Aku tidak pernah sepanik dan sesedih ini di dalam hidupku. Bahkan ketika teman SD menjauhiku, atau teman SMA yang memfitnahku mencuri, lalu terang-terangan membully—sampai membuatku hampir celaka—dan nyaris kehilangan nyawaku sendiri dan orang lain. Atau bahkan, ketika Lolly mempermalukan aku di depan banyak orang, seperti yang ia lakukan ketika ada Daniel di kantin FRSD.
Siang menjelang sore, ketika aku baru saja selesai mata kuliah Estetika, aku mendapat panggilan telepon dari Ibu. Dahiku pun bekerut heran, karena biasanya alih-alih menelepon, Ibu lebih memilih mengirimkan pesan.
Tanpa ada rasa curiga, aku pun mengangkat telepon. Di seberang sana, suara Ibu sudah bergetar. Ibu sudah tak mampu menutupi rasa cemas, panik, dan rasa sedihnya.
Ibu bilang Babeh tiba-tiba saja pingsan di warung. Mendengar berita mengejutkan itu membuat aku tak mampu menahan lagi dan langsung pulang ke rumah.
Babeh jarang sekali sakit. Paling parah waktu kena demam berdarah 10 tahun lalu, sampai masuk rumah sakit tiga hari. Meskipun sering mengeluh masuk angin, keesokan hari keadaannya sudah lebih baik. Tiga hari lalu, lagi-lagi Babeh mengeluh masuk angin dan sesak napas. Aku, Ibu, dan Mas Aksa sudah menyuruh Babeh untuk berobat ke dokter, tetapi babeh menolak. Katanya ia hanya perlu istirahat dan minum obat warung saja. Merasa kondisi Babeh baik-baik saja, kami pun tak menanyakan lagi keadaannya. Tidak pernah menyangka keadaan Babeh akan lebih parah.
Suara motor Mas Aksa terdengar memasuki pekarangan rumah. Ia berlari masuk ke dalam sembari menanyakan keadaan Babeh, sementara Ibu mati-matian bersikap tenang agar kakakku tidak ikutan panik.
Mas Aksa duduk di samping Kasur, memandang wajah babeh yang pucat pasi. Sekilas aku melihat air matanya jatuh, tetapi buru-buru ia seka agar akua tau pun ibu tak tahu.
“Kita bawa Babeh ke rumah sakit saja.” Mas Aksa memberi saran. Aku dan ibu saling pandang satu sama lain. Bukan rahasia lagi di keluarga ini kalau Babeh punya alasan sendiri kenapa trauma dengan rumah sakit.
“Tapi, Mas … Mas kan tahu kalau Babeh trauma ke rumah sakit setelah kematian Eyang.”
“Ya, itu kan tujuh tahun yang lalu, Tar. Lagi pula, kalau nggak periksa ke dokter, kita nggak akan tahu Babeh sakit apa. Selama ini, Babeh cuma bilang kecapekan, masuk angin. Babeh bahkan biasa-biasa saja tadi pagi, tetapi tiba-tiba berakhir begini. Gue takut kalau selama ini Babeh menahan rasa sakitnya dan berpura-pura baik-baik saja.”
“Tapi biaya rumah sakit itu mahal, Nduk.”
Kali ini giliran Mas Aksa yang memandang ibu. Ia diam begitu lama, seolah-olah sedang memperhitungkan sesuatu. Keadaan Warung Mie Ayam agak lumayan sepi. Tentu saja itu sangat mempengaruhi pendapatan dan keuangan keluarga. Setelah berdiam diri cukup lama, Mas Aksa pun membulatkan tekadnya. “Jangan khawatir masalah itu. Untuk sementara pakai uang Aksa dulu, Buk. Setelah itu, kita bisa daftar BPJS. Gimana?”
“Uang kamu dari mana?”
“Ada. Tabungan Aksa kok.”
“Tapi kan itu tabungan kamu, Nduk. Ibu sama Babeh nggak mau membebani. Pakai uang modal usaha saja—”
“Bu …” ucap Mas Aksa lembut. “Babeh itu orang tua Aksa. Sudah sepantasnya Aksa juga bertanggung jawab, apalagi Aksa anak pertama laki-laki di keluarga ini.”
“Tapi—”
“Udah nggak ada tapi-tapi-an. Sekarang … fokus Ibu ke Babeh aja. Masalah biaya dan pendaftaran ini, itu, semua Aksa yang tanggung. Mentari juga bantu Ibu, ya!”
Aku mengangguk singkat. Tak seperti Mas Aksa yang vocal, aku terlalu pasif untuk mengutarakan pendapatku. Padahal aku tahu kalau sebenarnya Mas Aksa juga mati-matian berusaha bersikap tenang dan mencari jalan keluar.
Tak lama, suara klakson mobil terdengar dari depan rumah. Ethan membuka kaca mobilnya, sementara Daniel yang masih mengenakan baju polos dan celana kolor keluar dari mobil, lalu berlari panik masuk ke dalam rumah. Aku rasa ia baru saja bangun tidur dan langsung kemari ketika mendengar kabar Babeh pingsan. “Gimana keadaan Babeh, Sa?”
“Mau gue bawa ke dokter, Niel,” jawab Mas Aksa.
