombolan Alvin. Tapi Vanta jadi defensif setiap kali berpapasan dengan mahasiswa yang tanpa sengaja menatapnya, atau melihat sekumpulan mahasiswa yang mengobrol di sisi kanan dan kirinya. Curiga kalau-kalau mereka sedang membicarakan kebodohan Vanta tadi pagi.
“Mereka ngetawain gue! Jahat kan?” Vanta menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hari ini terpaksa mereka nongkrong lagi di dekat tangga lantai tiga. “Terus ada satu cewek yang lagi jalan bareng Alvin. Bukannya bantuin, malah ikut ketawa. Sumpah, nggak berprikewanitaan banget!”
“Siapa?” tanya Jessi penasaran. Karena dia tidak pernah lihat Alvin jalan bareng cewek selama kuliah di sana. Jika ada seseorang perempuan di sebelah Alvin, orang-orang seperti Jessi pasti langsung penasaran.
Tetapi Vanta mengangkat bahu sambil manyun. “Mana gue tau. Tuh cewek nempel-nempel gitu ke Alvin.”
Jessi cekikikkan, “Kayak orang jealous lo.”
“Ish ... mit-amit!” tukas Vanta. Menyapu-nyapu bahunya dengan sebelah telapak tangan, berlagak geli.
“Kata orang, benci sama cinta itu beda tipis loh, Ta.” Jessi makin semangat menggoda Vanta. Tampang sebal Vanta bikin Jessi nggak bisa berhenti ketawa.
“Astaga, apaan sih lo?! Liat nih,” Vanta menyingsing lengan kemejanya yang tergulung dan menunjukkannya pada Jessi. “Langsung merinding gue dengernya.”
“Kalo beneran kan romantis.”
“Kebanyakan nonton sinetron, ih!” rutuk Vanta cemberut.
Tawa Jessi mereda, dia lalu bertanya, “Tapi Alvin sama sekali nggak bantuin lo?”
Vanta tidak langsung menjawab. Terbayang kejadian tadi pagi saat Alvin menangkapnya yang hampir jatuh. Baru kali itu Vanta merasa tampang Alvin tidak menyebalkan. Tapi ketika teringat saat Alvin menertawakannya, emosi Vanta nyala kembali. Permusuhan di antara mereka belum berakhir.
“Nggak,” sahut Vanta akhirnya.
“Ohh .... Padahal dulu gue pernah lihat ada cewek yang abis photocopy materi belajar, eh dia jatohin kertas-kertasnya. Terus Alvin bantu pungutin lho pas lewat. Meski dengan tampang datar dan nyuekin si cewek yang berterima kasih, tapi dia keren banget!”
Vanta menoleh pada Jessi. Menatap sahabatnya selama kurang dari tiga detik. Dia lalu bergumam, “Lo ... udah kena virus Alvin.”
Jessi pun terbahak lagi tanpa membantah kata-kata Vanta.
***
Alvin cs siang itu sedang berada di kantin ketika Vanta memasuki area kantin. Mereka saling berkasak-kusuk saat melihat Vanta. Tidak mau terlibat dalam masalah, Vanta buang muka, pura-pura tidak mengetahui keberadaan mereka. Berharap cowok-cowok itu mengabaikannya saja dan membiarkannya lewat.
Namun tiba-tiba Alvin beranjak dari bangkunya. Berjalan santai ke depan Vanta sambil merapikan kerah kemejanya.
“Hai Pepsiii ...,” sapa Alvin tersenyum manis. Senyum yang bagi para cewek kelihatan tampan, tapi bagi Vanta justru tampak mencurigakan.
‘Alvin lagi, Alvin lagi! Kenapa sih iprit satu ini gentayangan dimana-mana?!’
Vanta sama sekali tidak berniat mengacuhkannya. Ia merasa dongkol setiap kali melihat cowok nyebelin itu. Pasti ada saja ulah yang dibuatnya. Memasang raut super jutek, Vanta merubah arah. Berbelok ke meja kosong dekat kios ayam goreng. Tetapi Alvin mengekorinya. Menyandarkan telapak tangannya di meja yang ingin Vanta tempati.
Gaya cowok itu tengil seperti biasa. Dari seberang, teman-teman Alvin memerhatikan mereka. Entah apa yang direncanakan Alvin kali ini. Vanta harus tetap sigap.
”Pepsi, gue mau nanya dong,” tanya Alvin dengan suara nyaring yang, yakin deh, seisi kantin bisa mendengarnya dengan volume sekeras itu.
Vanta mengernyit jengkel. Curiga dengan kemunculan cowok itu. Ditambah lagi nickname aneh yang diberikan Alvin, kenapa pula ia dipanggil Pepsi? Vanta hendak meninggalkan kantin, berniat menghindar sejauh-jauhnya. Tapi makhluk menyebalkan kurang kerjaan itu masih mengadangnya.
