Read More >>"> Perhaps It Never Will (Chapter 4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU 0
About Us  

Hayley menunggu kedatangan kereta yang akan membawanya ke Costwolds dari Stasiun London Paddington dengan perasaan campur aduk. Jenna masih menangis tersedu-sedu di dekapan Madison ketika dirinya pergi meninggalkan rumah. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, bahkan kata ‘selamat tinggal’ sekalipun. Karena menurutnya, ini bukan perpisahan. Mereka akan bertemu kembali setelah Madison berhasil keluar dari sarang harimau yang mengurungnya.

Dan ia juga sempat dikagetkan oleh tangan mungil Jillian yang menyodorkan headphones miliknya ke arah Hayley ketika ia akan naik ke dalam taksi yang sebelumnya sudah dipesan Madison.

Jillian berkata dengan pelan, “Musik selalu membuatku merasa jika aku tak pernah sendirian. Aku tidak mau kau merasa sendirian, meskipun Jenna bilang kau lebih menyukai ketika kau sendiri.”

Hayley mati-matian menahan air matanya supaya tidak turun. “Terima kasih, Jil. Kita akan bertemu kembali, aku janji.”

Jillian hanya mengangguk lalu berdiri kaku di samping Madison yang melambaikan tangan, mengantar kepergian Hayley.

Hayley juga belum mengecek ponselnya sejak terakhir kali menghubungi Madison di bandara beberapa hari lalu. Entahlah, tangannya selalu bergetar hebat ketika akan mengusap kunci layar atau menekan tombol nyala. Ia sama sekali belum siap dengan kabar yang akan dikirim Yasmine dari New York.

Bagaimana jika skandal itu terus berlanjut dan Logan tak berhenti untuk memunculkan kebohongan-kebohongan baru demi menyelamatkan karirnya sendiri? Bagaimana jika Yasmine tidak bisa mengatasi itu semua dan malah semakin menghancurkan karir Hayley?

Ia sangat merindukan pekerjaannya. Ia merindukan hiruk pikuk kota New York; klakson taksi, celotehan pejalan kaki, toko buku Strand, pertunjukan di Broadway, dan kehangatan Times Square di malam hari. Ia benci terisolasi dan terasingkan di sini. Ia bahkan sangat membenci dirinya sendiri.

Apalagi 2 jam lagi, ia akan semakin merasa terisolasi.

Costwolds—tidak ada dalam tujuan perjalanannya.

Tapi apapun yang akan terjadi nanti, Hayley berharap dirinya akan tetap menemukan jalan untuk kembali.

Dengan headphones pemberian Jillian yang terpasang di telinga dan novel The Midnight Library milik ‘WM’ di genggamannya, Hayley melangkah masuk ke dalam kereta yang sudah datang.

Di dalam hati ia tak henti-hentinya merapalkan mantra, “Sebentar lagi, New York. Sebentar lagi kita akan bertemu kembali. Tunggu aku.”

***

Costwolds memang seindah yang Hayley bayangkan.

Pedesaan Inggris yang terletak di sebelah barat Kota London ini sangat indah dan estetikanya melebihi ekspektasi. Hamparan perbukitan hijau membuat kedua mata Hayley seperti terobati. Costwolds dipenuhi oleh bangunan tua yang terbuat dari bebatuan kapur berwarna kuning madu yang berasal dari zaman Jurassic. Suasananya seperti di dalam novel-novel klasik karya Jane Austen favorit Hayley.

Dari tempat dirinya berdiri, Hayley dapat melihat Bukit Cleve yang menjulang. Tanpa bisa dicegah, keinginannya untuk mendaki tertanam kuat di dalam diri.

Setelah hampir 1 jam berjalan mencari alamat pemberian Madison yang tertulis di atas kertas yang kini sudah mulai kusut hingga tulisan di dalamnya terlihat samar, Hayley akhirnya tiba di kediaman Jane Hopman, ibu Madison. Rumah itu memang tidak semewah rumah milik Madison dan Papa di London, tetapi tentunya rumah itu punya keistimewaan sendiri yang selalu berhasil membuat siapapun terpana melihatnya.

Arsitektur rumah itu bergaya Tudor Revival atau Storybook Style yang seolah selama ratusan tahun tidak terpengaruh oleh perubahan zaman. Atap dari rumah Jane terbuat dari campuran tanah dan jerami. Dindingnya terbuat dari batu bata atau batu ekspos. Pintunya, yang saat ini ada di hadapan Hayley, berada di bawah atap pelana kecil yang menjorok ke luar atap utama. Dan ketika Hayley mendongak, ada cerobong asap yang terletak agak ke bagian depan rumah.

