Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seiko
MENU
About Us  

Dua bulan berlalu dengan begitu cepat. Tidak terasa, proyek yang kutangani sudah hampir selesai. Sekarang, tugasku hanya memastikan semua desain unggahan media sosial sesuai dengan brief yang sudah kubuat. Juga memastikan bahwa admin media sosial menaikkan desain unggahan sesuai jadwal yang kutentukan, serta memantau progresnya. Apakah insight-nya bagus? Apakah reach-nya sesuai perkiraan? Dan apakah-apakah yang lain sebagai bahan riset strategi marketing berikutnya.

Mungkin, banyak dari orang-orang yang heran. Kenapa pekerjaanku hanya sebatas ini?

Jawabannya sederhana. Ineffable tidak memberlakukan sistem double job dan sebagainya. Semua sudah sesuai porsinya, sesuai nama pekerjaannya. Jadi, sebagai content writer, tugasku hanya menganalisis tren dan membuat rencana unggahan untuk branding serta marketing—jika memang dibutuhkan.

Hampir dua minggu belakangan, aku juga sering melihat Kak Tyas beberapa kali bolak-balik masuk ruangan Pak Cakra. Dari berita yang kudengar, Kak Tyas sedang mendapat sebuah proyek. Cukup besar, katanya. Namun, entahlah. Tak banyak yang tahu karena Kak Tyas menutup segala macam informasi keluar dari proyeknya. Seolah ini adalah sebuah proyek rahasia yang bisa batal jika ada orang lain yang tahu. Bahkan saat ini pun Kak Tyas masih di ruangan Pak Cakra.

“Sha, jadi ikut ke warung Pak Jo enggak?”

Suara Kak Rere membuat mataku langsung beralih dari layar komputer. Aku baru ingat jika tadi pagi diajak ke warung Pak Jo untuk makan siang.

Sejak dekat dengan mereka, aku terdaftar menjadi salah satu langganan Pak Jo. Soto dagingnya selalu berhasil membuat perutku bahagia. Entah kenapa, soto daging bisa menjadi teman terbaik bagi otak yang sedang panas-panasnya.

Segera aku beranjak bangun, setelah meraih dompet dari tas kecilku. “Jadi dong. Udah laper banget ini,” balasku dengan bersemangat sambil mengusap perut. Memberikan tanda bahwa cacing dalam perutku sudah tak sabar menyambut soto daging racikan Pak Jo.

Dengan sigap, Kak Monik segera mengalungkan lengan kirinya ke leherku. Menarikku berjalan tepat di sampingnya sambil tertawa bersama.

Riuh dan ramai. Itulah kami. Meskipun semua juga ramai tiap jam istirahat, kelompokku adalah pelopor huru-hara. Kami yang paling ramai. Maka dari itu, setiap jam istirahat, kami lebih sering memilih untuk makan di luar. Entah di kantin, ataupun di warung luar kantor. Bukannya kenapa. Beberapa orang yang makan siang di kantor terlalu cinta damai. Jadi kami memilih untuk mencari tempat lain agar lebih bebas.

Sayangnya, belum sempat kami mendekati lift, kemunculan Pak Cakra dari ruangannya langsung membuat kami menghentikan langkah. Aku mengulas senyum segan. Rasanya, kami seperti anak buah yang hanya peduli isi perut. Bahkan atasan kami saja sepertinya belum terpikir untuk istirahat.

“Mau makan siang ya, Sha?”

Pertanyaan yang terlontar dari Pak Cakra membuatku membeku. Kenapa tiba-tiba aku?

Hening untuk beberapa saat. Aku seperti kehabisan kata untuk menjawab. Atau mungkin lebih tepatnya, aku tidak tahu bagaimana menjawab sebuah pertanyaan.

Sikutan dari sebelah kiri membuatku tersadar. Saat kutoleh, Kak Evan menggerakkan alisnya, juga matanya bergerak seolah sedang menunjuk Pak Cakra yang masih menunggu jawabanku di ambang pintu ruangannya.

“A-ah, iya, Pak,” jawabku dengan tergagap. “Kenapa ya, Pak?” lanjutku.

Rasanya aku ingin menghilang saat ini juga. Kenapa aku malah melontarkan pertanyaan seperti itu? Kenapa aku tidak menemukan kalimat tanya yang lain?

Tubuh Pak Cakra yang tadi agak condong ke luar, kini telah berdiri tegap. Satu sisi tubuhnya sudah disandarkan ke dinding ruangannya. Ia melipat lengan kemejanya dengan perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dari kami—atau mungkin dariku.

