๐๐พ๐ด๐พ ๐๐ฒ๐ช๐ป๐
๐ฐ๐๐๐ข๐ ๐ฒ๐๐๐๐๐๐
๏ผ๏ผ๏ผ๏ผ๏ผ๏ผ๏ผ๏ผ๏ผ
"๐๐ง๐๐ฆ ๐ญ๐๐ก๐ฎ๐ง ๐ฉ๐๐ซ๐ฃ๐๐ฅ๐๐ง๐๐ง ๐๐๐ซ๐ข๐ญ๐๐ค๐ฎ ๐๐๐ง๐ ๐๐ง ๐๐ฎ๐ง๐๐ ๐ญ๐๐ง๐ฉ๐ ๐๐ฒ๐๐ก."
[๐๐๐ ๐๐๐ฅ๐๐ฆ๐๐ง]
โง
Surabaya, 1 Maret 2023.
Menghabiskan sisa-sisa waktu di sekolah sebelum menghadapi ujian akhir, bapak pembina tim jurnalistik memberi sebuah amanah padaku. Tidak berat, tetapi banyak anggota tim lainnya yang memaparkan segala alasan ketidak sanggupan mereka untuk menjalankan tugas. Terpaksa harus akulah--sebagai pimpinan redaksi yang bertanggung jawab.
Sebenarnya hanya mengumpulkan beberapa stok majalah lama sekolah untuk pendataan. Namun, karena ruangan perpustakaan sekolahku seusai direnovasi dan berpindah tempat sementara, mengakibatkan penataan stok di gudang perpustakaan sekolah menjadi tidak tertata beraturan. Selepas pintu gudang perpustakaan yang lama terbuka, aku berdecik ngeri. Uwih, sungguh memprihatinkan. Banyak sarang laba-laba di sudut-sudut dinding. Bahkan lebih parahnya, banyak buku yang sudah dijadikan santapan lezat oleh kutu buku.
Pantas saja, anak anggotaku tidak ada yang bersedia. Bapak pembina memang sedikit menyebalkan. Aku membiarkan waktu terus berjalan. Tanpa menghiraukan jam istirahat pertama yang telah berakhir. Toh, aku diberikan dispensasi mata pelajaran untuk hari ini. Sebab, tidak memungkinkan aku dapat mencari semua printilan edisi masalah sekolah yang sampai berpuluh-puluh episode dalam beberapa jam saja. Aneh bukan, sih? Mengapa stok majalah sekolah bisa ditelantarkan di gudang. Padahal--kami, tim jurnalistik juga susah payah menjadikan sebuah edisi yang ciamik.
Entahlah. Aku tidak akan habis memikirkannya. Lagi pula, masa jabatanku juga akan usai menghitung pekan. Sebenarnya masa pergantian anggota dilaksanakan Februari kemarin. Namun, kemungkinan sekolah ini masih tidak mengizinkanku untuk bermalas-malasan. Maka dari itu diundur sampai bulan Mei awal. Hal yang begitu aku benci. Seharusnya awal April aku sudah memasuki jadwal libur. Oh tidak, tetapi akhir Maret setelah ujian mendatang. Sedangkan nanti di bulan Mei aku harus mengurusi sebuah agenda serah terima jabatan. Sungguh membuatku muak.
Hampir pukul dua belas siang, membongkar di tumpukan novel-novel setebal harapan orang tua. Aku masih menemukan dua puluh enam dari dua puluh tujuh buku majalah. Justru tinggal satu edisi ini membuatku ingin menggunakan jurus pengelihatan dalam bayangan agar aku bisa lebih mudah menelisik dari ratusan buku yang tergeletak di lantai. Perutku mulai terasa keruyukan. Jam tangan berbahan silikon berwarna hijau sage baru kuperhatikan sekali. Demi apa, sudah melewati jam makan siangku. Bahkan istirahat kedua pun hampir habis.