“Kau pasti Hayley!”

Seruan itu membuat Hayley terlonjak kaget. Ia terlalu hanyut pada keindahan rumah ini sampai tidak sadar jika seorang wanita tua sudah membuka pintu dan menyambutnya dengan senyuman seindah perbukitan hijau yang tadi dilihatnya.

“Ah maaf, Sayang. Aku membuatmu kaget. Masuklah, kau pasti lelah,” ajak Jane membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Jane terlihat sangat cantik di umurnya yang Hayley perkirakan sudah menginjak kepala 6.

“Halo, Mrs. Hopman. Ya, aku Hayley.” Hayley menyodorkan tangannya sambil tersenyum. Jane menyambutnya dengan hangat. “Madison mengirimku kesini karena—“

“Panggil aku Jane, kita teman sekarang. Seorang teman tidak memanggil satu sama lain dengan nama belakang,” potong Jane sembari menarik tangan Hayley untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Ah ya! Tentu. Terima kasih.” Hayley mengikuti langkah Jane untuk masuk ke dalam sambil tersenyum kaku. Ia lagi-lagi dibuat terpana oleh keindahan suasana di dalam rumah. Furnitur-furnitur kuno yang terlihat mahal dan wangi teh panas yang memanjakan hidung. Hayley masih tak percaya ia akan tinggal di tempat luar biasa seperti ini.

Jane ternyata sudah menyiapkan teh panas untuk Hayley. Hal itu membuat Hayley merasa bersalah karena telah merepotkan wanita tua yang baru ia kenal. Jane juga sibuk mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu untuk mengeluarkan segala makanan yang sudah dibuatnya untuk dicicipi Hayley.

“Maddie sudah menceritakan semuanya padaku. Aku tahu alasan mengapa kau di sini dan aku juga tahu apa yang Julian perbuat pada anak dan cucuku. Aku tahu semuanya,” jelas Jane sembari menaruh piring terakhir yang berisi kue kering. Wajahnya mengeras, diselimuti kabut-kabut hitam penuh emosi ketika mengatakan ‘Julian’. Seperti ada doa buruk di dalamnya.

Hayley menyeruput teh dengan hati-hati sebelum akhirnya membalas, “Aku minta maaf soal itu. Soal Papaku, dia—“

“Bukan salahmu. Sama sekali bukan. Kau juga korban,” potong Jane cepat-cepat. Lalu duduk di samping Hayley di dekat perapian.

Suasana menjadi hening setelahnya, Hayley tidak tahu harus merespon apa dan Jane juga terlihat hanyut dengan pikirannya sendiri. Selama beberapa menit hanya ada suara perapian yang terdengar di rumah itu. Sampai akhirnya, Hayley bertanya, “Kau sendirian di sini?”

Jane tersadar dari lamunannya dan tersenyum secerah sinar matahari. “Tidak juga, ada banyak tetangga-tetangga kesayanganku yang menemani. Ini desa kuno, Hayley. Orang-orang di sini kebanyakan sudah berumur sepertiku.” Jane mengedipkan sebelah mata.

“Kau tahu, aku selalu suka ketika sendirian. Tapi kau baru saja menyadarkanku bahwa sebenarnya aku tidak pernah sendirian. Aku hidup di New York, meskipun aku sendirian tinggal di apartemen, tetapi aku tidak pernah benar-benar sendiri. Ada suara-suara kehidupan kota yang menemaniku setiap hari. New York kota yang tidak pernah tidur.” Hayley menatap lurus ke arah perapian. Membayangkan jendela apartemennya yang langsung mengarah ke arah lalu lintas New York.

Ia bahkan tak sadar jika sudah terbuka pada orang yang baru dikenal. Sama sekali bukan seperti dirinya.

“Di sini tidak ada suara-suara kehidupan kota. Tapi aku yakin kau akan nyaman dengan suara kicauan burung, celotehan Matthew yang akan pergi ke peternakan, suara daun kering yang berdesik, dan suara domba-domba kebanggaan kami.” Jane menyelipkan rambut Hayley ke belakang telinga dengan gestur penuh kasih sayang.

