Read More >>"> Toko Kelontong di Sudut Desa (Page 370-3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Toko Kelontong di Sudut Desa
MENU
About Us  

Bagian Ketiga

Tepat pukul tiga sore, bel pulang terdengar di setiap penjuru sekolah. Afuya bergegas memasukkan semua buku dan alat tulisnya. Kemudian menjadi anak pertama yang keluar dari kelas 7-B setelah sang guru telah meninggalkan kelas. Gadis itu langsung menuju ruang bimbingan konseling untuk mengambil ponselnya yang ia titipkan selama jam sekolah berlangsung. Sebenarnya tidak diperbolehkan, tetapi karena Afuya rumahnya jauh dan harus pulang pergi naik kereta, akhirnya ia diizinkan untuk membawa ponsel. 

Ramai siswa-siswi berhamburan di koridor depan kelas, lapangan, parkiran sepeda, bahkan di setiap tangga. Mereka berbondong-bondong rebutan untuk pulang. Namun, ada juga beberapa anak yang tinggal di sekolah sementara waktu untuk menjalankan ekstrakurikuler maupun organisasi. Afuya sengaja tidak mengikuti satupun kegiatan tersebut. Meski tak terlalu berpengaruh terhadap mata pelajaran di kelas, mengikuti ekstrakulikuler atau organisasi menjadi poin tambahan. 

Masih ada sekitar dua belas menit menuju pukul tiga lebih lima belas menit jadwal pemberangkatan kereta. Seusai mendapatkan kembali ponselnya, Afuya segera berlari menuju gerbang guna mengejar waktu. Namun, langkahnya terhenti sejenak saat pandangan matanya tertuju pada sosok lelaki yang berdiri sembari memasukkan tangannya ke dalam saku celana di bawah tangga. Benar, itu adalah Winter. Afuya masih merasa sedikit asing, meskipun tahu bahwa Winter juga berangkat dengan kereta yang sama. Akan tetapi gadis itu tidak memperdulikan. Ia bergegas melanjutkan agenda berlarinya. 

Sampailah Afuya di tempat penungguan kerata. Setelah menunjukkan tiket, gadis tersebut memilih duduk sejenak sembari mengambil napas. Berlari memang mempersingkat waktu, tetapi juga membuatnya makin ngos-ngosan. Masih ada lima menit untuk menarik napas panjang dan istirahat sejenak, Afuya mengeluarkan ponselnya dari saku rok wiru sepanjang mata kaki. Menunggu hingga ponsel itu benar-benar menyala, Afuya menyeka keringat di dahinya. 

Sebuah notifikasi muncul menjadikan mood-nya berantakan. "Ih... kenapa harus habis sekarang, sih! Aku 'kan, baru beli kuota internet dua minggu yang lalu. Mana nggak ada uang tabungan." Afuya bicara sendiri dengan kesal. 

"Mau minum?" Tiba-tiba saja suara lelaki itu datang lagi menghampirinya.

"Ayam!" Afuya terkejut bukan main seketika menoleh ke kanan dilihatnya Winter telah tersenyum tipis sambil menyodorkan sebotol air mineral. 

"Hehe...."

"Aish... bisa nggak, sih, jangan ngagetin mulu!" Afuya kesal tak terima jika kedatangan Winter yang seperti hantu. 

"Aku tadi menunggumu tau, malah ditinggalin. Kita 'kan, sama-sama naik kereta."

Tanpa menanggapi, Afuya berdiri lalu bergegas lari ke pintu gerbong tiga meninggalkan Winter yang masih duduk. Pintu gerbong terbuka, gadis itu menjadi orang permata yang masuk selepas beberapa orang turun dari kereta. Celingak-celinguk kanan-kiri mencari tempat dudu yang kosong karena rebutan, akhirnya Afuya memutuskan belok kanan. Karena ada satu tempat duduk kosong sebelah seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun. Afuya menghela napas sejenak sembari merenggangkan kakinya selepas berlari. 

"Mau ke mana, Nak?" Wanita tepat di sebelah Afuya memulai obrolan. 

Afuya membenarkan posisi duduknya lalu membalas pertanyaan wanita itu. "Ke Sidoarjo, Bu. Kalau Ibu?" 

"Mojokerto. Kok, jauh, sekolah di Surabaya?" 

"Iya, Bu, keinginan aja," jawab Afuya singkat. 

