Bagian Pertama
✧
Sidoarjo, 2018.
Afuya menggigit selembar roti tawar di meja pembuatan roti. Gadis itu menggendong ransel bewarna cokelatnya di punggung sembari menaikkan sebuah standar penopang di sepeda butut milik kakeknya. Langit masih terlihat sedikit gelap dengan corak kemerah-merahan memudar di ufuk timur. Embun pada daun dari sisa-sisa hujan semalam menambah ketenangan fajar itu.
"Buru-buru sekali?" Tanya Meira yang merupakan ibu dari Afuya.
"Iya, Bun. Sekalian mau ke kantor pos buat ngirim surat," jawab Afuya sambil menarik kemudian mencium punggung tangan Meira.
Wanita tersebut melanjutkan aktifitasnya berberes meja pembuatan roti untuk ia gunakan siang nanti. Afuya masih menunggangi sepedanya, belum ia gayuh sang ibu melontarkan sebuah kalimat. Membuat gadis itu berhenti sejenak mengurungkan niatnya.
"Kantor pos belum buka."
Afuya menghabiskan gigitan terakhir dari roti tawar. "Bang Fuad 'kan, pegawai di sana, Bun. Sekalian aku titipkan ke dia aja."
"Yaudah, hati-hati. Bekalmu jangan lupa dihabiskan dan jangan pulang terlalu sore," ucap Meira sebelum gadis berusia tiga belas tahun itu hempas dari halaman rumahnya.
Mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang sembari menikmati udara yang masih sejuk menjadi kesenangan tersendiri. Burung kecil mulai berkicau menyambut sang surya. Bahkan tanaman padi dan jagung yang masih hijau di ladang ikut serta melambai dan menari melengkapi suasana itu. Afuya dengan seragam putih birunya dilengkapi dasi bergaris satu dan kuncir dua berkepang andalannya.
Sepeda butut warisan kakek, memang tidak seperti sepeda anak perempuan pada umumnya. Keranjang depan yang mulai peyok, rantai sudah sedikit berkarat sehingga sedikit sulit pula untuk digayuh. Pedal sisi kiri terkadang sering lepas dan berputar sendiri. Bahkan setirnya juga tidak sekokoh dahulu. Meskipun dengan kondisi begitu, tidak melunturkan semangat Afuya untuk tetap bersekolah beda kota.
Jalanan yang hanya berlebarkan sekitar kurang dari dua meter dilewati Afuya selama dua puluh menit. Rumput-rumput setinggi pedal sepeda di posisi atas melengkapi setiap sisi jalanan sempit yang mulai pecah dan banyak lubang. Dengan gesit gadis tersebut sudah ahli dalam menjalankan sepedanya. Hingga sampailah pada sebuah gapura di pengujung desa dan mulai memasuki area jalan raya perkotaan.
✧
Terlihat seorang pria tinggi menggunakan celana pendek selutut dan sweater hoodie duduk di atas motor yang sudah diturunkan standarnya. Pria itu sudah memposisikan tatapannya pada Afuya yang berusaha memperpendek jarak padanya. Beberapa detik gadis itu telah sampai di hadapan pria tersebut.
"Nitip, ya, Bang Fuad. Makasih!" Afuya memberikan sebuah amplop bewarna putih berisikan surat.
Pria yang disapa 'Fuad' itu berdiri dari motornya kemudian menerima sebuah amplop surat dari Afuya. Ia membaca sejenak di sampul amplop. Lalu melontarkan sebuah pertanyaan pada gadis yang akan melanjutkan perjalanannya menuju sebuah stasiun kereta.
"Alamat sama seperti kemarin?"
"Iya, Bang," jawab Afuya sembari menganggukkan kepalanya.
"Siapa 'sih, Fu? Jauh amat tinggal di Jakarta? Memangnya dibalas sama mereka? Perasaan nggak ada kiriman surat ke rumahmu dari Jakarta." Fuad semakin penasaran sambil membolak-balikkan amplop putih tersebut.
Afuya tanpa ragu langsung membalas pertanyaan dari pria berusia dua puluh satu tahun itu. "Ada, Bang. Tapi lewat mimpi. Kata bunda 'sih, aku hanya halusinasi. Tapi suratku beneran dibalas, kok. Kami juga mengobrol."
Fuad melotot atas jawaban yang didengarnya. "Dih, tapi-tapi. Itu 'sih, benar kata ibumu. Kalau mereka yang di Jakarta ini beneran ada, kenapa nggak kamu minta nomer teleponnya saja?"
"Kalau mereka bukan manusia, gimana Bang?"
"Terus ngapain Koe balas bocah!"
"Sudahlah Bang, aku terlambat jadwal kereta, nih. Minta tolong tetap masuk ekspedisi, ya, Bang." Afuya langsung mengayuh sepedanya kembali memasuki jalan raya menuju stasiun kereta yang jaraknya tidak begitu jauh dari kantor pos.
Fuat yang masih heran dengan pernyataan Afuya, langsung tersadar dan sebuah kalimat lepas dari mulutnya. "Biayanya siapa yang bayar, Fu?"
"Nitip Bang Fuad dulu! Kapan-kapan aku ganti!" teriak Afuya.
Fuad mengembuskan napasnya lesu. "Untung kita masih ada hubungan keluarga, Fu. Huh ...," desis pria itu langsung memasukkan kunci yang dibawanya pada pintu kantor pos.
✧
Afuya mengayuh sepedanya lebih cepat. Meskipun ia tahu bahwa risiko kerusakan sepeda butut milik kakek menjadi semakin bertambah. Namun, ia tidak takut dimarahin sang kakek karena hal ini, justru dirinya lebih was-was apabila tertinggal jadwal kereta. Beberapa kali Afuya mengatur napasnya yang mulai tersendat-sendat itu. Bahkan saking paniknya, ia sudah tidak lagi duduk di sadel. Gadis tersebut mengayuh sepeda sembari berdiri.
