"Katanya tadi ketemu kelompok Diego Noya, San? Beneran, ya?" tanya Pratu Husein saat ia menghampiri Edel yang sedang mencuci muka dan kepalanya.
Edel mengangguk. "Harusnya kapten sudah lapor ke pimpinan."
"Kayaknya laporan tertunda. Kapten ada tamu dari Kodam."
Edel menatap sebuah mobil jeep yang terparkir di halaman markas tepat di depan ruang kerja Kapten Adit. Ia membulatkan bibirnya seraya melepaskan seragam lorengnya dan hanya menyisakan kaos hijau loreng di tubuhnya.
"Kodam? Mau ngapain? Ada tambahan personil lagi di pos kita?" tanya Edel heran.
Husein hanya menggedikkan bahunya. Ia tidak tahu menahu mengenai tujuan dari tamu komandannya itu.
"Ya, sudah, saya jaga pos lagi, San."
Edel mengangguk tegas. Ia mengambil handuk kecil dari dalam ranselnya dan mengusap wajah dan tangannya yang basah.
"Ah, air surga ini namanya, seger banget," ucapnya seraya menengadahkan kepala menikmati sejuknya tubuh yang terkena siraman air usai melakukan perjalanan yang cukup jauh tadi.
Edel mengambil tas ranselnya, ia berjalan menuju dapur umum yang terletak di bekakang ruang makan. Edel mengeluarkan jagung yang ia dapatkan dari warga tadi dan meletakkannya ke dalam sebuah wadah besar.
"Masak apa, San?" tanya Edel pada anggota yang bertugas di dapur umum itu.
"Mie instan sama nasi. Itu jagung dapat dari mana?" tanyanya heran.
"Biasa. Warga. Bisa, nih, nanti malam bikin acara bakar jagung, San," ucap Edel seraya tersenyum.
"Wah, ide bagus. Nanti saya siapkan bumbunya. Ngopi-ngopi sambil main gitar di tengah api unggun, ah, membayangkannya saja sudah senang."
Edel terkikik geli sebelum akhirnya ia berjalan keluar menuju ruang istirahatnya. Dalam perjalanan, ia melihat Kapten Adit yang sedang berjalan bersama dengan orang yang katanya tamu dari Kodam tadi. Mereka tampak akrab, saling bercengkerama, mungkin teman satu angkatan saat di Akademi dulu. Dilihat dari pangkatnya yang sama-sama kapten.
Tak lama, Adit memukul sebuah kentongan besi yang menandakan sebagai bel untuk mengumpulkan seluruh personil di pos tersebut. Semua orang segera berlari dan berbaris berjajar di tengah lapangan, termasuk Edel.
"Selamat sore, saya mengumpulkan kalian di sini untuk memberikan informasi bahwa, pos kita akan kedatangan beberapa orang anggota relawan dari pusat. Mereka berjumlah sepuluh orang. Relawan ini akan datang kurang lebih satu minggu lagi. Jadi, saya mohon kerjasamanya untuk membangun tenda dan mempersiapkan tempat tidur militer kita untuk mereka. Dari daftar relawan, ada satu anggotanya yang perempuan. Nanti akan tidur di mess bersama Sersan Edel.
"Relawan itu nantinya akan membantu tugas kita di sini dalam melayani masyarakat selama kurang lebih tiga bulan. Persiapkan semuanya termasuk ketersediaan logistik kita. Ada pertanyaan?"
"Siap, tidak!"
"Karena kita kedatangan warga sipil, maka penjagaan terhadap lingkungan sekitar pos harus diperketat. Kita bertanggungjawab terhadap nyawa sepuluh orang relawan ini. Jangan sampai saat mereka berkeliling ke kampung-kampung tidak mendapat penjagaan. Nanti, saya dan Letnan Rendra akan membicarakan mengenai jadwal patroli dan pelayanan masyarakat. Saya akan mengatur ulang jadwal kita. Demikian pengumuman yang dapat saya sampaikan. Bubar!"
Edel membuang napas kasar. Jadwal patroli di ganti, sudah pasti ia tidak akan mendapatkan jadwal yang sama dengan Kapten Adit seperti sebelumnya. Edel berjalan lemah. Ia tampak seperti orang putus asa saat bergabung bersama rekan-rekannya. Ia membantu rekan-rekannya itu untuk mendirikan tenda seperti arahan Adit tadi.