Mereka diam sejenak sebelum wanita paruh baya tadi kembali bertanya. "Lho, itu pacarnya, kenapa ditinggal? Lagi kemusuhan?" 

Pandangan Afuya langsung tertuju pada Winter yang lagi toleh kanan-kiri mencari tempat duduk. "Bu-bukan, Bu." Afuya menolak sambil memperagakan tanda silang dengan kedua tangannya. 

"Seragamnya aja sama. Nggak pernah Ibu lihat seragam SMP naik kereta di jam segini. Itu pacarnya nganterin Kamu pulang atau memang Kalian sama-sama dari Sidoarjo." 

"Tidak, Bu. Saya tidak mengenalnya." Afuya mencoba mengakhiri perbincangan, tetapi Winter malah menyadari dan berjalan ke arahnya. 

Jangan ke sini! Jangan ke sini, woi! 

Winter berdiri tepat di sela kursi samping Afuya. Kereta mulai berjalan. Sembari berpegangan pada pegangan di atas, pemuda itu malah menggagalkan rencana Afuya yang mengatakan tidak menganalnya. "Aafuuyaa...!" meski dengan nada berbisik, wanita empat puluh lima tahunan itu mendengar dan otomatis Afuya juga mendengarnya. 

"Benar pacaran, ya, Kalian?" Wanita itu terus saja membahas soal yang membuat Afuya semakin bosan dan tak mau melanjutkan obrolan. 

"Bukan, Bu," ucap Afuya mengakhiri perbincangan hingga mereka diam sampai di salah satu stasiun Sidoarjo tempat Afuya dan Winter turun. 

Tepat pukul tiga lebih empat puluh menit, ketera telah sampai di tujuan salah satu stasiun Sidoarjo. Afuya diikuti Winter di belakangnya turun melalui gerbong empat. Gadis itu langsung menuju parkiran sepeda. Setelah melepas pengait kunci, saat hendak menaiki sepedanya, Afuya dibuat lebih jengkel lagi. Pasalnya, entah mengapa baru dituntun beberapa langkah, rantai sepeda tersebut copot. Mau tak mau ia harus berjalan sembari menuntun sepeda itu sampai di rumah. Sebab memasuki area desa tidak didapati bengkel. 

Saat mengayuh saja menghabiskan waktu dua puluh menit, jika berjalan pasti akan memakan waktu lebih lama lagi. Berkali-kali Afuya berdecih. Ia ingin melontarkan banyak kata-kata kasar. Namun, untung saja gadis itu masih tergolong anak yang baik. Memasuki gapura pembatas antara jalan raya dan memasuki area pedesaan. Suasana sore matahari masih belum meredup. Lumayan menyengat membuat Afuya kerap menyipitkan matanya. 

Winter berjalan cepat sesekali berlari untuk mengejar gadis yang menuntun sepeda di depannya. Tidak lama, Winter yang tinggi membuat langkahnya menjadi lebar dan panjang. Sehingga dengan cepat ia dapat menyusul Afuya. Sedangkan gadis itu hanya berjalan lumayan pelan sembari menikmati banyaknya ladang yang telah diisi padi masih menghijau segar. Meskipun masih lumayan hangat hawanya, Afuya menikmati dengan baik pemandangan desa yang ia lewati tiap hari dalam kurun waktu kurang lebih tujuh bulan lalu. 

"Woi, Afuya!" Winter masih berjarak lima meter dari gadis di depannya. 

Afuya yang mendengar suara tak asing itu segera mempercepat jalannya. Winter tidak kalah cepat, ia malah berlari dengan ringan karena tidak membawa sebuah beban. Sedangkan Afuya, ingin rasanya ia berlari sekencang mungkin, tapi suasana tidak merestuinya. Sepeda butut milik kakek itu sudah lumayan tua, sehingga jika dibuat berlari maka kemungkinan akan lepas satu persatu bagiannya. 

"Afuya! Tunggu dulu!" Winter berhasil meraih bagian belakang sepeda yang dituntun gadis tersebut. "Aku tadi menunggumu di tempat duduk penunggu, eh... aku malah Kamu tinggal lagi." 

Afuya menoleh ke belakang. "Rumahmu di mana, sih? Keknya mengikutiku terus?" 

"Deket, kok, dari sini," jawab Winter dilanjut pertanyaannya. "Sepedamu kenapa? Lepas rantainya?"

