Bagian Ketiga
✧
Tepat pukul tiga sore, bel pulang terdengar di setiap penjuru sekolah. Afuya bergegas memasukkan semua buku dan alat tulisnya. Kemudian menjadi anak pertama yang keluar dari kelas 7-B setelah sang guru telah meninggalkan kelas. Gadis itu langsung menuju ruang bimbingan konseling untuk mengambil ponselnya yang ia titipkan selama jam sekolah berlangsung. Sebenarnya tidak diperbolehkan, tetapi karena Afuya rumahnya jauh dan harus pulang pergi naik kereta, akhirnya ia diizinkan untuk membawa ponsel.
Ramai siswa-siswi berhamburan di koridor depan kelas, lapangan, parkiran sepeda, bahkan di setiap tangga. Mereka berbondong-bondong rebutan untuk pulang. Namun, ada juga beberapa anak yang tinggal di sekolah sementara waktu untuk menjalankan ekstrakurikuler maupun organisasi. Afuya sengaja tidak mengikuti satupun kegiatan tersebut. Meski tak terlalu berpengaruh terhadap mata pelajaran di kelas, mengikuti ekstrakulikuler atau organisasi menjadi poin tambahan.
Masih ada sekitar dua belas menit menuju pukul tiga lebih lima belas menit jadwal pemberangkatan kereta. Seusai mendapatkan kembali ponselnya, Afuya segera berlari menuju gerbang guna mengejar waktu. Namun, langkahnya terhenti sejenak saat pandangan matanya tertuju pada sosok lelaki yang berdiri sembari memasukkan tangannya ke dalam saku celana di bawah tangga. Benar, itu adalah Winter. Afuya masih merasa sedikit asing, meskipun tahu bahwa Winter juga berangkat dengan kereta yang sama. Akan tetapi gadis itu tidak memperdulikan. Ia bergegas melanjutkan agenda berlarinya.
Sampailah Afuya di tempat penungguan kerata. Setelah menunjukkan tiket, gadis tersebut memilih duduk sejenak sembari mengambil napas. Berlari memang mempersingkat waktu, tetapi juga membuatnya makin ngos-ngosan. Masih ada lima menit untuk menarik napas panjang dan istirahat sejenak, Afuya mengeluarkan ponselnya dari saku rok wiru sepanjang mata kaki. Menunggu hingga ponsel itu benar-benar menyala, Afuya menyeka keringat di dahinya.
Sebuah notifikasi muncul menjadikan mood-nya berantakan. "Ih... kenapa harus habis sekarang, sih! Aku 'kan, baru beli kuota internet dua minggu yang lalu. Mana nggak ada uang tabungan." Afuya bicara sendiri dengan kesal.
"Mau minum?" Tiba-tiba saja suara lelaki itu datang lagi menghampirinya.
"Ayam!" Afuya terkejut bukan main seketika menoleh ke kanan dilihatnya Winter telah tersenyum tipis sambil menyodorkan sebotol air mineral.
"Hehe...."
"Aish... bisa nggak, sih, jangan ngagetin mulu!" Afuya kesal tak terima jika kedatangan Winter yang seperti hantu.
"Aku tadi menunggumu tau, malah ditinggalin. Kita 'kan, sama-sama naik kereta."
Tanpa menanggapi, Afuya berdiri lalu bergegas lari ke pintu gerbong tiga meninggalkan Winter yang masih duduk. Pintu gerbong terbuka, gadis itu menjadi orang permata yang masuk selepas beberapa orang turun dari kereta. Celingak-celinguk kanan-kiri mencari tempat dudu yang kosong karena rebutan, akhirnya Afuya memutuskan belok kanan. Karena ada satu tempat duduk kosong sebelah seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun. Afuya menghela napas sejenak sembari merenggangkan kakinya selepas berlari.
"Mau ke mana, Nak?" Wanita tepat di sebelah Afuya memulai obrolan.
Afuya membenarkan posisi duduknya lalu membalas pertanyaan wanita itu. "Ke Sidoarjo, Bu. Kalau Ibu?"
"Mojokerto. Kok, jauh, sekolah di Surabaya?"
"Iya, Bu, keinginan aja," jawab Afuya singkat.
Mereka diam sejenak sebelum wanita paruh baya tadi kembali bertanya. "Lho, itu pacarnya, kenapa ditinggal? Lagi kemusuhan?"
Pandangan Afuya langsung tertuju pada Winter yang lagi toleh kanan-kiri mencari tempat duduk. "Bu-bukan, Bu." Afuya menolak sambil memperagakan tanda silang dengan kedua tangannya.
"Seragamnya aja sama. Nggak pernah Ibu lihat seragam SMP naik kereta di jam segini. Itu pacarnya nganterin Kamu pulang atau memang Kalian sama-sama dari Sidoarjo."
"Tidak, Bu. Saya tidak mengenalnya." Afuya mencoba mengakhiri perbincangan, tetapi Winter malah menyadari dan berjalan ke arahnya.
Jangan ke sini! Jangan ke sini, woi!
