Mentari terlihat kebingungan mencari sesuatu di fotokopian belakang kampus. Wajahnya panik, sampai-sampai ia tak sadar bahwa banyak pasang mata yang melihatnya. Bibirku tersenyum tipis karena menganggap perempuan itu lucu. Tidak ingin membuatnya makin lama mencari, aku menyodorkan makalah itu tepat di depan wajahnya. Sontak saja membuat Mentari terkejut.
"Kok ... ini ... bisa ada sama Kak Daniel?"
Harusnya Ethan atau Aksa yang datang ke sini untuk mengembalikan makalah kepada Mentari. Namun, setelah keduanya enggan beranjak pergi, aku berinisiatif mengantarkannya. Tentu saja hal itu bukan tanpa alasan. Ethan memang tidak mau ketinggalan kelas Hukum dan Bisnis sebab jatah absensinya habis. Sementara itu, Aksa memang sedang tak ingin bertemu Mentari karena tak sanggup lagi menjawab banyak pertanyaan darinya. Seperti kenapa jarang pulang ke rumah? Kenapa jualan nggak bilang-bilang? Kenapa banyak bolos kuliah dan bekerja terlalu keras? Aksa tak ingin membuat Mentari kepikiran.
"Tadi ketemu sama Ethan yang ketiduran di sini kan? Kayaknya punya kalian tertukar."
"Tapi makalah yang di aku punya Gisela?"
Aku mengangguk paham. "Ya, Gisel minta tolong Ethan. Terus ... ya gitu deh."
Oh gitu, gumam Mentari yang hampir tak aku dengar. Kami pun bertukar makalah, tetapi sebelum aku kembali ke kampus, Mentari mencegah pergerakanku.
"Kak Daniel masih punya tiket FRSD-fest?"
"Lo mau?"
Mentari menundukan wajahnya ke bawah. Jari-jari tangannya saling bertautan. Mungkin sedang berpikir keras agar tak salah bicara. "Itu ... anu. Aku udah cari, tapi katanya udah pada sold out. Aku mau bantuin Mas Aksa jualan--eum--tapi kalau minta izin ke dia--aku bingung bilangnya karena Mas Aksa sendiri nggak pernah cerita apa-apa. Aku udah telepon dia, tapi nggak ada balasan. Mungkin Mas Aksa pikir aku marah, padahal nggak. Aku malah nggak enak karena merasa Mas Aksa yang kerja keras seorang diri."
"Ini." Tanpa pikir panjang aku memberikan tiket FRSD-fest yang ada di kantong celana. Kebetulan saja tadi pagi Mara baru memberikannya padaku saat berangkat bareng ke kampus.
"Kak Daniel punya dua tiket?"
Aku mengangguk sebagai jawaban. Padahal aku berbohong. FRSD-fest merupakan salah satu ajang bergengsi. Dari tahun ke tahun, berapa pun tiket yang tersedia pasti ludes terjual. Tidak heran kalau mendekati hari H, susah sekali mendapatkan tiketnya. Kalau pun ada, harganya sudah tak masuk akal.
Biar saja. Aku pasti bisa mendapatkan tiket itu lagi, bagaimana pun caranya.
Mentari tersenyum, menerima tiket pemberianku dengan senang hati. "Terima kasih ya, Kak!"
"Sama-sama, Mentari."
**
"Aku tuh nggak suka kamu seramah itu sama fans-fans kamu!"
Mara marah. Aku baru pertama kali melihatnya cemburu buta seperti ini. Padahal di awal, ia sendiri yang bilang aku harus bersikap ramah pada orang-orang yang telah mendukungku.
Ini merupakan pertengkaran pertama kami setelah berpacaran.
"Tapi aku nggak flirty, By. Aku cuma berusaha ramah. Masa orang nyapa, aku diem aja sih?"
"Alasan! Seneng kan kamu?" Mara melipat kedua tangannya. Bibirnya mengerucut sebal, tapi masih terlihat lucu di mataku.
"Ya udah ... aku minta maaf, ya!" Pada akhirnya aku yang mengalah karena lelah tak ingin berdebat. Hari sudah makin larut malam. Kendaraan sudah mulai pergi satu per satu meninggalkan parkiran, serta lampu-lampu ruko juga sudah mulai padam.
"Oke aku maafin. Tapi kalau sampai kamu ketahuan caper dan genit sama mereka ... aku beneran marah!"
Mulutku terbuka, hampir saja ingin membela diri. Namun, kemunculan Mentari yang tiba-tiba dari arah samping ruko membuat aku mengurungkan niat. Ia mungkin sedang menunggu Aksa menjemputnya.
Mara yang sadar kehadiran Mentari pun langsung mengubah ekspresinya. Seolah-olah di antara kami sedang tak terjadi apa-apa. "Eh, baru pulang?"
"Iya, baru aja selesai beres-beres. Soalnya hari ini ada pelanggan yang datang. Makasih ya, Kak. Berkat Kakak dan temen-temen divisi humas, kafe jadi ramai."
"Ah, bukan apa-apa. Lagi pula ternyata cake-nya enak lho. Apalagi yang toping green tea tadi. Aku suka banget!"