“Bisa saya minta waktu kamu sebentar? Ada yang perlu saya bicarakan.”

Kalimat permintaan Pak Cakra membuat kami berenam segera saling pandang. Tumben sekali. Padahal biasanya Pak Cakra paling anti memanggil anggota timnya saat jam istirahat begini.

“Saya janji. Sebelum jam istirahat berakhir, kamu sudah bisa keluar dari ruangan saya dan makan siang,” lanjut Pak Cakra saat tak kunjung mendapat jawaban dariku.

Lagi, sikutan Kak Evan membuatku langsung mengerjap. “A-ah, baik, Pak. Bisa,” jawabku lagi dengan tergagap.

Tampak Pak Cakra mengangguk. “Saya tunggu di dalam,” balasnya dan langsung kembali masuk ke ruangan.

Perlahan, aku melepas lingkaran tangan Kak Monik yang sedari tadi masih setia melilit leherku. Kemudian bergerak keluar dari kerumunanku.

“Sha, mau nitip sesuatu?” tawar Kak Haikal yang membuatku tersenyum tipis. Aku memang beruntung mengenal mereka.

Di sebelahnya, Kak Rere mengangguk mantap. “Iya, nitip aja. Apa aja bakal diusahain deh. Gue ngeri lo enggak sempet keluar buat makan siang, nanti,” dukung Kak Rere yang membuatku langsung tertawa pelan.

“Yakin mau dititipin apa aja?” tanyaku sambil menaik-turunkan alis.

Dengan kompak, mereka mengangguk. Kekompakan mereka itu tampak seperti anak kucing yang sedang antusias dengan mainannya yang digerakkan naik turun.

“Gue nitip daging unta asli Arab.”

Jawabanku secara spontan menuai berbagai respons. Mendadak aku ditarik, dipiting lehernya, diusak rambutnya, dicubit pinggangnya, juga ditangkup pipinya hingga bibirku mengerucut.

Untuk sejenak, kami tertawa. Hingga akhirnya kami sama-sama terdiam saat merasa tawa kami terlalu keras terdengar. Setelah terbebas, aku segera merapikan diri sekenanya.

“Serius nih, Sha. Lo mau nitip apa?” tukas Ambar lagi setelah kami berhasil mengontrol diri masing-masing.

Aku berdeham pelan. “Nitip kebab aja deh. Beli di outlet-nya Bang Deka, ya. Bilang aja pesenan gue, kayak biasa. Udah paham dia,” jelasku sesederhana mungkin.

Serempak, mereka mengangguk. Kemudian mereka beranjak sambil melambai, seolah sedang mengucapkan salam perpisahan. Tak lupa, Kak Evan juga tetap memperlihatkan gestur mengejek andalannya.

Setelah mereka benar-benar menghilang dari pandangan, aku segera beranjak masuk ke ruangan Pak Cakra. Di dalam, tampak Pak Cakra duduk berhadapan dengan Kak Tyas. Aku tak tahu apa yang terjadi. Namun, entah kenapa atmosfer dalam ruangan ini terasa kurang menyenangkan.

Mimik wajah Pak Cakra terlihat tak terlalu bersahabat. Kedua tangannya seperti sedang memijat pelipis dengan perlahan. Beberapa kerutan juga tampak bermunculan di keningnya. Sementara itu, posisi duduk Kak Tyas yang memunggungiku membuatku tak bisa melihat bagaimana wajah seniorku itu. Yang kulihat hanya tubuhnya yang sedikit membungkuk.

“Permisi, Pak,” ucapku yang langsung memecah keheningan.

Dua orang di seberangku langsung menoleh. Menatap dengan ekspresi yang sangat berbanding terbalik. Pak Cakra menatapku sambil tersenyum tipis, seperti sedang melihat suatu hal yang sangat baik. Sementara Kak Tyas, dia seperti ... tidak menyukai kehadiranku di sana.

Pak Cakra segera bangkit dari duduknya. “Silakan duduk, Sha,” tukasnya dengan gestur tangan yang mempersilakanku duduk di kursi yang tersisa.

Tanpa banyak tanya, aku segera mengangguk dan duduk serapi mungkin. Tempat dudukku yang persis di samping Kak Tyas, membuatku tahu bahwa seniorku itu sudah mulai melayangkan tatapan tajamnya padaku.

Dehaman keras dari Pak Cakra membuatku lepas dari tatapan tak menyenangkan Kak Tyas. Aku menatap Pak Cakra dengan saksama sekaligus tegang, seolah sedang menunggu putusan pengadilan.

“Mulai sekarang, kamu akan di-backup oleh Falisha.”

