“Mungkin ini terdengar sangat aneh atau mungkin biasa saja, tapi aku penggemar berat film Roman Holiday. Audrey Hepburn terlihat seperti putri sungguhan, berkharisma, sangat cantik, dan elegan. Idaman semua pria. Ayah Madison dulu berkata bahwa ia rela menceraikanku jika memiliki kesempatan untuk menikahi Audrey.” Siang itu Jane telah kembali dari berkebun. Ia duduk di sofa sebelah Hayley sambil berceloteh ria. Mereka sedang menentukan film apa yang cocok untuk ditonton sembari menikmati pie coklat buatan Jane.
Hayley mengangguk setuju. “Audrey Hepburn memang luar biasa. Dia role model-ku dalam berakting dan berkarir.”
“Kau juga aktor yang hebat! Setelah Maddie memberi kabar bahwa kau akan kesini, aku buru-buru menonton semua film-mu. Aku malu jika tak pernah menonton film yang dibintangi olehmu satupun,” ucap Jane malu-malu.
“Kau tahu, kau tidak perlu melakukan itu. Kehadiranku di sini saja mungkin sudah cukup merepotkanmu. Kau tidak perlu membuatku senang dengan hal-hal itu.” Hayley menatap lembut mata indah Jane.
Jane balas tersenyum lembut, membuat garis-garis penuaan di wajahnya terlihat jelas. Hayley terdiam melihatnya. Seketika terlintas dipikirannya wajah Mama, Mama mungkin akan terlihat secantik Jane jika ia memiliki kesempatan untuk hidup lebih lama. Sayangnya, ia tidak akan melihat hal itu terjadi.
Mereka akhirnya memutuskan untuk menonton Roman Holiday. Ini mungkin sudah ke-ratusan kalinya bagi Jane dan belasan kalinya bagi Hayley. Tapi sepertinya keduanya tidak terlihat bosan. Mereka asyik bertukar pendapat tentang gaun-gaun yang dikenakan Audrey, cafe-cafe di Roma yang dijadikan tempat syuting, keberanian karakter yang diperankan Audrey, dan masih banyak lagi.
Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 4 sore ketika mereka sama-sama menyenderkan punggung di bahu sofa dan film selesai.
“Hayley, kulihat kau selalu membawa novel itu. Apakah itu novel favoritmu?” tanya Jane tiba-tiba. Matanya mengarah pada novel yang tergeletak di meja.
Hayley kembali menegakkan tubuh dan mengambil novel ‘The Midnight Library’ yang memang selalu ia bawa kemanapun itu. “Ini memang salah satu novel favoritku, tapi ini bukan novel milikku.”
Kening Jane mengerut. “Lalu? Milik siapa itu?”
“Milik seseorang yang menyelamatkanku dari paparazzi di bandara,” ucap Hayley sembari menyodorkan novel itu pada Jane.
“WM?” tanya Jane membuka novel. “Semacam pria misterius?”
“W untuk Will, aku baru mengingatnya tadi karena sewaktu di bandara seseorang memanggilnya dengan nama itu,” jawab Hayley. “Aku ingin bertemu dengannya lagi dan mengembalikan novel ini.”
“Kau tidak tahu di mana dia tinggal atau asal-usulnya?” tanya Jane penasaran.
Hayley menggeleng lemah. “Tidak. Kami tidak sempat membicarakan hal itu. Serangan panik menguasaiku ketika melihat paparazi.”
“Oh, Sayang...” Jane mengusap pundak Hayley dengan lembut. “Kau akan menemukan dia. Rapalkan mantra itu setiap kali kau mengenggam novelnya.”
“Apakah itu akan bekerja?” tanya Hayley penuh harap.
“Aku tidak tahu, aku bukan peramal atau semacamnya. Yang aku tahu, novel ini ada di tanganmu karena sebuah alasan.” Jane beranjak dari sofa sembari melantunkan salah satu lagu favoritnya.
Hari-hari Hayley di kediaman Jane dihabiskan dengan berjalan-jalan di area sekitar, membaca tumpukan buku di perpustakaan kecil pribadi milik Jane, membantu Jane berkebun, membantu Matthew di peternakan, dan belajar membuat pie coklat dengan resep Jane.