Aku menghela napas sejenak. Duduk di antara tumpukan buku dan minum beberapa teguk air putih dalam botol bening yang aku bawa sebelum masuk ke gudang. Bau buku adalah hal yang paling aku suka. Namun, jika itu buku baru. Aku melatakkan kembali botol minum tepat di sebelah tumpukan dua puluh enam edisi majalah yang telah aku kumpulkan. Lanjut mencari satu bagian tersebut. Aku mulai menyimpangkan beberapa tumpukan buku di bagian pinggir lebih ke pinggir lagi agar aku bisa membongkar bagian tengah.
Firasatku seakan bergejolak mengatakan bahwa satu buku majalah itu ada di tengah. Benar saja, tidak lama menyingkirkan buku di bagian atas, ketemulah apa yang aku cari. Mengambil lalu menggabungkan di tumpukan majalah. Namun, mataku tidak ikut ke sana, melainkan tertinggal di tempat semula. Aku cek kembali, terlihat sebuah buku berjilid ring dengan sampul berbahan kulit bewarna cokelat. Sampulnya seakan bertekstur seperti batang pohon bagian luar. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambilnya.
Melepas tali pengeratnya, kemudian mengangkat sampul tebal dan tibalah jemariku di halaman pertama. Terdapat beberapa kalimat tulisan, tetapi aku tidak langsung membacanya. Lamunku sungguh terbawa suasana akan mempesonanya buku tersebut. Sepertinya usianya lumayan lama, buku langka, nih. Pasti harganya mahal di waktu itu. Pikirku demikian. Belum kembali pada halaman pertama, beberapa teriakan dari luar pintu perpustakaan terdengar lumayan keras. Suara itu memang tidak asing di telingaku, tetapi mereka begitu menyebalkan.
"Kara! Kau di dalam?" teriakan salah satu dari mereka.
"Iya! Masuk aja!" timpalku sama-sama ngotot.
Aku sibuk merapikan kembali bongkaran beberapa buku.
Belum lama, tiba saja pintu gudang perpustakaan terdengar terbuka dengan suara khasnya dan ... "Happy Birthday to you!"
Aku langsung melompat dari posisi jongkok ke posisi berdiri menghadap mereka bertiga. "Nobody likes you. You look like an animal. Go back to the zoo!" lanjut salah satu dari mereka bertiga.
Semua tersenyum sumringah kecuali diriku yang masih heran. Masa iya hari ini ulang tahunku? Ternyata salah satu dari mereka bertiga seakan bisa membaca apa yang aku pikirkan. Langsung ia menyahuti. "Ulang tahunmu lah. Iya, ibu ketua redaksi si Paling Sibuk, sampai lupa tanggal brojol-nya di dunia." Dia menepuk jidatnya.
Namaku Caramel. Bahkan hampir satu sekolah memanggilku 'Kara'. Aku sudah hidup selama satu setengah dasawarsa. Benar, masih kelas tiga SMP. Mereka bertiga adalah ketiga bestie-ku. Tanpa mereka, mungkin perjalanan di sekolahku terasa flat-flat saja. Gadis yang paling tengah memegang sekardus kecil cup cakes berisi empat. Rasa keju, dark cokelat, susu vanila dan choco chips. Kemudian menyodorkan cup cakes dilengkapi empat lilin kecil sudah menyala itu padaku. Mereka memberikan kode agar aku segera melakukan make a wish dan meniup lilinnya. Namun, aku malah mempersingkat waktu permintaan dan mengibaskan buku bersampul cokelat kulit yang kubawa di atas lilin. Tanpa aku tiup, api-api di lilin hempas terkena angin dari kibasan buku yang habis kulakukan.
Aku mempersilakan mereka bertiga mengambil bagian cup cake-nya masing-masing satu. Pas ada empat, disisakan rasa keju untukku. Mereka memang mengerti apa kesukaanku. Kami duduk melingkar dan posisiku membelakangi dua puluh tujuh edisi majalah. Kami duduk bersila kemudian mulai membuka bungkus cup cake dan menggigitnya. Enak. Aroma aneka rasa mengepul mengisi seluruh ruangan gudang. Aku urutan kedua berhasil menghabiskannya. Sungguh, perutku merasa kelaparan sekali. Selepas minum, aku langsung menyodorkan buku sampul cokelat yang kutemukan.
