Laura selesai memasang jadwal kelas tambahan di mading belakang kelas. Di kanan-kirinya sudah berkumpul teman-teman satu kelasnya untuk melihat jadwal tersebut. "Gila sampai jumat loh. Gue kira sampai kamis doang."
Amara melipat tangan di depan dada. "Dih. Mana akutansi digabung sama sejarah lagi. Ngantuk bet dah!"
Laura terkekeh sambil mengangguk bisa ia bayangkan wajah Pak Khairul dan suara mendayu-dayu juga napas terenggah-enggah menjelaskan materi sejarah— yang guru muda saja belum pasti bisa membangkitkan gairah belajar apalagi guru yang sudah berumur.
Laura berbalik, detik itu juga pandangannya tidak sengaja bertemu dengan mata Sergio yang duduk di baris paling belakang bersandar di dinding. Alis Laura bertaut tapi ia tidak mengambil pusing dan segera kembali ke bangkunya.
"La, ganti sekarang ayo," ajak April sudah membawa paperbag berisi seragam olahraga.
Laura mengangguk lalu meraih seragam olahraga yang ada di dalam ranselnya. Sembari memeluk seragam dengan satu tangan, yang lain mengamit tangan April dan mereka keluar kelas bersama dengan murid perempuan lainnya.
"Anak-anak dari tadi ngobrolin Grace deh, La."
Laura menoleh ke arah April. "Udah ada kabar?"
"Kata anak-anak kelasnya sih... kemarin pas pulang sekolah omnya gitu dateng ke sekolah. Marah-marah gitu."
"Hah? Kenapa?"
"Pokoknya ngata-ngatain sekolah gak becuslah, bilang kalau Grace itu anak baik-baik di rumah! Gak pernah macem-macem apalagi sampai pakai drugs!" April memelankan suaranya tapi kemudian mencibir juga. "Lah kalau baik-baik di rumah kan, belum tentu di sekolah juga? kaya gak pernah bergaul aja kakaknya Grace."
"Jadi om atau kakaknya yang ke sekolah?"
"Gak tau deh. Pokoknya bikin ribut aja."
"Tapi Gracenya gimana?"
April menggelengkan kepala. "Belum ada kabar, tapi denger-denger dari adek gue, guru-guru bakal sering ngadain razia deh." April memiliki adik kandung satu tahun di bawahnya namanya Juni— berbeda dengan April yang sekolah-pulang, Juni aktif dibanyak kegiatan organisasi sehingga relasi perempuan itu sangat luas dan rata-rata semua informasi yang diberikan oleh Juni benar adanya. "Kayaknya guru-guru pada curiga deh."
Laura menaruh perhatian sepenuhnya pada perempuan yang berjalan di sampingnya. "Takutnya Grace dapet barang dari anak sini."
***
Laura berdiri di bawah pohon palem, bersedekap sembari memperhatikan lapangan basket yang kini dipakai oleh teman kelasnya bermain futsal. Guru olahraga mereka— Pak Erik hanya membebaskan kelas XII IPS 2 dengan syarat tetap berada di lapangan, tidak ke kantin maupun kembali ke kelas.
Pandangan Laura sama sekali tidak fokus pada satu orang, ia hanya menatap lurus aspal sambil berpikir.
"Emm... gue tau lo gak suka ini." April yang berdiri tidak jauh di depan Laura berbalik, sama bersedekap tapi kini perempuan itu menggeser badan ke samping hingga benar-benar berada di depan Laura. "Tapi diliat-liat Sergio daritadi merhatiin lo deh."
Laura terkejut.
"Atau perasaan gue aja?" kata April lagi.
Laura mengangguk menyetujui pemikiran April barusan, tapi matanya bergerak mencari keberadaan laki-laki yang dimaksud temannya. "Deket ring basket, lagi duduk," kata April mampu membaca keinginan Laura.
Mata Laura segera bergerak ke samping. Tidak serta merta langsung melihat ke arah Sergio, ia pura-pura melihat ring, perlahan bergerak ke bawah menemukan Sergio di sana, saling berpandangan satu detik sebelum sama-sama melepas kontak mata tersebut.
"Iya kan?"
Laura mengedikan bahu. "Enggak deh kayaknya."
"Masa sih?" April menoleh langsung ke arah Sergio dan memang benar laki-laki itu sudah bercanda dengan yang lain.
Sepuluh menit menjelang jam olahraga berakhir yang perempuan memilih untuk melanggar perintah Pak Erik, pergi ke kantin karena kebetulan setelah ini jam istirahat pertama. Mereka punya keuntungan tersendiri untuk tidak mengantre, sayang jika tidak dimanfaatkan.
Laura berjalan bersisihan dengan April yang menceritakan soal tetangga barunya— yang menurut penuturan perempuan itu cakepnya luar biasa, masih kuliah, dan anak band!
"Asli La. Lo harus main ke rumah gue."
"Buat apa?"
"Ya buat liat Kak Reinald!"