Terkadang hal-hal tersebut membuatnya lupa pada apa yang terjadi di New York. Namun, tak jarang ia kembali teringat dan kehilangan gairah untuk melakukan apapun. Seperti sekarang, ia duduk di pinggir ranjang dengan tatapan kosong yang terarah pada jendela. Ponselnya yang mati ada di pangkuannya.
Ia berniat untuk menyalakan ponsel dan menghubungi Yasmine. Rasa penasarannya membuncah, ia ingin tahu apakah rencana Yasmine untuk membereskan skandal itu berhasil atau tidak. Sudah hampir sebulan. Tapi rasa takutnya pun tak mau kalah, ia takut jikalau selama ia menikmati waktu di sini ternyata karirnya di dunia perfilman sudah hancur.
Ketika sedang menimbang-nimbang pilihan, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Suara lembut Jane langsung terdengar dari balik pintu. “Hayley Sayang, boleh aku masuk? Ada sesuatu untukmu.”
Hayley buru-buru menyimpan ponselnya di atas nakas dan berjalan membuka pintu untuk mempersilakan Jane masuk.
“Ada apa?” tanya Hayley ketika pintu sudah terbuka.
“Ada ini di kotak surat. Untukmu. Alamatnya dari New York.”
Jantung Hayley seperti berhenti berdetak. Ia lebih memilih membersihkan domba-domba di peternakan Matthew daripada mengetahui isi surat itu. Tapi, domba-domba di peternakan Matthew tidak akan memberi informasi tentang kelanjutan karirnya, kan?
Ia tidak punya pilihan lain selain membukanya.
“Terima kasih.” Hayley menerimanya dengan tangan yang gemetar.
“Sayang, kau tidak perlu membukanya sekarang.” Jane mengusap pipi Hayley dengan lembut. Ia tahu perasaan Hayley tentang surat itu.
Hayley hanya tersenyum samar mendengarnya.
“Oh, hampir lupa! Matthew mengundang kita untuk makan malam bersamanya malam ini. Kau boleh datang, tapi jika kau tidak bisa tidak apa-apa. Beristirahatlah.” Jane tersenyum meyakinkan.
“Aku akan menemanimu,” balas Hayley.
Jane mengangguk senang lalu berpamitan dari hadapan Hayley-- memberi Hayley ruang untuk berhadapan dengan surat itu. Ketika pintu kamar sudah tertutup kembali, ia berdiri dengan perasaan tak karuan di dekat jendela. Bahkan pemandangan hijau di depan sana tidak bisa memperbaiki perasaannya.
Hayley tahu surat itu dikirim oleh Yasmine. Namun entah kenapa, ia merasa bahwa surat itu memiliki tangan dan bisa membunuhnya kapan saja.
Tapi ia tidak bisa seperti ini terus. Menunda-nunda apa yang seharusnya sudah terjadi dan sudah diketahui. Akhirnya dengan tangan yang gemetar, ia membuka surat itu.
Hayley,
Aku mendapatkan alamatmu dari Madison. Dia baik-baik saja jangan khawatir.
Begini, oke langsung saja.
Belum ada kabar baik yang bisa kusampaikan. Kontrak dengan Bridget Management terpaksa batal, atau lebih tepatnya dibatalkan secara sepihak. Itu berarti tiga film yang seharusnya kau bintangi, sudah menemukan pengganti baru. Maafkan aku dan tim, Hay. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membersihkan namamu. Tapi Logan adalah iblis tak bertanduk yang tidak kehabisan akal.
Beri kami waktu dua bulan untuk mengurus semuanya. Nanti kukabari lagi apapun hasilnya. Be strong, Hay. If Logan was a demon himself, you are the Queen of Hell. He was nothing compared to you.
Yasmine.
Ingin rasanya merobek kertas-kertas itu dan membakarnya sekarang juga. Yasmine benar, Logan adalah iblis. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri karena pernah terpikat oleh pesona seorang Logan Anderson.
