Loading...
Logo TinLit
Read Story - Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
MENU
About Us  

Daniel, yuk kita nonton!"

"Kamu manggung kan hari ini? Abis rapat BEM, aku ke kafe, ya!"

"Kamu hebat, deh. Aku bangga banget sama kamu."

"Sayang hari ini aku masakin kamu sarapan."

"I miss you. Aku boleh ke kosan nggak sekalian anter makan malam?"

Suerrrr! Mara itu orangnya baik banget. Baiknya gak ketulungan. Selain baik, ia juga cantik. Dengan bangga aku memperkenalkannya sebagai pacarku. Pacar yang sangat perhatian. Setiap hari nggak pernah aku kekurangan kasih sayang. Mara adalah cewek yang aku idam-idamkan selama ini.

Gak bisa dipungkiri kalau kehadiran Mara sedikit banyaknya mengusir kesedihanku setelah kepergian Oma. Dan aku bersyukur akan hal itu.

Mara selalu menemaniku setiap manggung di kafe. Sebelum mengantarnya ke rumah, bisanya kita mampir dulu ke warung ayam pinggir jalan di tengah kota. Menikmati makanan sambil lihat kendaraan lalu-lalang. Lihat Mara yang ceria, seperti memberikan aku kekuatan. Seketika rasa capekku jadi hilang. Sayangnya belakangan ini Mara makin sibuk dengan kegiatan kepanitiaannya. Seperti hari ini, ia tidak datang ke kafe untuk menemaniku. Aku jadi bingung mau kemana setelah selesai ngeband dari kafe.

"Tari ... udah pulang?" tanyaku pada Mentari yang berjalan sambil menundukan wajahnya ke bawah. Ia sudah menggendong ras ransel dan terlihat menenteng dua keresek plastik yang aku yakin isinya sampah.

Kami tak sengaja bertemu di belokan gang dekat parkiran motor jejeran ruko.

Wajahnya terkejut. Mungkin karena aku menyapanya dengan tiba-tiba. "Eh. Iya nih udah. Kak Niel juga udah kelar perform-nya?"

"Udah daritadi," balasku. "Pulang sama Aksa apa naik ojol?"

“Naik Ojol.”

“Lo belum pesen kan, ya? Bareng gue aja yuk!”

"Boleh," jawab Mentari yang tak menolak ajakanku seperti biasanya. Mungkin kejadian kemarin membuatnya membuka diri denganku. Meskipun sudah mengenal lama, interkasi kami bisa dihitung pakai jari.

“Sip deh! By the way … lo udah makan belum?”

Mentari menggeleng pelan.

“Nah pas banget nih! Gue juga belum makan. Gimana kalua kita makan bareng? Ya … makan ayam pecel biasa sih di pinggir jalan. Nggak jauh kok dari sini.”

“Gak masalah kok,” katanya senetral, bibirnya sedikit tersenyum. Senyum yang jarang sekali terlihat di wajahnya. Setidaknya itu yang aku ketahui selama mengenal Mentari.

**

“Lo sering ke sini, Kak?” itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Mentari setelah sampai di warung pecel ayam langganan aku dan Mara. Setelah mendapat tempat duduk, kami langsung memesan pesanan dan menunggu hingga makanannya siap. Diam-diam, aku memperhatikan gerak gerik Mentari yang sedang menghitung jumlah kursi yang ada di sini.

“Ya, lumayanlah. Biasanya gue datang sama Mara." Lalu tanpa sadar aku melakukan yang Mentari lakukan—menghitung meja yang ada di warung ini—lalu berkata, “Ada 10 meja di sini ... tiap meja punya 4 kursi. Totalnya ada 40 kursi. Dan terisi 28 kursi, termasuk kita berdua. Jadi ... masih ada 12 kursi yang kosong.”

Mendengar jawabanku Mentari terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Seolah aku bisa membaca pikirannya. “Lo dukun, ya? Kok bisa baca pikiran gue?”

“Mulut lo aja komat-kamit begitu, jelas gue tahu," kataku diselingi oleh tawa yang dibalas oleh Mentari tawa yang tak kalah kencang. Seolah-olah sedang membicarakan hal konyol yang hanya kita berdua yang mengerti "Eh, gue nggak tahu ternyata lo serandom ini orangnya. Biasanya kan pendiam.”

“Masa sih?”

Aku mengangguk semangat. “Iya tahu. Hm … apa mungkin gue nggak tahu karena kita jarang ngobrol kali, ya?”

“Mungkin aja. "Tak lama pesanan kami datang. Mentari menyantap suapan pertamanya. Hal yang paling aku suka adalah melihat ekspresinya yang berubah sumeringah. Selain cokelat, makanan enak memang bisa mengubah mood seseorang. “Sumpah ini enak banget! Sambel pecelnya juga nggak terlalu pedes.”

“Nah, ya, kan?” Aku ikutan antusias. Menemukan makanan murah di kota besar adalah anugerah. Apalagi kalau harga makanannya ramah di kantong. “Eh, balik lagi ke omongan yang tadi. Kenapa lo ngitung meja di sini? Itu beneran random atau emang ada sesuatu yang pengen lo tahu?”

Mentari berusaha mengunyah makanan lebih dulu, lalu menyambar es teh manis pesanan sebelum menjawab pertanyaanku. “Nggak sih. Kayaknya gue udah lama nggak ngeliat Kafe O’Eight serame ini. Terakhir mungkin waktu promo pembukaan kafe. Apalagi setelah insiden kebakaran kemarin, makin sepi aja pelanggan yang datang,” ujarnya dengan mimik wajah sedih.

