Dunia berubah, begitu pun dengan kehidupan. Manusia datang dan pergi. Seperti menunggu siang dan malam, aku pun memandang kehidupan begitu. Tak ada yang perlu aku khawatirkan di dunia ini, meskipun kadang ada hari di mana aku merasa sedih dan tertekan. Selama masih ada keluarga di sampingku, aku bisa menahan semuanya. Namun, ketika melihat Babeh terbaring lemah di rumah sakit, membuat rasa takutku makin liar luar biasa. Pikiranku meracau entah ke mana. Berandai tentang kemungkinan terburuk.
Hasil lab tes darah masih baik meskipun m Hb Babeh rendah. Setelah tiga hari pulang dari rumah sakit, Babeh diharuskan datang lagi ke rumah sakit untuk pengecekan lebih lanjut dengan dokter penyakit dalam atas rujukan dokter sebelumnya. Namun, Babeh bersikeras bahwa ia baik-baik saja. Babeh bahkan tidak meminum obat yang diberikan oleh dokter.
Tidak ada yang bisa menahan keputusan Babeh ketika beliau sudah bertekad. Begitu pun dengan Ibu, seberapa kuat ia membujuk, Babeh tidak akan mau. Selain punya hati yang lapang, ternyata Babeh juga cukup keras kepala.
'Aku ini cuma masuk angin saja. Cuma kecapekan. Besok juga bakalan sembuh kok!' begitu katanya yang tentu saja tak bisa dibantah dengan dalih apa pun.
Merasa sehat betul, Babeh pun mulai kembali berjualan. Bibirnya masih pucat, tetapi wajahnya sudah penuh semangat. Seolah-olah Babeh hidup untuk bekerja. Kalau sudah begitu, kami tak bisa apa-apa.
Sorenya, Daniel menungguku di depan kelas. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat jantungku hampir copot. Kulihat ia berusaha tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Tanpa perlu pria itu menjelaskan, aku sudah tahu bahwa akan ada kabar buruk lagi.
Babeh sesak napas, memegangi dadanya sembari meringis kesakitan sebelum akhirnya pingsan di tempat
Rasa takutku mulai tak karuan, Mas Aksa pun sama khawatirnya. Sementara Ibu sudah tidak bisa menyembunyikan air matanya.
Babeh melakukan cek tekanan darah serta serangkaian perawatan seperti tes EKG, rontgen dada, dan Ekokardiografi. Dokter bilang kemungkinan Babeh menderita penyakit jantung kronis.
Sejak saat itu, kehidupan keluargaku mulai berubah.
**
Mas Aksa bekerja sangat keras, terlalu keras. Tidak pernah aku melihatnya seperti ini. Mendapatinya bangun pagi, dan tidur menjelang pagi.
Sempat aku dengar dari Ethan kalau banyak anggota kepengurusan yang mengeluh karena Mas Aksa tidak terlalu fokus saat rapat atau pun absen dari kegiatan HIMA. Proker jadi mulur dan tak jelas arahnya ke mana. Berakhir dengan disidang oleh alumni sebelumnya dan dosen pembimbing. Tidak seperti biasanya, Mas Aksa hanya menunduk dengan rasa bersalah.
Keadaan Babeh juga makin tidak stabil. Kalau kecapekan sedikit, pasti langsung sesak napas, pusing, dan keluar keringat dingin. Babeh tidak bisa capek. Untung ada Ibu yang menemaninya.
Menurunnya kondisi kesehatan Babeh membuat usaha Warung Mie Ayam juga jadi tidak karuan. Ibu menggantikan peran Babeh berjualan, tetapi kadang harus tutup lebih awal karena Babeh tak bisa ditinggal lama-lama sendirian. Kadang kalau ada waktu, Mas Aksa-lah yang menggantikannya. Sementara aku masih harus bekerja di kafe O'Eight.
"Gue lihat di postingan IG lo ... ide gue kasih di acc bos, ya?"
Aku mengangguk pelan. Dihadapanku ada Daniel yang sedang menunggu Mara. Kami berdua duduk di salah satu bangku taman, dekat kelas Mara yang kebetulan seniorku di FRSD.
"Iya."
"Kok lama banget di acc-nya?"
"Soalnya gue baru ngajuin 2 minggu yang lalu. Kemarin-kemarin masih ragu dan masih banyak pikiran," kataku berkata jujur.
"Ohya ... gimana keadaan Babeh? Malem kayaknya gue mau ke sana deh. Sekalian ngasih contekan tugas ke Aksa."