Jika dipikir-pikir hubungan mereka dulu tidak seperti hubungan penuh cinta layaknya orang-orang. Hampir semua gerak-gerik mesra dan perkataan penuh cinta hanya ditujukan untuk publik, untuk santapan tabloid dan artikel gosip. Bahkan tak jarang, dirinya dan Logan tidak saling berkabar berhari-hari dan bodohnya ia menganggap semua itu wajar.
Hayley melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia berusaha memejamkan matanya untuk beristirahat. Makan malam di rumah Matthew masih beberapa jam lagi. Ia masih memiliki waktu untuk menenangkan gejolak amarah dan cemas di dalam hatinya. Tapi percuma, tubuhnya seakan menolak untuk beristirahat. Pada akhirnya ia memilih beranjak dari ranjang dan mencari gaun yang cocok untuk dipakai nanti.
***
Jane sedang mengambil sesuatu dari lemari piring ketika Hayley turun dari kamarnya malam itu dengan menggunakan gaun coklat susu selutut tanpa lengan. Itu gaun paling sederhana yang ia bawa. Hayley tak mengerti apakah dirinya yang salah lihat atau bagaimana, tetapi mata Jane terlihat agak berkaca-kaca ketika melihatnya menuruni tangga.
“Apakah gaunku aneh? Aku tidak—“
“Kau cantik sekali Hayley,” potong Jane tersenyum sangat lembut. “Aku terkadang berpikir, sebrengsek apa orang-orang yang tega menyakitimu di luar sana.”
Hayley berusaha keras menahan air mata harunya. “Oh Jane, aku benar-benar berniat untuk tidak menangis malam ini. Tapi terima kasih, kau juga sangat cantik sekali.”
Jane mengenakan gaun hitam sederhana yang dipadukan dengan blazer hijau botol. Rambutnya ia biarkan terurai, tidak seperti biasanya. “Ayo, Matthew agak sedikit sensitif pada sesuatu yang terlambat.”
Matthew memang sering mengadakan makan malam bersama dengan tetangga sekitarnya. Semacam sebuah ritual atas rasa syukurnya pada kehidupan; kesehatan, peternakan, tetangga yang baik, rompi kulitnya, rambutnya yang sulit tumbuh lagi tapi bukan sebuah masalah, dan masih banyak lagi.
Jane menggandeng lengan Hayley dalam perjalan menuju rumah Matthew. Hanya ada terpaan angin yang menemani keheningan jalan. Sampai tiba-tiba Jane berkata, “Aku paham jika ini bukan urusanku, tapi jika kau butuh teman cerita tentang semua hal yang sedang terjadi, aku selalu duduk di ruang tamu, menyapu di halaman, berkebun, menyulam di dapur atau dimanapun kau inginkan aku berada.”
Jane dapat merasakan perubahan pada Hayley setelah ia mengantarkan surat itu sore tadi. Hayley terlihat lebih murung dan matanya seringkali terlihat kosong. Tapi ia betul-betul paham bahwa sebenarnya ia tidak berhak tahu tentang semua itu.
Hayley menoleh menatap Jane, tangannya mengusap tangan keriput Jane di lengannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang bisa diucapkannya malam ini.
Tamu-tamu di rumah Matthew ternyata tidak sebanyak yang Hayley bayangkan. Ia mengira bahwa makan malam ini akan seperti makan malam para aktor dan enterpreneur di New York yang biasa ia datangi, yang dipenuhi glamor dan pamer kekayaan. Tapi ternyata tidak. Suasananya sangat hangat, dengan hanya beberapa kursi di meja makan dan lilin-lilin di tengahnya.
“Kupikir penyakit lupamu sedang kambuh, jadi kau tak bisa datang,” sarkas Matthew menyambut mereka dengan wajah sedikit kesal.
“Kami hanya telat 5 menit, Matt. Jadilah tuan rumah yang baik dan berhenti menjadi raja drama,” balas Jane sengit.
Matthew hanya mendengus dan menuntun mereka untuk duduk di ruang makan yang sudah dipenuhi beberapa tetangga yang lain.
