"Kita satu kelas lagi sama anak-anak begajulan itu."
Citra baru saja datang dengan wajah tertekuk setelah melihat mading bagian pembagian kelas yang sebenarnya bisa diakses melalui website sekolah— entah mading masih saja ramai, desak-desakan melihat informasi tersebut.
Laura yang baru saja selesai mengikat rambut menatap Citra yang duduk di seberangnya. "Siapa?"
"Sergio, Alan, Evan."
Laura mengerjap kepalanya menoleh ke samping dan langsung bertatapan dengan April— teman yang sudah bersama dengannya sejak sekolah dasar dan tidak bosan satu bangku dengan Laura.
"Sergio yang itu?" bisik April membuat Laura memutar bola mata seolah menjawab, emang yang mana lagi?
"Gue kayaknya gak jadi nerima tawaran Bu Siska deh."
Laura dan April kembali menoleh ke kenan menaruh perhatian pada perempuan nomer satu di SMA Gharda itu, perempuan dengan segudang prestasi akademik dan non akademik. Perempuan yang memiliki cita-cita sebagai pilot. Berbeda dengan Laura yang murid basic pada umumnya, tidak menonjol tapi ada.
Satu hari sebelum liburan kenaikan kelas selesai, Citra menerima pesan dari Bu Siska bahwa beliau baru saja ditetapkan menjadi wali kelas XII IPS 1 dan meminta Citra untuk menjabat menjadi ketua kelas XII IPS 1.
"Kenapa?"
"Ya lo liat sendiri temen-temen kelas kita siapa."
Laura melihat sekeliling. Memang benar penetapan kelas tahun ini terlampau acak, padahal biasanya SMA Gharda menetapkan sistem ranking sambil berdalih agar lebih mudah menyesuaikan proses belajar mengajar. Tapi kali ini benar-benar acak, entah sekolah berdalih apa kali ini.
Laura hanya terkekeh pelan sebab setelahnya perhatian mereka teralih pada gerombolan laki-laki yang baru saja masuk ke kelas setelah lima menit bel berbunyi. Pandangan Laura langsung tertuju pada laki-laki yang merangkul lainnya entah sedang membicarakan perihal apa tapi wajah mereka benar-benar serius.
Bahkan setelah keduanya berjalan melewati bangku Laura mereka masih saja tampak serius— sesuatu yang jarang sekali terlihat.
"Lo pernah ngobrol lagi sama dia?"
"Sergio?" bibir Laura nyaris tidak terbuka ketika menyebut nama lelaki itu.
April mengangguk.
"Enggaklah! Buat apa?"
"Ya kali aja." April menaikan bahu lalu tersenyum samar. "Biasa aja dong, gak usah salting gitu."
Laura bergidik lalu menggeleng bahwa kalimat yang dilontarkan April barusan sangat tidak mungkin untuk dirinya. Masih segar diingatan Laura, satu bulan setelah mereka resmi diterima di SMA Gharda Laura dan Sergio sempat menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih meski hanya berlangsung tiga bulan. Tidak banyak yang tahu tentang hubungan mereka berdua— tidak ada alasan rumit juga ketika Laura mendeklarasikan kata putus tepat sehari sebelum bulan ke empat mereka. Satu-satunya alasan yang Laura kemukakan kepada April yang menanyakan alasan adalah karena Sergio bukan anak baik-baik.
"Pagi anak-anak." Bu Siska berjalan masuk tersenyum cerah setelah meletakan buku absen juga tas jinjing di atas meja guru. Pandangannya di edarkan ke seluruh penjuru ruangan Kelas. "Sudah tahu saya kan?" lanjut Bu Siska disambut tepuk tangan juga sorakan atas ucapan guru paling muda di SMA Gharda yang mengajar pelajaran Geografi. "Satu tahun ke depan saya akan membimbing kalian. Semoga lulus semua ya dan bisa masuk ke Universitas yang kalian mau."
"AMIIIN!"
"AMIIN!!"
Seruan tidak kompak dan sebagian ogah-ogahan.
"Ada yang mau jadi ketua kelas?" tanya Bu Siska segera membuat kelas menjadi hening. "Citra?"
Semua kepala menatap ke arah perempuan itu. "Iya Bu. Saya siap."
***
"Gue kayaknya gak jadi nerima tawaran Bu Siska deh."