Aku pandangi air muka Daniel yang terlihat sudah carut marut. Aku bisa melihat kekhawatiran yang luar biasa dari wajahnya. Tangannya dengan lembut mengelus tangan Babeh yang terkulai lemas, mengigit bibir bawahnya ketika merasa tak tega melihat wajah Babeh yang pucat.
“Yuk, kita papah aja bertiga masuk ke dalam mobil,” kata Ethan yang terlihat lebih tegar dari Mas Aksa dan Daniel. “Mentari tolong bawain bantal aja ya buat sanggahan kepala Babeh.”
Aku yang termangu langsung sadar dan melakukan apa yang Ethan perintahkan. Namun, sebelum melangkahkan kakiku pergi, tangan Daniel sudah lebih dulu memegang tanganku dan berkata, “Udah gue aja. Lo tetap di sini, temenin Babeh sama Ibu.”
**
Setelah mengantarkan Babeh ke IGD, aku dan Ethan memutuskan untuk keluar ruangan karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Lagi pula sudah ada Aksa, Ibu, dan Mentari. Aku rasa, mereka yang berhak mengetahui keadaan Babeh yang sebenarnya.
Kami pun menunggu di kantin rumah sakit yang letaknya tak jauh dari masjid utama. Selang satu jam, Aksa mengirimkan pesan ke grup chat yang isinya hanya kami bertiga.
Aksa : Lo pada lagi pegang duit nggak? Kalau ada … gue mau pinjem. Bulan depan nanti gue bayar, deh!
Meskipun hidup sederhana, Aksa terkenal anti yang samanya hutang. Selama berteman, ia tak pernah pinjem ini, itu. Ia bahkan lebih banyak memberi daripada menerima dalam banyal hal. Maka kalau dia sampai begini, berarti ia sedang sangat membutuhkannya.
Aku berusaha menghitung lembaran uang yang ada di dompet dan ATM. Berapa pun pasti akan aku pinjamkan pada Aksa asalkan Babeh bisa mendapatkan perawatan yang terbaik. Aku sudah menganggap Babeh seperti ayah kandungku sendiri. Ini saatnya aku membalas kebaikan Babeh.
Kupandangi Ethan yang mengepulkan asap rokoknya ke udara tanpa berkomentar apa-apa. Tak lama Aksa datang dengan wajah tak karuan. Wajahnya bahkan lebih parah daripada ketika ia ditangkap polisi karena aksi demo di pemerintahan. Aksa merebahkan tubuhnya ke atas meja, memandang lurus ke arah asbak yang penuh dengan abu rokok. “Bagi rokok dong!”
Biasanya Ethan akan mengomel karena jatah rokoknya diambil, tetapi kali ini ia memberikannya dengan cuma-Cuma. Ia menyodorkan kotak rokok putih, lengkap dengan korek miliknya.
“Thanks, Bro!” ujar Aksa yang langsung menyalakan dan menghisap rokoknya. Kami bertiga diam cukup lama. Tidak ada yang berani menanyakan keadaan Babeh. Takut kalau hal ini akan membuat perasaan Aksa makin tak karuan. “Bokap baru aja ambil darah buat di cek ke lab. Hasilnya 20 menit keluar. Meskipun belum keluar, tapi gue tahu kalau ini bukan sakit yang biasa-biasa aja kayak masuk angin yang bokap bilang,” ujar Aksa sendiri tanpa diminta. “Kondisi keuangan keluarga gue lagi nggak baik-baik aja. Uang tabungan habis buat bayar uang masuk kuliah Mentari ke universitas,” tambahnya lagi tanpa melihat ke arah kami. Aksa terus menghisap nikotin itu, lalu membuang asapnya ke udara.
“Mudah-mudahan cuma karena kecapekan aja, Sa,” kataku berusaha se-positif mungkin meskipun yakin bahwa kata-kataku ini tak akan membuat perasaan Aksa jauh lebih baik.
“Bokap gue nggak pernah sampai pingsan begini, Niel. Gue takut selama ini dia menutupi rasa sakitnya dan bersikap baik-baik aja, Niel.”
“Butuh berapa?” tanya Ethan sambil mematikan rokoknya di asbak.
“Gue belum tahu,” kata Aksa. “Tapi yang jelas jumlah yang besar. Lo tahu kan kalau biaya rumah sakit nggak murah.”
“Ya. Asalkan Babeh bisa dapat perawatan yang terbaik. Gue sama Daniel pasti bantuin lo, Sa!”
“Tapi sebenarnya, gue nggak bisa pastiin kembaliin kapan. Gue harus cari kerja sambilan—”
“Lo bisa balikin kapan aja lo bisa,” katanya lagi. “Lo tuh sahabat kita. Lo nggak akan menghadapi ini sendirin. Ada gue … ada Daniel.”
Aku tidak pernah merasa se-emosional ini ketika bersama mereka. Ucapan Ethan tidak saja membuat perasaan Aksa menghangat, tetapi juga aku. Teringat kembali awal persahabatan kami bisa terjalin, masa di mana kami saling menemani dalam senang dan susah. Sudah banyak hal yang kami lalui bersama dan tidak ada satu hari pun yang membuat aku menyesal bertemu dan mengenal mereka.
Aksa dan Ethan adalah sahabat. Persahabatan yang sudah sepatutnya aku hargai dan syukuri.