Mereka semua menyambut Hayley dengan senyuman hangat, seakan Hayley hanyalah cucu dari Jane, tetangga mereka. Bukan seorang aktor papan atas yang sedang melarikan diri. Hayley membalas senyuman mereka dengan tak kalah hangat.
Makan malam itu berjalan dengan lancar. Dengan diisi oleh obrolan-obrolan ringan tentang pekerjaan dan rencana mereka untuk kedepannya. Jane juga terlihat asyik mengobrol dengan salah satu wanita paruh baya berambut coklat yang Hayley ketahui bernama Moana—Jane memperkenalkan mereka—yang ternyata seorang desainer.
“Hayley,” suara Matthew membuyarkan lamunannya tentang kehangatan suasana ini. “Bagaimana? Kau menyukai The Cotswolds sejauh ini?”
Hayley mengangguk. “Tentu. Tidak ada tempat yang lebih damai dari The Cotswolds.” Kecuali New York.
New York rumahnya. The Cotswolds tempat pelariannya.
“Apa kau tidak bosan setiap hari menghabiskan waktu dengan wanita cerewet itu?” tanya Matthew, matanya melirik sebal pada Jane yang masih asyik membicarakan gaun keluaran terbaru.
Hayley terkekeh geli. “Jane sahabatku, Matt. Tidak. Dia tidak cerewet.”
“Aku mendengarmu, Matthew. Pendengaranku masih bagus dibanding dirimu.” Jane bersuara dari tempatnya duduk.
Matthew memutar bola matanya malas. Diumur mereka yang sama sama sudah kepala 6, mereka masih terlihat seperti remaja yang melempar ejekan pada satu sama lain. Hayley tidak tahu cerita masa lalu Matthew sampai dirinya hidup sendiri sebagai seorang peternak di The Cotswolds. Jane tidak pernah memberitahunya.
Apakah Matthew pernah memiliki istri dan anak atau sebagainya, Hayley tidak tahu.
“Tapi sebuah pekerjaan terdengar menarik. Aku tidak punya pekerjaan selama di sini. Tidak banyak yang bisa kulakukan di perkebunan Jane dan sedikit bosan juga jika hanya duduk-duduk di ruang tamu.” Hayley memang masih memiliki banyak simpanan uang, tapi ia bisa gila jika tidak melakukan apapun di sini dan hanya menunggu kabar tak pasti dari New York.
Mata Matthew berbinar. “Aku pergi ke Goldie’s Bookshop beberapa hari lalu. Pria tua butuh bacaan baru setiap minggu. Ronnie, pemilik toko buku itu, mengatakan jika ia sedang butuh pegawai baru.”
Hayley seketika ingin meloncat bahagia. Impiannya sejak kecil memang menjadi aktor. Tapi, bekerja di toko buku adalah impiannya juga. Bayangan tumpukan buku, wanginya yang seperti surga, dan rak-rak yang berderet seketika menguasai otaknya.
“Aku mau!” balas Hayley setengah memekik.
“Kutu buku hah.” Matthew tertawa. “Besok kuantar kesana, sekalian aku membeli novel Agatha Christie.”
“Terima kasih, Matthew. Aku akan kesini besok pagi.”
Hayley tak sadar jika sejak tadi Jane sudah beranjak dari kursinya dan berdiri di samping dirinya. “Waktunya pulang, Hay. Kudengar besok pagi hari pertama seseorang bekerja.” Jane tersenyum.
“Well, Ronnie belum tentu menerimaku, tapi berharap tidak ada salahnya kan?” tanya Hayley sembari berdiri.
“Baiklah, Matt. Terima kasih atas jamuan makan malamnya.” Jane berpamitan, diikuti Hayley dan beberapa tamu yang lain. Satu-persatu dari mereka meninggalkan rumah Matthew dan pulang ke rumah masing-masing. Hayley dan Jane menjadi tamu yang terakhir pulang. Sehingga Hayley menyadari tatapan sendu Matthew ketika semua tamunya sudah pergi.
Berbeda dengan Hayley yang memilih untuk selalu sendiri, Matthew tidak memiliki pilihan.