Read More >>"> Hello, Kapten! (Chapter 3 : Ternyata Siti Nurbaya) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Kapten!
MENU
About Us  

"Perkenalkan, nama saya Dewa dan saya calon suami kamu."

Edel diam sejenak. Tubuhnya membeku seketika dengan kedua matanya yang membulat sempurna menatap sosok tinggi dengan wajah seperti model cover majalah itu.

"Memangnya Anda siapa, kok, berani sekali ngaku-ngaku jadi calon suami saya?" tanya Edel dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya.

Dewa tersenyum seraya menatap Edel dengan penuh antusias. "Saya enggak mengira kalau ternyata kamu cantik. Saya pikir, tentara wanita yang katanya hobi ndorong mobil itu tampilannya seperti laki-laki, tapi ternyata bayangan saya salah. Memangnya, Tante Karlina belum cerita, ya? Seminggu yang lalu, teman-teman satu SMPnya Tante Karlina, kan, ada reuni akbar. Kebetulan bunda saya itu teman satu angkatan Tante Karlina. Pulang dari reunian, bunda minta saya untuk berkenalan dengan anak dari salah seorang teman seangkatannya itu. Saya dengar kamu sedang tugas di tempat ini, jadi ... kebetulan saya juga bertugas mengantarkan para relawan dan logistik, makanya sekalian saja saya memperkenalkan diri. Kaget, ya?"

Edel menelan salivanya susah payah. Sepertinya ibunya kali ini perlu di ultimatum. Edel memang sudah sering mendengar jika Karlina sering membuka lowongan menantu untuk menjadi suaminya, tapi tidak menyangka jika akan sefrontal ini. Edel sudah kesulitan menahan malu. Dia sudah seperti orang kehilangan harga diri, seolah statusnya yang masih sendiri itu dimanfaatkan oleh sang ibu untuk dijadikan bahan promosi pembukaan lowongan calon mantu.

"Saya enggak pernah dengar soal perkenalan itu dari ibu. Kebetulan ibu juga belum menelpon saya lagi."

Dewa terseyum. Ia merasa geli sendiri melihat wajah Edel yang tiba-tiba memerah dengan sikap salah tingkahnya. Pemuda itu pun segera mengulurkan tangannya pada Edel. "Kenalan dulu tidak masalah, kan? Setelah selesai tugas nanti bisa dibicarakan lagi untuk kedepannya. Saya juga enggak suka kalau enggak mengenal lebih dekat dulu sama calon istri," ucapnya dengan senyum lebar di bibirnya. 

Edel membuang napas kasar, ia pun segera mengulurkan tangan dan menggenggam tangan kekar Dewa itu. Tanpa diduga, Dewa justru menunduk dan mengecup punggung tangan Edel yang jelas saja membuat Edel menjengit kaget.

"Senang bisa kenal sama kamu, Edel. Sekarang saya balik dulu ke pangkalan. Besok ada jadwal kirim logistik lagi, semoga masih ada waktu buat ketemu sama kamu," ucap Dewa seraya membungkuk dan memutar tangan kanannya beberapa kali seperti seorang pangeran yang hendak berpamitan dengan putri raja yang ditemuinya. 

Edel membuang napas kasar, ia pun mendengus, merasa tidak percaya hal seperti ini menimpanya. Edel menatap Dewa yang kini berlari menuju helikopter yang di bawanya. Ia pun terbang kembali ke pangkalan militer yang ada di lepas pantai, dekat dengan Pulau Timur. Edel menggeleng beberapa kali, ia pun merogoh saku celana lorengnya dan mulai memencet nomor telepon milik Karlina. Seperti kebiasaannya, Edel segera berlari dan naik ke atas pohon mangga. Tempat paling aman dan nyaman bagi Edel untuk melakukan panggilan telepon. 

"Halo, Edel, gimana? Tumben telepon ibu masih ada matahari begini? Kamu baik-baik aja, kan, Del?" tanya Karlina saat ia mengangkat panggilan telepon dari putri sulungnya itu. 

"Bu, kenapa enggak tanya sama Edel dulu kalau mau jodohin Edel sama orang?" Edel segera memprotes keputusan Karlina untuk menjodohkannya. 