"Masih lemes dan terbaring di kasur," balasku. "Mas Aksa absen lagi?"
"Yoi."
"Kenapa?" Aku curiga. Mas Aksa memang pernah ketahuan bolos kelas. Alsannya karena sibuk organisasi atau ikut demo. Akan tetapi, Mas Aksa itu tanggung jawab sama tugas-tugas kuliahnya. Otaknya yang pintar membuat ia tak pernah nyontek atau pun tak mengerjakan tugas-tugasnya. Itu yang membuat Babeh percaya dan tak melarang kesibukannya karena antara organisasi dan akademik berjalan seimbang.
Daniel terlihat kelabakan. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Membuat aku makin gencar mendesaknya. Alasan apa yang akan ia berikan. Alasan sibuk berorganisasi terdengar tak masuk akal.
Namun sayang, percakapan kami harus terhenti ketika Mara datang menghampiri kami. Senyumnya cerah layaknya matahari terbit. Tanpa rasa sungkan, ia langsung memeluk Daniel.
"Udah nunggu lama, ya?!" tanyanya. Pandangan kami pun bertemu, Mara tersenyum ramah padaku. "Eh ada Mentari! Gimana keadaan Babeh, Tar?" Ia pun duduk di tengah-tengah bangku antara aku dan Daniel.
Danil dan Mara pernah menjenguk ke rumah sakit dan beberapa kali ke rumah. Anaknya yang ramah membuat ia mudah akrab dengan banyak orang, termasuk Babeh dan Ibu.
"Lumayan membaik. Tapi masih belum bisa bangun lama. Suka pusing."
"Udah ... istirahat aja dulu. Semoga Babeh cepat sembuh, ya! Kepengen deh kapan-kapan nyobain Mie Ayam-nya. Kata Daniel ... Mie Ayam Babeh paling enak se-DKI Jakarta!"
Aku tersenyum simpul dan mengucapkan terima kasih atas harapan serta doa baik untuk Babeh. "Thanks"
"Oia ... gue mau ketemu Aksa nih. Dia katanya mau ambil slot food di acara FRSD fest. Jadi nggak, ya?"
"Slot? Maksudnya buat booth makanan gitu?" kataku penasaran.
"Iya. Kan minggu depan ada acara FRSD-fest tuh. Sebenarnya sih udah full, nggak bisa dadakan gitu. Tapi karena Aksa nih temen deket gue ... yaaa gue lobi-lobi temen gue yang panitia-lah, eh ternyata masih ada tuh satu kosong."
"Emang buat apa?" tanyaku lagi.
"Buat jualan Mie Ayan lah, Sayang!" jawab Mara yang gemas sendiri. Mungkia ia pikir aku lemot, tapi jujur saja, aku memang tak tahu apa-apa. Kupandangi Daniel yang malah membuang muka ke sembarang arah. Seolah-olah tak peduli percakapan antara aku dan Mara.
"Oh gitu, ya?"
Mara mengangguk cepat. "Ya kan, By?" Kemudian melempar pandangannya ke arah Daniel. Daniel balas dengan senyum paksa, membuat Mara sadar bahwa ia telah salah bicara. Makin saja aku curiga mereka sedang menyembunyikan sesuatu.
Mara tipe orang yang peduli, peka terhadap sekitar. Kalau biasanya orang akan merasa awkward dan kehabisan bahan obrolan, hal itu tak berlaku dengannya. Mara bisa membuat suasana canggung ini jadi cair lagi.
"Eh btw ... gue liat postingan lo di IG! Gue mau dong join kelas gambar cake."
"Boleh, Kak. Lo tinggal chat ke nomor yang tertera di browsur aja."
"Nah ... boleh juga, tuh!" timpal Daniel tiba-tiba. "Sekalian kamu promosiin ke teman-teman dan followers kamu, By! Biar banyak yang daftar. Itung-itung promosiin kafenya Mentari."
"Siap dong! Baru aja aku mau bilang gitu. Aku pasti suruh semua temen-temenku buat datang ke sana."
Mereka melempar senyum satu sama lain. Terlihat sempurna dan serasi. Siapa pun akan tahu bahwa mereka saling melengkapi satu sama lain. Mara yang selalu mendukung mimpi-mimpi Daniel saat keluarganya pun melarang. Atau Daniel yang selalu mendukung apa pun yang Mara lakukan.
Aku paksakan bibir ini tersenyum senormal mungkin. Meksipun berat rasanya.