Koridor lantai tiga lumayan padat sebab jam istirahat pertama baru saja berbunyi. April dan Laura berjalan bersisihan menyusuri koridor akan menuju kantin seraya mendengarkan ocehan April tentang bagaimana sikap Citra di kelas.
"Wah. Hebat bener tuh anak pencitraannya. Gak berubah loh dari kelas satu." April menggelengkan kepala heran. "Konsisten!"
"Yaudah sih, Pril. Namanya juga Citra."
"Ya sesuai emang sama namanya." April mencibir. Mereka menuruni anak tangga bersama dengan siswa kelas tiga yang lain dengan tujuan sama— yaitu kantin utama. Kantin paling lengkap yang hanya boleh digunakan oleh kelas tiga selain karena senioritas gedung kelas tiga memang terpisah dengan gedung kelas satu dan dua.
Lantai satu ruang guru yang memang diperuntukan untuk staff pengajar kelas tiga lalu ada UKS dan kantin. Lantai dua untuk kelas-kelas anak IPA dan lantai tiga untus kelas IPS.
"Lo mau makan apa, Pril? Gue pengin cobain mie ayamnya Mang Yanto dah."
"Ih! Sama lagi. Gue pengin bang—"
"AAAAAAAKH!"
Teriakan dari lantai atas diikuti gemuruh derap langkah heboh membuat semua siswa yang ada di tangga refleks mendongak ke atas. Detik setelahnya semua langsung berbondong-bondong kembali naik untuk melihat apa yang sedang terjadi pun Laura dan April yang langsung bergandeng tangan mengikuti kerumunan. Berhenti d depan kelas XII IPS 2, berkerumun dengan yang lain, berjinjit berusaha melihat apa yang tengah terjadi di dalam kelas.
"Kenapa sih kenapa?!"
"Ada apaan sih? Kaga ada apa-apa gitu!"
"GRACE SAKAU ANJIR!"
"SIAPA?!"
"SAKAU?!"
"GILA! MANA SIH?!"
"EH PANGGILIN GURU DONG! DOKTER UKS!"
"PANGGIL BU MIRA WOY!"
Suara teriakan dari segala arah terdengar. Laura tahu Grace siapa ia sempat satu kelas di tahun pertama, perempuan anti sosial, irit bicara, dan hidup sekenanya. Sempat terkena bully oleh kakak kelas mereka dulu tapi semua berhenti entah karena apa— yang jelas Grace selalu ada tapi tidak pernah benar-benar terlihat hidup.
Badan Laura refleks terhimpit ke dinding ketika seorang siswi di depannya mundur seolah memberi jalan enam orang laki-laki yang menggotong badan perempuan yang masih kejang. Laura membeku di tempat, jantungnya berpacu gila-gilaan hingga April menggoyangkan badannya. "La! Laura!"
"H-hah? K-kenapa?"
"Serem banget! Lo liat nggak?"
Laura mengangguk ragu. Setelahnya ia kembali tidak bisa mendengar apa yang diucapkan oleh April. Telinganya berdengung, napasnya tercekat hingga matanya bertumpu pada seseorang yang menatapnya tajam dari kejauhan.
Sergio berdiri diam di sana. Melipat tangan di depan dada dengan Alan yang entah membisikan perihal apa. Wajah keduanya masih sama— serius, kaku seperti menyembunyikan sesuatu.
Laura buru-buru melepas kontak mata mereka. Mengamit lengan April yang terkejut dengan hawa dingin yang tersalur dari telapak tangan Laura. "Lo gak ap—"
"Kantin yuk. Laper banget gue."
"Gak mau ke UKS liat—"
"Buat apa?" Laura menggeleng kuat. "Yuk. Gue belum sarapan, perut gue udah mulai sakit nih."
April akhirnya setuju, ngeri juga jika Laura pingsan di tempat. Ketika melewati Sergio, Laura menunduk dalam enggan menoleh bahkan melihat dari ekor matanya. Meski dalam hati perempuan itu was-was hingga di ujung koridor ketika mereka akan menuruni tangga, kepala Laura bergerak tanpa sadar ke tempat di mana Sergio berada.
Detik itu juga matanya kembali menangkap kilat mata tajam milik mantan kekasihnya itu.
'Holyshit!'