Hayley tidak merasakan kasih sayang seorang ibu ketika bersama Madison, karena baginya Madison adalah seorang teman. Tetapi, rasanya berbeda ketika bersama Jane. Sentuhan wanita tua itu langsung membuatnya teringat pada tawa hangat Mama dan pelukan-pelukan sayang sebelum tidur.

Mama baik-baik saja di sini, Hay. Mama bahagia.

***

Hayley terbangun dari tidur lelapnya ketika mendengar suara keras seseorang dari luar jendela pagi itu. Suara pria tua yang berceloteh. Hayley tidak dapat begitu menangkap perkataan pria tua itu, tetapi ia bisa mendengar kata ‘peternakan’ keluar berulang-ulang dari bibirnya. Hayley yakin dengan sepenuh hati jika pria tua itu adalah Matthew yang Jane ceritakan kemarin.

Matthew yang akan pergi ke peternakan.

“Oh Matthew kau harus bertemu cucuku. Dia sangat cantik, rambutnya sangat indah, dan dia sangat pemberani. Seperti aku.” Itu suara Jane. Hayley buru-buru mengintip ke luar jendela dan langsung melihat tubuh mungil Jane yang berdiri di depan rumahnya, siap untuk berkebun.

“Cucumu yang mana? Semua namanya berawalan dari J. Kau harus lebih spesifik, Janie.” Matthew bersedekap dada dengan dahi yang mengerut.

Jane mengerucutkan bibir, Hayley terkekeh dibuatnya.

“Yang ini tidak berawalan J, tapi H. Coba kau tebak,” titah Jane.

Matthew terlihat berpikir keras selama beberapa detik hingga akhirnya ia menyeletuk, “Harper? Holly? Hannah? Hyacinth?”

Jane terus menggeleng. Membuat Matthew sedikit kesal karena tebakannya terus-menerus salah. “Aku tidak suka menebak. Kau beritahu aku sekarang atau aku pergi,” ancam Matthew. Topinya hampir terbang terbawa angin.

Jane tersenyum lebar penuh kemenangan lalu melangkah mendekat ke tempat Matthew berdiri di sisi jalan. “Hayley Lexington. Kau bisa memanggilnya Hay,” jawab Jane bangga.

Matthew menatap Jane lurus-lurus. “Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.”

Jane kembali berjalan mundur. “Dia aktor Amerika yang hebat, Matthew. Dia terkenal.”

“Sejak kapan kau memiliki cucu seorang aktor? Dan mengapa dia ada di sini? Sedang syuting? Sedang liburan? Atau—“

“Jane, aku akan berjalan-jalan sebentar keluar,” potong Hayley. Berjalan ke luar rumah dengan coat coklat muda, jeans hitam, dan boots hitam kesayangannya. Rambutnya yang tertutup topi ia ikat menjadi kuncir kuda. Di bahunya tersampir tote bag yang berisi buku catatan kecil, novel milik ‘WM’ yang akhir-akhir ini selalu ia bawa kemana pun, headphones pemberian Jillian, MP3, dan pulpen.

Matthew menganga, benar-benar menganga melihat Hayley. Kecantikan wanita muda itu berhasil membuatnya terpukau. Mata indah Hayley seperti membuatnya terjerat di jaring-jaring yang rumit. Sulit untuk keluar dari tatapan mata itu.

“Hai, Matthew. Aku Hayley,” ujar Hayley yang tanpa Matthew sadari sudah berdiri di depannya sembari mengulurkan tangan.

“Hai, anak muda. Kau benar-benar seperti ... tidak nyata.” Matthew buru-buru menggeleng. “Maksudku kau seperti seseorang yang diciptakan Tuhan ketika dia sedang bahagia. Kau berbeda.”

Hayley tak bisa menahan senyumannya mendengar pujian itu. “Terima kasih, kau juga terlihat tampan,” balas Hayley tulus.

“Oh cukup, Hay. Kau tidak perlu berbohong untuk membuat pria tua itu senang,” celetuk Jenna yang langsung dihadiahi dengusan oleh Matthew.

“Senang bertemu denganmu. Aku permisi dulu,” pamit Hayley lalu pergi menyusuri pedesaan Inggris itu dengan harapan akan menemukan kenyamanan baru yang bisa mengobati kerinduannya pada New York.