"Weh, bagus! Bukumu, Ra?" tanya salah satu dari mereka.
"Kara 'kan, suka ngumpulin barang aesthetic." celetuk sebelahnya.
Aku menunjuk ke tumpukan buku. "Kutemukan tadi di sana."
"Buka coba. Tidak sopan, sih, tapi aku penasaran. Huh ...."
Tanpa pikir panjang, jemariku mulai mengangkat sampul buku yang sedikit berat dibandingkan sampul buku majalah sekolahku. Halaman sehabis sampul yang belum sempat aku baca tadi, salah satu temanku langsung membacanya dengan lantang. "Buku diary milik Afuya Cecilia. Tahun 2013 sampai 2018. Enam tahun perjalanan ceritaku dengan bunda tanpa ayah."
Kami bertiga tidak menghiraukan identitas buku. Mungkin hanya sedikit terkejut, sebab buku ini terakhir ditulis lima tahun yang lalu. Jemariku tanpa disuruh langsung melanjutkan aksinya dengan membuka halaman selanjutnya. Oh tidak, kami sungguh kecewa. Hampir sembilan puluh tujuh persen tulisan di buku tersebut sudah memudar, sehingga tidak bisa kami baca. Ekspresi kami kicut. Namun, terhitung sembilan halaman tidak begitu luntur. Satu halaman pertama dan delapan halaman terakhir, untung saja masih bisa dibaca. Bahkan tinta pen yang digunakan masih terlihat hitam dalam kurun waktu lima tahun. Dimulai dari halaman satu kemudian loncat ke halaman 370 akan kami baca bersama hingga halaman 377.
โง
Surabaya, 2013.
Suara putaran kunci terdengar beberapa detik. Gadis kecil berusia tujuh tahun duduk di sofa sembari menonton televisi siaran kartun dan menyantap sebungkus kentang goreng. Pintu rumah terbuka. Terlihat seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan menggunakan rok selutut dengan setelan jas bewarna hitam. Tas tenteng kecil berbahan kulit dengan tali rangkaian mutiara, kerap ia kalungkan di lengan tangan kirinya. Sepatu heels setinggi lima sentimeter bewarna hitam diletakkannya di rak sepatu belakang pintu.
"Bunda sudah pulang?" Gadis kecil berkuncir dua di atas langsung turun dari sofa sehingga kentang goreng yang dipangkunya berantakan di sofa bahkan ke lantai.
"Jangan ganggu Bunda sebentar, Afuya. Sana, lihatlah televisi saja," timpal wanita tersebut sembari memegangi kepalanya.
Tidak berlangsung lama, wanita yang kerap dipanggil 'bunda' itu langsung menekan tombol telepon rumah dan meraihnya. Duduk di kursi dekat dengan jendela, ia menyaksikan beberapa tanaman hias dalam pot kecil yang telah kering. Menunggu beberapa saat, terdengar suara lelaki berusia kepala lima dengan suara serak basahnya yang khas. Gadis kecil bernama Afuya itu kembali duduk di atas sofa sambil memakan kentang goreng yang jatuh di atas sofanya. Walau audio televisi lumayan besar, Afuya masih bisa mendengar seseorang dalam telepon yang sedang berbicara dengan ibunya.
"Ayah, aku sudah memutuskan resign dari kantor. Kemungkinan besar kami akan pindah rumah," jelas wanita tersebut.
"Ayah mendukung semua keputusanmu, Nak. Kau dan Puya bisa pindah ke sini. Lagi pula semenjak Kau menikah, selama tujuh tahun aku hidup sendiri di desa. Kalian juga mengunjungiku kalau hari raya dan tahun baru saja."
"Iya, Ayah. Akan kupikirkan lagi."
Mendengar suara lelaki itu, Afuya langsung melompat kembali ke lantai dan berlari ke arah ibunya. "Kakek! Afuya rindu Kakek!"
"Puya, cucuku! Cepatlah ajak ibumu pulang ke mari!"