Semenit lagi menunjukkan pukul lima lebih lima puluh menit dini hari. Semenit pula kereta akan berangkat. Afuya sudah memasuki gerbang stasiun, ia tinggal memarkirkan sepedanya saja dan mengunci pada besi di penyandar parkiran. Masih sempat ia berlari sebelum petugas kereta menutup pintu gerbong nomor tiga.
Keringat telah bercucuran tidak terhitung jumlahnya. Bagian punggung seragam Afuya sedikit basah dan menjadi nerawang karena warnanya yang putih. Gadis itu tanpa mempedulikannya, langsung berusaha untuk melewati pembatas sehingga jaraknya dengan gerbong kereta semakin pendek.
Namun, tiba-tiba saja tanpa ia rencanakan atau bahkan tanpa ia harapkan, hal yang benar-benar di luar dugaannya. Seorang pemuda menggunakan seragam sama persis dengan dirinya menabrak dari arah samping kiri. Sehingga membuat Afuya sempoyongan dan terjatuh. Afuya sudah tidak bisa berpikir jernih jika ia telat dan ketinggalan kereta. Pasalnya, tiket kereta yang dibeli merupakan potongan dari uang sakunya.
"Tunggu, Pak!" teriak pemuda itu sembari mengulurkan tangannya pada Afuya.
Tanpa segan dan memperpanjang waktu lebih lama lagi, gadis itu menyahut bantuan yang didapatkannya. Segera berdiri dan berlari masuk ke gerbong kereta nomor tiga. Yah, meskipun sempat terkena tegur oleh petugasnya. Sekarang yang terpenting ia dan pemuda sehabis menyenggolnya tersebut tidak terlambat.
Setelah pintu gerbong ditutup dan kereta mulai jalan perlahan, Afuya merebahkan tubuhnya dengan berdiri bersandar tepat di sebelah pintu. Sebab dirinya tidak kebagian kursi. Pemuda yang mengenakan seragam sekolah sama dengan nama sekolah yang sama itu juga berdiri di dekat Afuya sembari berpegangan pada alat pegang yang tergantung atas bagian sela kursi.
Jarak antara Afuya dan pemuda tersebut cukup dekat, bahkan tidak sampai satu meter. Gadis itu menarik kembali tubuhnya yang bersandar untuk berdiri tegak. Beberapa kali Afuya mengatur napasnya yang tak karuan. Hingga sebuah tekad untuk berbicara mulai tumbuh. Dua kata terucap dari mulut Afuya, membuat pemuda dengan tinggi sekitar seratus enam puluh lima itu menoleh pada sang empunya kata.
"Terima kasih."
"Nggak perlu, lah. Ngomong-ngomong kita dari SMP yang sama. Kenalin, aku Winter," timpal pemuda tersebut.
"Afuya," jawab Afuya singkat dan ingin segera mengakhiri obrolan.
Namun, tetap saja pemuda yang bernama Winter masih ingin lanjut dengan percakapannya. "Anak kelas satu, ya?" tanya Winter.
"Kok tau?"
"Itu, dasimu ada garis satunya."
Afuya terdiam sejenak. Ia berpikir, sebenarnya tidak salah juga jawaban dari Winter, tetapi kalimatnya itu membuat Afuya merasa semakin garing pembahasannya. Walaupun bukan keputusan tepat, gadis itu berniat tetap menanggapi Winter agar first impression dirinya tidak begitu buruk di mata orang lain.
"Kamu anak kelas tiga?" Giliran Afuya melontarkan pertanyaannya.
"Dasiku ada garis tiganya, kan?"
Harapan Afuya salah. Gadis tersebut mengira bahwa Winter akan bertanya dengan sebuah pasangan kata 'kok tau?' melainkan malah dengan kalimat yang lumayan panjang. Sehingga menjadikan Afuya sedikit menguras pikirannya agar bisa menyeimbangi lawan bicaranya.
"Bukan, tapi seperti om-om," lanjut Afuya.
"Aku masih tiga SMP, bukan kepala tiga." Meskipun saat menjawab, Winter memperlihatkan wajah datarnya, tetapi pemuda itu terlihat masuk dalam penjamuan teh hangat di pagi hari yang telah Afuya sediakan.
"Bercabang gitu?" timpal gadis tersebut.
"Iya, pakai sistem cangkok. Hmm ..., Kamu ke sekolah tiap hari naik sepeda lalu naik kereta?" Winter mulai mengalihkan topik pembicaraannya.
Mendengar kalimat terbaru dari Winter, Afuya sedikit kesal meskipun tidak ia perlihatkan di mimik wajahnya. "Kau tadi lihat aku naik apa? Naik naga?"
"Kirain naik kuyang," jawab Winter sembari menggaruk rambut di kepalanya yang tak gatal.
Niatnya, pemuda itu ingin membawa sebuah kesan komedi dalam obrolan mereka. Namun, Afuya bukan tipe gadis yang mudah diajak berkomedi. Faktanya, Afuya malah mengira ada yang tidak beres dengan Winter. Bahkan beberapa detik sempat digunakan gadis tersebut untuk melirik sinis pemuda di sampingnya. Entah apa yang dipikirkan Winter.
"Garing, Mas. Apinya kebesaran."
Masih saja tidak ingin berhenti, Winter berusaha tetap menyambung topik mereka. "Untung aku keturunan Avatar."
"Pengendali kuyang?" sahut Afuya yang merasa semakin absurd.
"Pengendali gorengan."