Winter berdiri tepat di sela kursi samping Afuya. Kereta mulai berjalan. Sembari berpegangan pada pegangan di atas, pemuda itu malah menggagalkan rencana Afuya yang mengatakan tidak menganalnya. "Aafuuyaa...!" meski dengan nada berbisik, wanita empat puluh lima tahunan itu mendengar dan otomatis Afuya juga mendengarnya.
"Benar pacaran, ya, Kalian?" Wanita itu terus saja membahas soal yang membuat Afuya semakin bosan dan tak mau melanjutkan obrolan.
"Bukan, Bu," ucap Afuya mengakhiri perbincangan hingga mereka diam sampai di salah satu stasiun Sidoarjo tempat Afuya dan Winter turun.
✧
Tepat pukul tiga lebih empat puluh menit, ketera telah sampai di tujuan salah satu stasiun Sidoarjo. Afuya diikuti Winter di belakangnya turun melalui gerbong empat. Gadis itu langsung menuju parkiran sepeda. Setelah melepas pengait kunci, saat hendak menaiki sepedanya, Afuya dibuat lebih jengkel lagi. Pasalnya, entah mengapa baru dituntun beberapa langkah, rantai sepeda tersebut copot. Mau tak mau ia harus berjalan sembari menuntun sepeda itu sampai di rumah. Sebab memasuki area desa tidak didapati bengkel.
Saat mengayuh saja menghabiskan waktu dua puluh menit, jika berjalan pasti akan memakan waktu lebih lama lagi. Berkali-kali Afuya berdecih. Ia ingin melontarkan banyak kata-kata kasar. Namun, untung saja gadis itu masih tergolong anak yang baik. Memasuki gapura pembatas antara jalan raya dan memasuki area pedesaan. Suasana sore matahari masih belum meredup. Lumayan menyengat membuat Afuya kerap menyipitkan matanya.
Winter berjalan cepat sesekali berlari untuk mengejar gadis yang menuntun sepeda di depannya. Tidak lama, Winter yang tinggi membuat langkahnya menjadi lebar dan panjang. Sehingga dengan cepat ia dapat menyusul Afuya. Sedangkan gadis itu hanya berjalan lumayan pelan sembari menikmati banyaknya ladang yang telah diisi padi masih menghijau segar. Meskipun masih lumayan hangat hawanya, Afuya menikmati dengan baik pemandangan desa yang ia lewati tiap hari dalam kurun waktu kurang lebih tujuh bulan lalu.
"Woi, Afuya!" Winter masih berjarak lima meter dari gadis di depannya.
Afuya yang mendengar suara tak asing itu segera mempercepat jalannya. Winter tidak kalah cepat, ia malah berlari dengan ringan karena tidak membawa sebuah beban. Sedangkan Afuya, ingin rasanya ia berlari sekencang mungkin, tapi suasana tidak merestuinya. Sepeda butut milik kakek itu sudah lumayan tua, sehingga jika dibuat berlari maka kemungkinan akan lepas satu persatu bagiannya.
"Afuya! Tunggu dulu!" Winter berhasil meraih bagian belakang sepeda yang dituntun gadis tersebut. "Aku tadi menunggumu di tempat duduk penunggu, eh... aku malah Kamu tinggal lagi."
Afuya menoleh ke belakang. "Rumahmu di mana, sih? Keknya mengikutiku terus?"
"Deket, kok, dari sini," jawab Winter dilanjut pertanyaannya. "Sepedamu kenapa? Lepas rantainya?"
"Sudah tau kenapa tanya?" Afuya membalasnya dengan wajah kesalnya.
"Jangan galak-galak, lah." Winter tersenyum manis sendiri saat menyaksikan lawan bicaranya semakin menggemaskan. "Sini ikut ke rumah, aku bantu benerin. Dari pada jalan terus, kasian."
Afuya berpikir sejenak. Tidak ada salahnya menolak tawaran pemuda yang baru dikenalnya itu. Benar, jika diteruskan jalan, mungkin besok ia tidak akan bisa berlari mengejar jadwal kereta. Kedua mata Afuya tampak melihat ke bawah. Winter mulai merebut setir sepeda yang masih dipegang oleh gadis tersebut. Afuya menyadari langsung menggenggam setirnya erat. Bukannya tidak mau berbagi pada Winter, melainkan tidak ingin merepotkan pemuda itu.
"Aku bisa sendiri."
"Sini aku bantu, Afufu."
"Afuya!"
"Afufu lebih imut."
"Aku nggak imut!"
"Menggemaskan."
Wajah Afuya semakin memerah. Sebab karena kesal yang begitu naik pitam. Juga dipengaruhi sedikit oleh gombalan Winter. Afuya marah, tetapi juga malu-malu kucing. Entah mengapa belum genap satu hari, Winter telah menjadi pemuda yang dapat meluluhkan hati seorang gadis dengan cepat. Meski belum pas berusia tiga belas tahun, Afuya sudah mengerti apa itu rasa suka terhadap lawan jenis. Akhirnya mereka diam. Angin sore yang sejuk mulai berembus. Winter berjalan menyesuaikan langkah kaki Afuya di depannya. Jika kiri dia ikut kiri, jika kanan dia juga ikut kanan.