Wanita tersebut memberikan telepon rumah pada anak gadisnya. Kemudian meninggalkan mereka berdua saling bercakap dalam telepon. Sebelumnya, ia sempat izin pada ayahnya untuk bebersih diri dan menyuci beberapa pakaian yang belum sempat ia cuci kemarin. Serta menyiapkan makan siang untuknya dan Afuya yang sehabis pulang sekolah dari kelas satu SD. Sembari menunggu minyak dalam wajan penggorengan panas, wanita itu menyincang beberapa jenis perbawangan. Mulai dari bawang putih, bawang merah, bawang bombai dan daun bawang.
Tofu dibaluri tepung bumbu kering, digoreng sebentar hingga sedikit kecokelatan. Selepas ditiriskan, wanita itu mengurangi sembilan puluh persen minyak di wajan penggorengan. Lalu memasukkan cincangan perbawangan kecuali daun bawang dan menumisnya sebentar. Dirasa semerbak harum mulai memenuhi dapur, saus tomat dan sedikit saus cabe dituangkan menyelimuti bawang yang sedang ditumis. Udang sikat atau baby slipper lobster yang telah dibersihkan, dimasukkan ke dalam wajan penggorengan. Setelah menunggu warna udang menjadi jingga sedikit oren, beberapa bumbu dapur seperti garam, kaldu jamur, dan sedikit gula serta sesendok saus tiram dimasukkan secara bersamaan.
Selanjutnya tofu bertepung menjumpai gilirannya. Terlihat sudah tercampur semuanya, larutan tepung maizena juga diguyurkan dalam wajan penggorengan, agar mendapatkan hasil tumisan yang kental dan legit. Suara rice cooker berbunyi. Menandakan nasi sudah siap disantap. Selepas mematikan kompor, wanita tersebut beralih menyendok nasi ke bakul. Membawa hidangan makan siang yang sungguh lezat itu ke meja depan televisi. Tidak lupa cincangan daun bawang ditaburkan di atas tumisan. Harum semakin semerbak memenuhi rumah berukuran enam kali delapan meter. Selera Afuya semakin tergugah, tidak sabar menikmati masakan ibunya yang jarang ia dapatkan saat siang hari.
Daun selada segar sehabis dicuci bersih itu disodorkan ke Afuya. Meski tidak menyukai sayur, gadis kecil tersebut terpaksa memakan daun selada di hadapan ibunya. Nasi hangat dan tumisan itu menjadi menu kesukaan Afuya. Meskipun hanya sebuah menu sederhana. Separuh nasi dari piringnya sudah berhasil melewati seleksi tubuh. Entah mengapa tiba saja Afuya melontarkan sebuah kalimatnya tanpa disaring terlebih dahulu. Sebenarnya untuk gadis seusia tujuh tahun memang belum mengerti pasti apa konsekuensi dari perkataannya. Namun, cetusan dari gadis tersebut mampu menghancurkan mood milik sang ibu.
"Bun, Afuya kangen ayah."
Wanita itu langsung membanting sendoknya ke piring hingga terlempar jauh ke lantai. "Bisa tidak Kau jangan membahas lelaki itu, hah! Ikut sana Kau dengannya! Nggak usah balik ke aku lagi!" Emosi wanita tersebut langsung naik pitam dan pergi memasuki kamarnya. Membiarkan Afuya sendirian menghabiskan makanannya.
Seperti anak kecil pada umumnya, tiba saja cairan bening berlinang membasahi pipinya. Sambil mengunyah beberapa makanan yang masih tersisa di dalam mulutnya, Afuya mulai sesenggukan tidak karuan. Bahkan sampai terbatuk-batuk. Melihat ibunya cukup marah mungkin sampai tiga hari ke depan gadis itu tidak akan mendengar suara wanita tersebut yang memperdulikannya. Bagaimanapun caranya, Afuya memutuskan harus segera meminta maaf pada ibunya. Sebab tidak ingin membuat wanita itu terus marah padanya. Sudah sekitar sepuluh minggu mereka hidup berdua. Ayah yang dimaksud Afuya telah menghilang tanpa kabar.
"Bunda, maafkan Afuya...."
Halaman pertama telah usai.