"Eh, kamu sudah ketemu sama Dewa? Dia itu anak dari teman smp ibu, Del. Tante Winny, inget, nggak? Kemarin waktu reunian sempat cerita kalau anaknya belum ada jodoh juga. Ya, sudah, iseng saja ibu tunjukkan fotomu. Eh Winny tertarik. Katanya anaknya tentara juga. Pilot. Sudah ketemu? Kalau dari fotonya sepertinya ganteng, wajahnya bersih, putih."

Edel membuang napas kasar. "Bu, Edel, kan, bisa cari jodoh sendiri. Malu, Bu kalau pakai dijodohkan begini ...."

"Ibu juga enggak sembarangan jodohin kamu sama orang. Ibu lihat anak Tante Winny ini baik. Katanya dia nurut aja sama orang tua. Dia juga tentara, sibuk. Enggak waktu juga buat dekat sama perempuan, apalagi dulu pernah disakitin sama mantan pacarnya. Ditinggal selingkuh waktu masih pendidikan. Setelah itu dia enggak ada lagi ngenalin perempuan ke keluarga. Tante Winny udah cocok sekali sama kamu katanya. Ibu juga kenal baik dengan keluarganya. Sudah, mau saja, Del. Jarang-jarang ada laki-laki kualitas super yang mau sama kamu."

Edel mendengus, lalu tertawa. Ia pun merubah tampilan layar ponselnya menjadi kamera dan mulai melihat wajah hitam manisnya di dalam layar. 

"Memangnya aku ini kurang apa, sih, Bu? Kayak takut banget aku enggak laku," gerutu Edel mulai merasa kesal.

Dari seberang ponsel itu, Karlina tertawa lepas. "Kamu cantik, manis, tapi, kan, penampilan dan kelakuan udah mirip laki-laki. Mana ada perempuan yang hobi naik dan gelantungan di pohon? Belum lagi kalau sudah dorong mobil atau truk, mana ada perempuan yang kelakuannya begitu, Del? Enggak ada anggun-anggunnya. Dengerin ibu, ya ... biasanya laki-laki itu lebih tertarik sama perempuan yang anggun, lemah lembut, dan masih ada manja-manjanya gitu. Kalau kamu ... sudah jauh dari kata anggun, galak pula, enggak ada manja-manjanya. Laki-laki mana ada yang mau, Del?"

Edel membuang napas kasar. Ia menunduk dan mulai mengambil beberapa tangkai daun yang posisinya dekat dengan dirinya. Pantas saja Kapten Adit anti banget kayaknya kalau dekat-dekat aku. Lihat tadi tampilan si relawan itu ... cantik, anggun, lemah lembut, batin Edel.

"Ya sudah, Bu. Edel masih ada kerjaan lagi. Nanti kalau ada waktu Edel telepon lagi."

Edel mematikan ponsel pintarnya dan menyimpannya di dalam saku celana lorengnya. Edel pun mencoba turun, kali ini ia sudah mengambil ancang-ancang untuk melompat dari atas batang pohon mangga itu. Baru saja dikatakan tidak anggun, tapi rupanya perkataan sang ibu tidak terlalu memberikan pengaruh berarti pada Edel. Tetap saja dia barbar, asal saja lompat dari ketinggian dua meter itu. 

Edel melompat, tapi ia terkejut saat tanpa sepengetahuannya Adit sudah berdiri di bawah pohon mangga itu entah sedari kapan. Adit terkesiap saat melihat Edel mulai melompat dan dengan gerakan refleksnya, Adit merentangkan tangan dan menjaga Edel agar tidak jatuh bebas ke atas tanah. Alhasil, kini Edel berada dalam gendongan Adit dalam posisi mirip bridal style. Romantis,bukan?

Hal itu membuat Edel membulatkan mata sekaligus tersenyum lebar. Ia bahkan melingkarkan kedua tangannya di leher Adit dan menatap pria itu lekat-lekat. 

"Kamu kenapa lompat dari atas? Bahaya!" celetuk Adit tiba-tiba. 

Edel tersenyum geli, ia memicingkan matanya dan menatap Adit dengan usilnya. Ia mulai menjahili Adit dengan tatapan nakalnya.

"Ih, khawatir, ya, kalau calon istri jatuh terus luka?" goda Edel. 

Adit mendengus, lalu tersenyum kecut. "Saya khawatir kalau anggota saya terluka karena ceroboh! Lupa kalau diluar sana musuh sedang berkeliaran?" 

Adit menatap Edel tajam dan melepaskan pelukannya dari perempuan itu. 