“Apa?”

Aku dan Kak Tyas berteriak hampir bersamaan sebagai respons atas pernyataan Pak Cakra barusan.

Ada apa sebenarnya?

“Pak, maaf. Tapi—”

“Kenapa harus Falisha, Pak? Saya bisa ajukan partner yang lebih kompeten sebagai backup,” potong Kak Tyas yang membuatku langsung menatap sengit ke arahnya.

Apa-apaan kalimatnya barusan?

Aku kembali menatap Pak Cakra. Bersiap ingin menuntut penjelasan. Di depanku, tampak Pak Cakra sudah menatap tajam pada Kak Tyas sambil menggeleng pelan.

“Saya enggak bisa sembarang kasih proyek,” tutur Pak Cakra dengan nada bicara yang kurasa telah ia atur sedemikian rupa agar tetap terdengar sopan.

Terdengar helaan napas panjang dari sampingku. Saat kutoleh, Kak Tyas seperti tak bisa mengontrol sopan santunnya. Ia sudah duduk bersandar di kursi, seolah sedang bicara dengan seorang teman dekat.

“Pak.” Kak Tyas memajukan tubuhnya. Seperti orang yang berniat mengintimidasi lawannya. “Mohon maaf jika saya lancang. Tapi saya sudah bekerja hampir tujuh tahun di sini. Saya sudah melihat kinerja teman-teman yang lain. Bukankah Bapak bilang bahwa proyek ini bukan untuk main-main? Apalagi ini klien baru yang harus diyakinkan. Justru jika dengan Falisha, saya tidak yakin mereka akan mau melanjutkan kerjasama dengan kita, ke depannya.”

Mendengar kalimat panjang Kak Tyas, rahangku rasanya mau jatuh ke lantai. Kenapa mulut seniorku itu begitu enteng untuk bicara? Lagi pula, bukankah kalimatnya seolah sedang mengatakan bahwa aku sama sekali tidak kompeten?

“Saya tahu siapa yang cocok menjadi backup saya di proyek ini, Pak. Saya bisa jamin—”

“Tidak. Saya tidak menerima rekomendasi dari siapa pun. Tolong diingat. Meskipun kamu sudah bekerja di sini hampir tujuh tahun, tapi saya atasan kamu. Saya memonitor pekerjaan semua tim setiap hari. Saya tahu progress mereka masing-masing. Dan saya juga lebih tahu siapa yang kamu butuhkan,” potong Pak Cakra dengan tegas. Tak lupa, ia memberikan penekanan yang terdengar sangat tegas di kalimat terakhir yang ia ucapkan.

Aku sendiri hanya diam di tempat. Otakku masih terlalu kesulitan untuk merangkai semua kejadian dan segala kemungkinan yang sudah terjadi sebelum aku masuk ke ruangan Pak Cakra.

“Lagi pula kalau kamu memang profesional, harusnya saya tidak harus sampai memanggilmu ke ruangan untuk urusan begini. Bisa-bisanya saat proses planning saya juga mendapat keluhan dari klien? Itu yang dibilang profesional?” lanjut Pak Cakra yang lebih terlihat seperti sedang menumpahkan keluh kesahnya sebagai seorang atasan.

Aku menatap Kak Tyas melalui ekor mata. Tangannya saling bermain di atas pahanya. Seperti menunjukkan bahwa ia sedang cemas.

“Saya hanya butuh sedikit waktu penyesuaian, Pak,” balas Kak Tyas dengan suara lemah. Seolah sudah menyerah akan kekeraskepalaannya.

Helaan napas kini terdengar dari arah tubuh Pak Cakra. Pria berusia 30an itu sudah menyandarkan tubuhnya. “Justru karena itu. Kita enggak punya banyak waktu, Tyas. Saya bahkan sudah kasih kamu banyak kelonggaran. Saya sudah tawarkan backup untuk kamu dari awal. Tapi kamu tolak dan bilang kalau semua bisa kamu urus sendiri. Tapi ternyata apa?”

Sorot mata Pak Cakra kali ini benar-benar tajam. Dan sejujurnya, itu tampak sangat mengerikan. Aku memang beberapa kali pernah melihat Pak Cakra marah. Namun, untuk yang kali ini, sepertinya sudah tak tertolong.

“Tolong beri saya—”

“Mereka cuma beri tambahan waktu satu minggu. Mau atau tidak, saya akan tetap menjadikan Falisha sebagai backup dalam proyek ini. Itu keputusan final dan tidak dapat diganggu gugat,” putus Pak Cakra begitu saja. Dan aku tahu, tak akan ada yang bisa mengubah keputusannya selain kematian sang backup yaitu aku.