"Sudah tau kenapa tanya?" Afuya membalasnya dengan wajah kesalnya. 

"Jangan galak-galak, lah." Winter tersenyum manis sendiri saat menyaksikan lawan bicaranya semakin menggemaskan. "Sini ikut ke rumah, aku bantu benerin. Dari pada jalan terus, kasian." 

Afuya berpikir sejenak. Tidak ada salahnya menolak tawaran pemuda yang baru dikenalnya itu. Benar, jika diteruskan jalan, mungkin besok ia tidak akan bisa berlari mengejar jadwal kereta. Kedua mata Afuya tampak melihat ke bawah. Winter mulai merebut setir sepeda yang masih dipegang oleh gadis tersebut. Afuya menyadari langsung menggenggam setirnya erat. Bukannya tidak mau berbagi pada Winter, melainkan tidak ingin merepotkan pemuda itu. 

"Aku bisa sendiri." 

"Sini aku bantu, Afufu." 

"Afuya!"

"Afufu lebih imut."

"Aku nggak imut!" 

"Menggemaskan." 

Wajah Afuya semakin memerah. Sebab karena kesal yang begitu naik pitam. Juga dipengaruhi sedikit oleh gombalan Winter. Afuya marah, tetapi juga malu-malu kucing. Entah mengapa belum genap satu hari, Winter telah menjadi pemuda yang dapat meluluhkan hati seorang gadis dengan cepat. Meski belum pas berusia tiga belas tahun, Afuya sudah mengerti apa itu rasa suka terhadap lawan jenis. Akhirnya mereka diam. Angin sore yang sejuk mulai berembus. Winter berjalan menyesuaikan langkah kaki Afuya di depannya. Jika kiri dia ikut kiri, jika kanan dia juga ikut kanan. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Photobox
4907      1315     3     
Romance
"Bulan sama Langit itu emang bersama, tapi inget masih ada bintang yang selalu ada." Sebuah jaket berwarna biru laut ditemukan oleh Langit di perpustakaan saat dia hendak belajar, dengan terpaksa karena penjaga perpustakaan yang entah hilang ke mana dan Langit takut jaket itu malah hilang, akhirnya dia mempostingnya di media sosialnya menanyakan siapa pemilik jaket itu. Jaket itu milik Bul...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
5244      1382     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
LUKA TANPA ASA
6631      1958     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
Aku Biru dan Kamu Abu
626      361     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
Gagal Menikah
4398      1426     4     
Fan Fiction
Cerita ini hanya fiktif dan karanganku semata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter dan kejadian, semua itu hanya kebetulan belaka. Gagal Menikah. Dari judulnya udah ketahuan kan ya?! Hehehe, cerita ini mengkisahkan tentang seorang gadis yang selalu gagal menikah. Tentang seorang gadis yang telah mencoba beberapa kali, namun masih tetap gagal. Sudut pandang yang aku pakai dalam cerita ini ...
KILLOVE
3695      1224     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
graha makna
4315      1524     0     
Romance
apa yang kau cari tidak ada di sini,kau tidak akan menemukan apapun jika mencari ekspektasimu.ini imajinasiku,kau bisa menebak beberapa hal yang ternyata ada dalam diriku saat mulai berimajinasi katakan pada adelia,kalau kau tidak berniat menghancurkanku dan yakinkan anjana kalau kau bisa jadi perisaiku
Meja Makan dan Piring Kaca
51092      7714     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
Pembuktian Cahaya
412      303     0     
Short Story
Aku percaya, aku bisa. Aku akan membuktikan bahwa matematika bukanlah tolak ukur kecerdasan semua orang, atau mendapat peringkat kelas adalah sesuatu yang patut diagung-agung \'kan. Aku percaya, aku bisa. Aku bisa menjadi bermanfaat. Karena namaku Cahaya. Aku akan menjadi penerang keluargaku, dan orang-orang di sekitarku
DanuSA
29196      4457     13     
Romance
Sabina, tidak ingin jatuh cinta. Apa itu cinta? Baginya cinta itu hanya omong kosong belaka. Emang sih awalnya manis, tapi ujung-ujungnya nyakitin. Cowok? Mahkluk yang paling dia benci tentu saja. Mereka akar dari semua masalah. Masalalu kelam yang ditinggalkan sang papa kepada mama dan dirinya membuat Sabina enggan membuka diri. Dia memilih menjadi dingin dan tidak pernah bicara. Semua orang ...