”Woww, matanya galak banget! Ehem ... maksud gue Vanta,” deham Alvin menyeringai. Cowok itu tahu Vanta kesal. Semua orang yang punya mata juga pasti bisa melihat ekspresi mengeras Vanta. Tapi bukan Alvin namanya kalau dia bisa membiarkan Vanta hidup tenang barang semenit. Karena Alvin lalu mengajukan pertanyaan di luar nalar. “Lo punya kunci pas nggak?”
Apa sih ini orang? Tiba-tiba nanya kunci pas? keluh Vanta dalam hati.
”Minggir!” ketus Vanta mencoba melewati Alvin.
Cowok itu menggeser tubuh ke kanan, menghalangi Vanta. “Orang nanya lho, masa nggak dijawab. Jawab dulu, dong.”
Vanta mengamatinya selama beberapa saat. Mau tak mau mengikuti permainan lelaki itu. Terserah, asalkan Alvin mau menyingkir dari hadapannya. “Nggak ada.”
”Kalo tang?”
Nah loh! Udah dijawab, sekarang dia nanyain tang. Jangan-jangan ni anak perlu di giring ke RSJ.
Meski merutuk dalam hati, tapi Vanta menyahut juga. ”Nggak. Ngapain nanya gituan ke gue? Mau minta benerin otak lo yang korslet?!” Kali ini volume suara Vanta meninggi, membuat penghuni kantin kembali menyimak perdebatannya dan Alvin.
Pertanyaan Vanta tidak digubris, Alvin memasukkan sebelah tangannya ke saku celana. Dia masih terus bersikap tak masuk akal. “Obeng gimana?”
Darah naik sedikit demi sedikit ke ubun-ubun Vanta. “Heh Odong-odong, lo kira gue tukang perkakas?!”
Alvin menahan tawa. Di ujung sana teman-temannya sudah lebih dulu meloloskan tawa. Dengan seringai yang semakin melebar, cowok itu meluncurkan pertanyaan terakhir. ”Hmm ... kalo 'roti jepang', pasti punya dong?”
Stuck.
Rupanya pertanyaan Alvin sejak tadi adalah pertanyaan jebakan yang berujung fatal. Cowok itu melancarkan ejekan, dan yang paling bodoh, Vanta meladeninya. Vanta kontan mendelik pada Alvin. Dari panas yang mengalir ke pipi, Vanta yakin saat ini wajahnya merah padam. Alvin baru saja melecehkannya di depan umum!
Rasa malu, marah, terhina, campur aduk tidak keruan di dada. Ingin sekali Vanta mencekik cowok itu, tapi mustahil. Letupan amarahnya harus ditekan dalam-dalam agar tidak meletus di tempat. Vanta tidak yakin dia bisa menguasai diri jika melepas kesabarannya sekarang. Bisa-bisa cowok itu habis kena amukannya!
“Bangke si Alvin!”
“Anjing, lo Vin!”
Sorakan teman-teman Alvin meluncur bersamaan tawa keras mereka. Cowok-cowok itu sampai memukul-mukul meja saking tidak tahannya untuk tergelak.
Sementara reaksi penghuni kantin beragam-ragam. Ada yang ikut tertawa, tapi tak seheboh geng Alvin. Ada yang berusaha menahan tawa, ada yang hanya menonton tanpa beban, ada yang menatap prihatin, ada juga yang wajahnya ikut bersemu mendengar kata ‘roti jepang’.
Vanta geram, tapi tapi tak berkutik. Dia merasa dikuliti, dibodoh-bodohi, direndahkan. Kemarahan bisa saja membuat Vanta lepas kendali, tapi Vanta harus tetap waras demi beasiswanya. Anggap saja Alvin adalah anjing yang sedang menggonggong. Menggigiti perabotan rumahnya.
Masalahnya, Alvin tak selucu itu. Vanta membuang napas kasar demi menelan amarahnya. Menatap Alvin lekat-lekat dengan sorot mata tajam dan dingin. Dijamin bikin siapapun yang melihatnya beku di tempat.
Tapi tidak untuk Alvin. Cowok itu balas menantangnya dengan mata. Seringai menyebalkan belum pergi dari bibir cowok itu.
Segala sumpah serapah Vanta tertahan di kerongkongan. Ingin sekali ia meledakkan diri hingga semua umpatannya di dalam hati menyembur keluar. Namun percuma! Tidak akan ada efek untuk lelaki kepala batu ini. Sia-sia, cuma bikin capek! Segala caci makinya malah akan disambut dengan senyum puas oleh cowok itu. Lebih baik Vanta terus mengabaikannya.
Niatnya semula ingin makan di kantin batal. Vanta yang saat ini sendirian benar-benar merasa terpojok. Mungkin Vanta harus mempertimbangkan perkataan Jessi tempo hari. Ia harus segera punya pacar.