Laura menggeleng kuat mendengar namanya saja sudah kebayang tipe laki-laki yang suka tebar pesona sana-sini. Ketika Laura menertawakan ekor matanya menangkap Sergio, merasakan laki-laki itu kembali memperhatikannya— atau mengawasi Laura?
'Ck. Itu anak kenapa sih?'
***
Adalah hal paling akhir yang dipikirkan Laura mungkin juga tidak pernah terbersit dalam benaknya, Sergio berdiri di dekat bangkunya dengan satu tangan di masukan ke dalam saku celana seragam seraya berkata, "pulang sama gue."
Kurang lebih reaksi teman-teman satu kelas sama dengan Laura. Mengernyit, bingung melihat pemandangan yang tidak pernah dibayangkan. Laura membuka sedikit bibirnya, ingin berkata tapi lidahnya kelu dan berakhir dengan gelengan kepala ragu.
"Rumah lo gak pindah kan?"
"Enggak— eh maksudnya gue pulang sendiri."
"Sama gue aja." Sergio tetap mempertahankan nada dan ekspresi datarnya. Tidak peduli dengan banyak pasang mata mengawasi mereka.
"Gue sama April." Laura buru-buru membuat alasan lain, tangannya bergerak menepuk lengan April meminta persetujuan dari temannya itu. "Mau... nemenin dia beli koas kaki, ya kan Pril?"
"I... iya sih."
"Yaudah gue ikut."
Alis Laura nyaris bertemu mendengar jawaban Sergio. "Lo kenapa sih? Enggak maksud gue— buat apa gue pulang bareng lo?"
Kini Sergio yang mengeluarkan tangan dari saku celana, mengusap tengkuknya. "Daripada naik bis?"
"Mending gue naik bis sih..."
"Katanya mau cari kaos kaki?"
"Enggak." Laura menghela napas panjang lalu meraih ranselnya di atas meja dan menyampirkan ke bahu kanan kemudian berdiri. "Itu alasan biar gue gak pulang sama lo."
Laura berjalan keluar dari bangku, Sergio mundur satu langkah memberi jalan. Tidak seperti permintaan Laura, Sergio justru mengekori perempuan itu. Laura beberapa kali menoleh ke belakang memastikan ia sudah meninggalkan Sergio jauh tapi laki-laki itu tetap berada satu meter di belakangnya.
Sampai di depan gerbang ketika Laura akan kembali berbalik, badannya tahu-tahu di dorong ke samping sementara lengannya di cekal. Badan Laura dengan mudah mengikuti arah dorongan tersebut kembali masuk ke dalam gerbang menuju parkiran ke samping mobil sedan milik Sergio.
"Ser lo ap—"
"Gue cuma mau mastiin sesuatu," potong Sergio menatap perempuan yang lebih pendek darinya. Cekalannya ia kendurkan seiring ia menjelaskan apa yang bisa ia jelaskan kepada Laura. "Satu minggu aja La, gue anter lo pulang."
Laura menoleh ke segala penjuru parkiran beberapa pasang mata sudah menatap mereka curiga. Sergio termasuk jajaran laki-laki yang menjadi wajah SMA Gharda, laki-laki yang diharap-harap menjadi pacar.
"Buat apa?"
"Mastiin lo gak apa-apa," kata Sergio tidak banyak membual. Tapi hal tersebut membuat Laura justru menggeleng tidak setuju. "Dari dulu gue pulang sendiri juga gak apa-apa kok. Baik-baik aja. Sampai rumah dengan selamat. Kenapa jadi lo repot-repot nganterin gue?"
"Lebih repot kalau gue nggak nganterin lo." Sergio mendengus sembari menyurai rambutnya ke belakang. "Lo bisa ikut gue aja gak sih? Lumayan kan hemat uang."
"Enggak!" Laura akan beranjak, tapi Sergio lebih dahulu kembali mencekal lengannya. Dengan cepat membuka pintu sedan, mendorong paksa Laura masuk ke dalam. Laura langsung ingin keluar lagi, tapi Sergio malah memasukan separuh badan ke dalam mobil lalu menekan dua bahu Laura.
Jarak di antara mereka begitu dekat hingga membuat Laura menempelkan punggungnya ke kursi. "Lo mau ngap—"
"Diem. Gue anter lo pul—"
Laura memberontak, tangannya berusaha mengenyahkan tangan Sergio dari bahunya. "Sumpah ini tuh namanya pemaksaan! Gue laporin ke gur—" mata Laura membulat badannya yang tadi sedikit maju untuk mendorong Sergio kembali merapat ke kursi ketika tanpa sengaja bibir Sergio mengenai kening Laura.
Laura langsung membeku di tempat juga Sergio yang perlahan melepas tangannya.
Laura tidak bisa melihat reaksi laki-laki itu, tentu saja matanya mencari hal lain yang lebih menarik dari mencari tahu ekspresi Sergio. Detik setelahnya Sergio mengeluarkan badan dari mobil lalu menutup pintu, berjalan ke arah sisi lain dan masuk ke dalam mobil.
Laura masih tidak mau melihat Sergio hingga suara laki-laki itu kembali terdengar. "Seatbelt."