 

***

Lagu I Wanna Be Yours dari Arctic Monkeys di MP3 mengalun indah di telinga Hayley ketika ia berjalan di jembatan yang terletak di atas Sungai Eye. Matanya menerawang jauh ke deretan rumah-rumah kuno dan hamparan perbukitan hijau yang kini mulai dikuasai domba-domba. Lama ia menatap, berharap air mata akan keluar membasahi pipi. Namun, nihil.

Lagi-lagi tidak ada air mata.

Membuatnya semakin yakin jika persedian air mata miliknya sudah terkuras habis 3 tahun lalu. Sehingga saat ini, ia menjadi seseorang yang tidak mengenal emosinya sendiri.

Hayley membuka tote bag yang dibawanya dan mengeluarkan novel milik ‘WM’. Semalam, ia tak bisa berhenti untuk memikirkan pria berbola mata biru laut itu. Pikiran Hayley teralihkan ketika tinggal di kediaman Madison, sehingga ia tak sempat memikirkan siapa pria misterius yang menyelamatkannya sekaligus pemilik novel ini.

Sekarang, ketika suasana sudah agak damai. Ia berharap untuk bisa memecahkan sendiri misteri ini.

Pikiran Hayley menerawang ke langit biru di atasnya. Ia berusaha mengingat-ngingat secara detail kejadian di bandara. Keningnya mengerut, otaknya berpikir secara keras. Secara samar dirinya bisa mendengar suara berat pria itu, tatapan khawatirnya ketika menatap Hayley, dan wangi tubuhnya.

Hoodie hitam.

Masker wajah hitam.

Bola mata biru laut yang indah.

Dan ...

Seseorang di bandara memanggil namanya. Ya!

Will.

Itu dia! Will. Pria itu bernama Will.

WM: Will M.

Will.

Will.

Kau mendengar suara detak jantungku? Fokuskan dirimu pada suara itu.

Hayley tahu sekarang. Dan ia tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.

 

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
SORRY
16942      2985     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Luka atau bahagia?
3820      1193     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
SURGA DALAM SEBOTOL VODKA
7532      1723     6     
Romance
Dari jaman dulu hingga sekarang, posisi sebagai anak masih kerap kali terjepit. Di satu sisi, anak harus mengikuti kemauan orang tua jikalau tak mau dianggap durhaka. Di sisi lain, anak juga memiliki keinginannya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Lalu bagaimanakah jika keinginan anak dan orang tua saling bertentangan? Terlahir di tengah keluarga yang kaya raya tak membuat Rev...
Seiko
506      386     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Premium
SHADOW
4807      1581     0     
Fantasy
Setelah ditinggalkan kekasihnya, Rena sempat mencoba bunuh diri, tapi aksinya tersebut langsung digagalkan oleh Stevan. Seorang bayangan yang merupakan makhluk misterius. Ia punya misi penting untuk membahagiakan Rena. Satu-satunya misi supaya ia tidak ikut lenyap menjadi debu.
A CHANCE
1542      711     1     
Romance
Nikah, yuk!" "Uhuk...Uhuk!" Leon tersedak minumannya sendiri. Retina hitamnya menatap tak percaya ke arah Caca. Nikah? Apa semudah itu dia mengajak orang untuk menikah? Leon melirik arlojinya, belum satu jam semenjak takdir mempertemukan mereka, tapi gadis di depannya ini sudah mengajaknya untuk menikah. "Benar-benar gila!" đź“Śđź“Śđź“Ś Menikah adalah bukti dari suatu kata cinta, men...
Pacarku Arwah Gentayangan
4731      1525     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Mencari Pangeran Yang Hilang
2870      1189     3     
Romance
Naru adalah seorang cowok yang sempurna. Derajat, kehidupan, dan juga kemewahan layaknya seorang pangeran telah dia terima sejak lahir ke dunia. Orang tuanya seorang pengusaha kaya sejagat raya yang selalu muncul di TV. Namun ternyata dia yang merasa hidupnya terkekang oleh orang tuanya membuatnya tak memiliki satu pun teman. Dia pun benci tinggal di rumah. Dia ingin bebas. Ketika memasuki SMA,...
Lullaby Untuk Lisa
4213      1410     0     
Romance
Pepatah mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tetapi, tidak untuk Lisa. Dulu sekali ia mengidolakan ayahnya. Baginya, mimpi ayahnya adalah mimpinya juga. Namun, tiba-tiba saja ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu, ia menganggap mimpinya itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekalig...
Lazy Boy
5432      1394     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...