Bagian Terakhir
✧
Afuya terbangun. Ia memandang sekeliling. Hal pertama yang diterka oleh netranya adalah ruang tamu dari rumah minimalis. Masih celingak-celinguk sebentar, tiba saja seorang wanita lewat di depannya. Wanita itu memakai gamis bewarna hitam seperti sedang berduka. Barang-barang yang tidak begitu asing bagi Afuya membuat gadis itu tersadar, bahwasanya sekarang dirinya sedang berada di rumah masa kecilnya di Surabaya.
"Bunda?" Tanpa ada jawaban, Afuya berlanjut menanyakan sesuatu. "Kenapa memakai pakaian seperti sedang berduka?"
"Kau sudah lupa? Pagi tadi, ayahmu meninggal. Padahal Kau menangis." jawab Meira sembari memasukkan beberapa pakaian ke mesin cuci.
Afuya melotot. "Benarkah? Lalu kenapa kita di sini? Bukannya rumah ini sudah dijual dan kita pindah ke rumah kakek di Sidoarjo?"
"Sejak kapan kita pindah ke sana? Rumah kakekmu dan juga pemiliknya sudah tiada."
"Bunda tidak berbohong, kan?" Afuya berdiri dan meraih sebuah tas selempang kecil di sofa dekat dengan posisinya berbaring tadi.
Setelah mendengar jawaban tidak, Afuya langsung berlari dan hempas dari rumah. Meira sempat bertanya tetapi Afuya tidak menjawabnya. Singkat cerita, Afuya telah duduk di kursi kereta. Ia begitu penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Sepanjang perjalanan, di dalam kereta Afuya memikirkan semua kejadian bersama Winter itu seperti sebuah mimpi.
Turun dari kereta Afuya bergegas lari ke rumah Eryn. Sesampainya di sana, kebetulan pemilik rumah sedang berada di halaman. Langsung saja Afuya menanyakan Winter pada Eryn. Anehnya, Eryn tidak mengenali siapa itu Afuya. Ketika beberapa menit menjelaskan barulah Winter keluar dari rumah tersebut. Pemuda itu paham kedatangan gadis tersebut dan langsung meraih sepeda milik Eryn. Mereka berdua berboncengan. Winter mempercepat gayuhan sepeda hingga mereka sampai tepat di titik yang dijanjikan Fuad.
Terlihat Fuad telah berdiri menghadap sebuah desa yang kini sudah ditumbuhi oleh rerumputan dan lumut lebat, serta akar pohon yang semakin ganas. Afuya turun dari sepeda langsung terdiam melongo dengan apa yang tertangkap oleh matanya. Gadis itu terus berjalan mendekati gapura. Fuad terasa dan segera berbalik badan menyaksikan tamu mereka.
"Inilah yang sesungguhnya. Ingat, kejadian ini tepat pada tanggal dua puluh sembilan mei dua ribu enam," ucap Fuad.
Winter mensejajari Afuya yang masih berdiri membeku tak percaya dengan apa yang telah disaksikannya. Winter dengan peka langsung mengusap lembut punggung Afuya guna tetap memberi semangat agar gadis itu terus kuat menghadapi kenyataan.
Sepeda butut itu, rumah itu, dan toko kelontong itu, semua terasa nyata.
Halaman 377 telah usai.