"Kapten juga ngapain di bawah pohon? Melamun? Atau lagi mikirin saya? Ah, saya tahu, kapten pasti nguping pembicaraan saya sama ibu saya, kan? Ngaku, deh!" ucap Edel seraya menunjuk jari telunjuknya pada Adit. 

Adit kesulitan menelan salivanya sendiri. Jujur saya, ia merasa penasaran saat mendengar suara laki-laki di dekat kamar Edel dan Indah tadi. Adit pun mencoba memeriksa siapa laki-laki itu dan tanpa sadar, Adit justru mendengar semua pembicaraan Edel dan Dewa tadi. 

 Rasa penasarannya terus menyeruak di dalam hatinya saat ia mendengar Edel menelepon ibundanya. Untuk itu, Adit sengaja mengikuti langkah Edel dan menunggu Edel di bawah pohon mangga. Alih-alih ingin menanyakan perihal perjodohan itu, tapi yang ada gengsi Adit kembali ditinggikan hingga ia kelabakan sendiri saat Edel mempertanyakan keberadaannya di tempat itu. 

"Enggak usah sok tahu. Saya cuma sedang lewat dan merasa kepanasan, lalu berteduh di bawah pohon," ucap Adit mencoba menetralkan suasana. 

Edel memicingkan matanya, ia kembali menggoda Adit dengan senyumnya.

"Yang bener, Kapt?"

Adit mendengus, lalu memilih melangkah pergi. Namun, Edel mencekal langkahnya. Gadis itu menggengam pergelangan tangan Adit dan sempat membuat Adit menjengit kaget.

"Jadi relawan itu benar calon istri kapten?" tanya Edel tiba-tiba. 

Adit menoleh. Ia menatap mata Edel yang dengan tulus menatapnya. Sepasang mata yang kini sedang menunggu sebuah kepastian tentang rumors calon istri yang beredar cepat di posko tersebut.

Adit meluruskan posisi berdirinya dan menatap Edel dengan saksama.

"Maaf, saya sudah membuat kamu kecewa," ucap Adit tegas.

Edel terkejut. Ia menahan napasnya dengan mata yang membulat sempurna. Tak lama ia tersenyum getir.

"Kalau sudah punya calon kenapa tidak jujur saja, Kapt? Paling tidak, saya tidak terlalu berharap banyak sama kapten," ucap Edel lirih. 

Adit diam sejenak. Ia menatap Edel tepat di sepasang mata yang kini mulai berkaca-kaca itu. 

"Maaf. Saya pikir kamu sudah paham. Saya juga sudah mencoba untuk tidak menanggapi godaan kamu, Del."

Edel melepaskan tautan tangannya perlahan dan tersenyum getir. Ia mengangguk. Dadanya mendadak terasa ngilu. Sakit sekali menerima kenyataan patah hati ini.

Bodoh.

Harusnya sejak awal Edel tidak memberikan harapan terlalu besar pada Adit. Ia tahu selama ini Adit menolaknya, ia juga merasa selama ini Adit menghindarinya. Mungkin juga Adit sengaja menutup kenyataan jika dia sudah memiliki kekasih karena melihat Edel yang gencar mengejarnya. Namun, tetap saja, menelan pahitnya kekecewaan dan terpaksa harus menerima kenyataan itu sama-sama sakit.

"Kalau begitu saya punya jawaban ketika pulang tugas nanti."

Adit mengernyit. Ia tidak paham dengan ucapan Edel barusan. 

Edel menatap wajah Adit sekali lagi, lalu tersenyum. 

"Saya juga akan menerima pinangan dari laki-laki pilihan ibu saya, Kapten. Tidak ada alasan saya untuk tetap mengejar cinta kapten jika pada kenyataannya kapten juga akan menikah dengan perempuan lain."

Edel pergi. Berjalan cepat meninggalkan Adit sendirian di bawah pohon mangga itu. Adit menatap punggung Edel yang kian lama kian menjauh. Ia tahu, ia sudah membuat Edel kecewa. Adit menengadah ke langit. menatap hamparan awan putih yang bergerombol tepat di atas kepalanya.

Kenapa tidak mengaku saja jika kamu juga jatuh cinta sama dia, Dit? batin Adit.


How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • ammy

    jut dong thor.. Pnasaran.. Kykx seru jg cerita yg ini

    Comment on chapter Permulaan
  • ammy

    jut dong thor.. Pnasaran.. Kykx seru jg cerita yg ini

    Comment on chapter Permulaan
Similar Tags