Susah payah, aku menelan ludah. Jadi mulai hari ini aku akan bekerjasama dengan Kak Tyas? Astaga. Aku tak bisa membayangkannya.

 “Falisha.”

Aku yang baru mulai menekuri garis tanganku sendiri, segera beralih menatap Pak Cakra. “Iya, Pak?”

“Tolong siapkan beberapa file. Untuk rinciannya akan saya kirim ke surel. Saya minta semuanya bisa selesai kurang dari tiga hari, sebelum meeting dengan klien ini dilaksanakan. Bisa?”

Tenggorokanku terasa begitu kering kali ini. Bahkan cenderung berpasir. Suasana seperti ini sangat tidak menyenangkan. Namun, aku juga tak mungkin bisa menolak lagi.

Pelan, aku mengangguk. “Saya usahakan, Pak.”

Begitu saja, sebuah senyum tipis terulas di bibir tebal kehitaman milik Pak Cakra. Seperti baru saja mendapat sebuah penyegaran setelah tadi menahan emosi.

“Kalau begitu, kalian boleh kembali.”

Kalimat penutup dari Pak Cakra membuatku segera beranjak dari tempat duduk. Ternyata, gerakanku hampir bersamaan dengan Kak Tyas. Sebagai junior yang baik, aku mempersilakan Kak Tyas keluar lebih dulu setelah kami pamit kepada Pak Cakra.

Saat keluar dari ruangan, kulihat kelima sahabatku sudah ada di mejanya masing-masing. Juga, tampak seplastik kebab pesananku sudah ada di meja. Bersemangat, aku segera menuju meja kerjaku secepat mungkin. Namun, ternyata langkah Kak Tyas berhasil mendahuluiku.

Saat berada tepat di sisiku, Kak Tyas berhenti melangkah dan menatapku sengit. “Jangan bangga. Lo harus tahu. Dari awal, gue enggak butuh bantuan lo.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
UFUK
12      10     0     
Inspirational
Hara merasa senang dengan fakta bahwa teman barunya ternyata punya kisah hidup yang tidak lebih baik darinya. Sayangnya Hara tak cermat, semakin bersemangat ia memanfaatkan rahasia Kai, semakin banyak ia terlibat masalah. Hebatnya setiap masalah yang tercipta mampu menjarakkan Hara dari dunianya yang kacau. Kehadiran Kai berhasil membuat Hara kembali berani bermimpi. Lalu saat gadis tomboy ...
Interaksi
533      369     0     
Romance
Ada manusia yang benar benar tidak hidup di bumi, sebagian dari mereka menciptakan dunia mereka sendiri. Seperti halnya Bulan dan Yolanda. Bulan, yang terlalu terobsesi dengan buku novel dan Yolanda yang terlalu fanatik pada Korea. Dua duanya saling sibuk hingga berteman panjang. Saat mereka mencapai umur 18 dan memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama, perasaan takut melanda. Dan berencana u...
Switch Career, Switch Life
406      342     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Aku Benci Hujan
7380      1945     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
KILLOVE
4615      1437     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Menjadi Aku
520      403     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
Mind Maintenance: Service Berkala untuk Isi Kepala
109      63     0     
Non Fiction
Mind Maintenance: Service Berkala untuk Isi Kepala Panduan Merawat Mental Seperti Merawat Mesin Mobil Pernah merasa kepalamu panas, emosimu meledak-ledak, atau hatimu tiba-tiba kosong tanpa sebab? Mungkin bukan karena hidupmu salah arah, tapi karena kamu lupa servis berkala isi kepalamu sendiri. Buku ini mengajakmu merawat mental dengan pendekatan yang sederhana namun penuh maknaibarat mer...
Seteduh Taman Surga
1419      594     3     
Romance
Tentang kisah cinta antara seorang santriwati yang barbar dan gemar membuat masalah, dengan putra Kyai pengasuh pesantren.
The Unbreakable Love
55      54     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
Toko Kelontong di Sudut Desa
5666      1997     3     
Fantasy
Bunda pernah berkata pada anak gadisnya, bahwa cinta terbaik seorang lelaki hanya dimiliki oleh ayah untuk anaknya. Namun, tidak dengan Afuya, yang semenjak usia tujuh tahun hampir lupa kasih sayang ayah itu seperti apa. Benar kata bundanya, tetapi hal itu berlaku bagi ibu dan kakeknya, bukan dirinya dan sang ayah. Kehidupan Afuya sedikit berantakan, saat malaikat tak bersayapnya memutuskan m...