Mara dan Mentari pun terlibat dalam obrolan basa-basi. Aku tak berniat menimpali sebab masih setengah kesal. Kenapa sifat Mara jadi tiba-tiba berubah seperti itu? Berarti benar kata Ethan, kalau semua cewek itu sama saja. Dulu, Mara merupakan perempuan satu-satunya yang bisa dekat denganku—meskipun waktu itu konteksnya masih teman dekat—karena kupikir dia berbeda dengan cewek lain. Aku terus sibuk dengan pikiranku sendiri. Sampai pada akhirnya percakapan antara Mara dan Mentari harus berakhir karena Aksa sudah datang menjemput.
Suasana kecanggungan mulai terasa. Tatapan Mentari jadi berubah. Ia berpamitan, lalu duduk di jok belakang motor milik Aksa. Tanpa bicara apa-apa, keduanya pergi meninggalkan aku dan Mara yang masih mematung memandang Pundak mereka yang perlahan menghilang.
**
Acara FRSD-Fest digelar dengan meriah. Tidak hanya mahasiswa Dwingga saja yang datang, tetapi juga mahasiswa luar.
Banyak sekali acara yang digelar, seperti: acara konser musik, fashion show karya mahasiswa semester akhir dan alumni Dwingga, pameran seni dan lukisan, sampai seminar kecantikan. Gedung FRSD benar-benar disulap jadi tempat dan etalase yang menarik.
Aku benar-benar takjub dengan etalase pameran seni dan lukisan. Meskipun tidak begitu mengerti nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh seniman tersebut, melihat sebuah maha karya membuat aku bersemangat untuk berkarya dengan bidang yang aku geluti.
"Dapet juga kan tiketnya?" Ethan menepuk pundakku dengan ekspresi bangga.
"Lo emang paling bisa diandalkan!" Manusia di sampingku ini memang Ajaib. Entah darimana ia mendapatkan tiket yang sudah ludes terjual ini. Tetapi bukan Ethan Namanya kalau tidak penuh kejutan. "Abis ini langsung ke booth Aksa aja, yuk!"
"Yuk. Lagi pula mana ngerti gue sama lukisan corat-coret begini," ujar Ethan memandang lukisan yang terpajang di hadapannya. Sama sepertiku, tujuan pria itu datang ke sini hanya ingin membantu Aksa dan menepati janjinya untuk menemani Gisel.
"Kalau gitu ngapain lo ke sini? Mana masuknya antre lagi!"
"Buat posting di IG doang. Biar terkesan artsy gitu." Ethan nyengir kuda, membuat aku sebal setengah mati. Setelah menghabiskan waktu berkeliling dari pameran satu ke pameran lain, etalase satu ke etalase lain, kami pun bergegas pergi menuju booth milik Aksa.
Kulihat sudah ada beberapa pembeli yang antre. Aksa melayani mereka dengan ramah. Sementara itu, Mentari terlihat gesit meracik bumbu dan merebus mie.
"Beli dua, Bang!" Kedatanganku dan Ethan sontak saja membuat bibir Aksa tersenyum lebar. Ia pasti senang dengan kehadiran kami berdua. Kalau bukan karena dia, mana mungkin aku dan Ethan datang ke acara begini. Mending rebahan di kos.
"Beli ya, Nyet. Kalau gratis, nggak dulu!" kata Aksa yang langsung membuat aku dan Ethan teetawa.
Semua baik-baik saja. Setidaknya sampai suatu pemandangan membuat darahku mendidih hebat.
Di seberang sana. Di kursi samping panggung konser musik, aku melihat Mara bersama seorang pria. Interaksi mereka begitu intens, terlihat seperti seorang sepasang kekasih yang saling melempar canda dan tawa. Mara bahkan sampai tak menyadari kehadiranku.
Aku tahu pria itu, tetapi tak tahu namanya. Ia sama-sama anggota di divisi humas. Kemarin ketika menjemput Mara di kafe O'Eight, aku pun melihatnya.
Aku tak tahu pasti bagaimana cara Mara berteman dengan lawan jenis. Aku tak pernah memperhatikannya. Apakah sejak dulu begitu atau tidak, aku kurang tahu. Namun yang aku tahu, Mara sudah kelewat batas. Bahkan ketika aku bersama Mara pun, tubuh kami tak sedekat itu.
Entah setan apa yang merasukiku. Aku pun bergegas bangun dari duduk, lalu berjalan menghampiri mereka.
Tanpa basa-basi, aku menarik lengan Mara hingga tubuhnya terhuyung dan kehilangan keseimbangan. Kehadiranku yang tiba-tiba itu sontak saja membuat pria itu terkejut juga.
"DANIEL?????!" Mara berteriak marah. "Maksud lo apa sih dateng-dateng narik tangan gue gitu?! Sakit tahu!"
Aku tersenyum simpul. "Harusnya gue tanya ... lo ngapain berdua sama cowok lain? Pake mepet-mepet segala?!"
"Lo lebay tahu nggak! Dia itu Aris. Temen satu divisi gue! Lo pasti tahu itu!"
"Gue lebay?" Aku benar-benar tak habis pikir dengan ucapan Mara. "Ya wajar aja kalau gue cemburu lo berduaan sama cowok lain! Gue ini cowok lo, ya!"
Pertengkaran kami langsung mencuri perhatian banyak orang. Banyak orang yang berbisik-bisik, ada juga yang diam-diam merekam.
Wajah Mara yang sudah merah padam menahan malu langsung pergi begitu saja meninggalkan aku tanpa mengatakan apa-apa lagi.