Aku mengangguk-anggukan kepala, seolah paham dengan kecemasan Mentari. Ruko di daerah sana memang didominasi oleh usaha food and baverage, selebihnya toko material, tempat les, atau pun tempat kantor. Untuk  ukuran sebuah kafe, Kafe O’Eight termasuk kafe yang memiliki space paling sempit dibandingkan kafe sekitarnya. Menu yang ditawarkan pun masih belum bervariasi. Sementara target utama ruko-ruko di sana adalah orang-orang kantor, atau anak-anak muda yang kepengen nongkrong. Mereka lebih butuh space yang luas sehingga lebih banyak orang yang memilih pesan take away di Kafe O’Eight.

Berbeda dengan Kafe Let It Be yang selalu ramai pengunjung.Selain punya space yang luas, mereka juga punya promo menarik tiap minggunya. Tidak hanya anak muda, banyak juga orang ngantor yang akhirnya datang ke sana untuk mencari hiburan.

“Terus … udah ngobrolin strategi belum sama bos untuk ke depan?”

Mentari menggeleng lemah. “Bos itu orang baru yang nyempulng ke dunia bisnis. Belum punya pengalaman juga buat mensiasati kondisi begini. Minggu lalu udah pernah sih ngobrolin hal ini karena penjualan makin menurun. Tapi—”

“Tapi apa?”

“Bos bilang dia mau dengar pendapat gue sama Adrian.”

“Terus … inovasi … eum … maksudnya gebrakan lo apa?”

“Gue udah mau masukin kafe ke aplikasi pesan online sih, Kak. Baru mau coba masukin menu di sana dan mikirin promo yang menarik … kayak buy get one, atau minimal pembelian terus dapet hadiah gitu.”

“Ah, itu standard." Ucapanku yang kelewat ceplas-ceplos membuat Mentari sedikit terkejut, merosotkan pundaknya lemas. Ia terlihat makin putus asa. “Kira-kira gebrakan lo itu membuat minimal nama Kafe O’Eight dikenal dulu. Contohnya kayak Kafe Let It Be. Mereka tuh ada aja idenya. Selain live music, mereka juga sering ngadain event-event buat pelanggannya. Nggak jarang event mereka viral di sosmed dan bikin penasaran orang mau dateng."

Makin lesu saja wajah Mentari. Dilahapnya suapan terakhir, dan meminum minumannya sampai tandas tak tersisa. Sementara aku masih mengunyah makanan sambil memandang Mentari menopang dagu sembari melihat lalu Lalang jalanan ibu kota. “Kenapa gue nggak visioner banget jadi orang, ya?”

“Terus … si Adrian itu punya usul apa?”

“Dia?” Bibir Mentari mengerucut sebal, seolah pria itu tidak bisa diandalkan dalam hal ini. “Dia mah ikut aku aja gimana, Kak.”

Setelah selesai memakan makananku. Aku pun jadi ikut berpikir. Ikutan menopang dagu, memandang lalu Lalang ibu kota. Aku memejamkan mata sejenak, biasanya inspirasi selalu datang tiba-tiba. Otakku berusaha keras memikirkan hal yang unik dan menarik, yang tentunya hal itu dikuasai Mentari juga.

Kemajuan teknologi sudah semakin memudahkan manusia. Mulai dari komunikasi sampai urusan bisnis. Semuanya jadi mudah. Bahkan banyak juga usaha kecil yang mendadak ramai karena kekuatan social media. Intinya harus satu: menarik dan jadi viral. Mentari harus punya ide yang menarik yang bisa buat orang pensaran dan datang ke kafe itu.

“Lo kan anak Seni dan Design, ya? Menu di kafe lo juga kayak cake gitu, kan? Gimana kalau adain acara hias cake? Dijadwalin gitu misal seminggu sekali, atau seminggu dua kali?”

“Woaaah!” Mentari terlihat takjub dengan ideku. Matanya berbinar-binar, senyumnya makin mengembang seperti ia telah menemukan jalan keluar.

“Lo juga pasti seneng, kan? Gue denger dari Aksa lo seneng gambar dan Lukis gitu. Kegiatan ini juga bakal jadi hal yang baru buat lo. Ya, kan?”

Mentari mengangguk senang.

“Coba lo obrolin dulu sama bos. Kalau bos oke … nanti gue bantu promoin deh!” kataku menutup pembicaraan hari itu karena setelahnya ponsel Mentari berbunyi.

“Dari Mas Aksa,” katanya memberi penjelasan.

Setelah itu, aku mengantarnya pulang ke rumah. Tidak seperti dulu, di sepanjang perjalanan pulang, kami jadi lebih banyak mengobrol tentang banyak hal. Baru beberapa hari saja berusaha mengenal dekat, ternyata banyak sisi Mentari yang baru aku tahu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sweet Equivalent [18+]
4676      1222     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Story of April
2485      891     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…
Aku Benci Hujan
7056      1861     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Listen To My HeartBeat
580      351     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Premium
RESTART [21+]
9304      3238     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.
Gray November
3666      1286     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
1526      770     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...
Konspirasi Asa
2802      966     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Mendadak Halal
8041      2198     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Gi
1156      671     16     
Romance
Namina Hazeera seorang gadis SMA yang harus mengalami peliknya kehidupan setelah ibunya meninggal. Namina harus bekerja paruh waktu di sebuah toko roti milik sahabatnya. Gadis yang duduk di bangku kelas X itu terlibat dalam kisah cinta gila bersama Gi Kilian Hanafi, seorang putra pemilik yayasan tempat sekolah keduanya berada. Ini kisah cinta mereka yang ingin sembuh dari luka dan mereka yang...