"Gue denger-denger ada nama calon istrinya Kapten Adit di daftar relawan."
Edel menoleh. Ia baru saja selesai menanam pasak untuk tendanya. Letnan Rendra mendekatinya dan berdiri di sampingnya.
"Nggak usah sok tahu, deh, Let!"
Wajah Edel berubah murung. Bibirnya manyun belum lagi napasnya yang mulai menderu.
"Gue kasih tahu, bukan gue sok tahu." Rendra mengambil ponsel pintarnya. Sinyal di sekitaran markas memang lumayan kencang jadi tidak perli menunggu lama jika harus membuka sebuah aplikasi.
"Nyusulin pacar ke tempat tugas. Nikmatnya jadi relawan," ucap Edel seraya melihat sebuah postingan foto Kapten Adit bersama dengan perempuan cantik berambut panjang.
Edel diam sejenak. Baru ia tahu jika ternyata Adit sudah punya kekasih. Sedih. Hancur. Namun, prinsipnya satu jika janur kuning belum melengkung, masih halal untuk ditikung. Edel tersenyum usai menatap postingan dari gadis yang mengaku sebagai kekasih Kapten Adit itu.
"Perlu di konfirmasi langsung ke orangnya."
"Kalau ternyata itu benar calon istrinya Bang Adit, lo bersedia mundur, Del?"
Edel membuang napas kasar. Ia mengambil tali besar dan mulai mengikatkan tali itu ke batang pohon.
"Enggak. Prinsip mengejar cinta itu sama seperti prinsip mengejar musuh, Let. Pantau, dekati, nikahi! Jadi, sebelum ada kata sepakat jika mereka akan menikah, saya masih punya kesempatan yang sama untuk jadi Nyonya Aditya. Meskipun kesempatan itu hanya 1%, tetap saja itu sebuah kesempatan."
Rendra menggeleng beberapa kali. Sepertinya Edel memang bersungguh-sungguh mendekati komandan sekaligus seniornya itu.
"Gue udah ngingetin. Gue nggak jamin kalau nanti lo nangis-nangis patah hati."
***
Seluruh anggota dan komandan di Pos Desa Yambe kini tengah bersiap menyambut kedatangan para relawan yang diantarkan ke pos dengan menggunakan helikopter. Edel menatap ke langit saat mendengar deru suara helikopter mulai mendekat. Ia menatap burung besi dengan baling-baling itu dengan saksama. Ada sepuluh relawan, sembilan di antaranya laki-laki, dan satu diantara mereka adalah calon istri Kapten Adit. Rival terberat Edel.
Seminggu lamanya Edel menunggu. Rasanya penantiannya sudah berlangsung begitu lama. Rasa penasarannya mendadak membuncah usai Rendra menunjukkan beberapa foto kemesraan Kapten Adit dengan perempuan bernama Indah itu.
Helikopter pun mendarat. Baling-baling yang semula berputar cepat, kini kian lama kian melambat sebelum akhirnya berhenti. Para relawan itu turun dari helikopter dengan menenteng tas serta koper. Belum lagi kacamata hitam khas anak kota. Satu yang menjadi perhatian Edel. Perempuan dengan rambut terurai, celana jeans, kaos tanktop yang tertutup blazer, sepatu hak tinggi, kaca mata hitam berframe besar, dan dandanan bak artis Korea cukup menyita perhatian Edel.
Rupanya tidak hanya Edel saja yang terkagum dengan kehadiran perempuan itu. Anggota lainnya pun seolah terhipnotis dengan kehadiranya. Seperti memiliki aura tersendiri.
Perempuan yang konon bernama Indah itu menatap sekelilingnya. Ia tersenyum lebar seraya melepaskan kacamata hitamnya saat melihat sosok Kapten Adit berdiri paling depan dari barisan anggota pos.
Mata Edel membulat saat melihat Indah, perempuan yang wajahnya mirip dengan Jiso Blackpink itu menghambur ke pelukan Adit. Memeluk tubuh pria kekar itu dengan mesra dan penuh kerinduan. Sorak sorai tentu saja segera berkumandang di lapangan pos. Banyak dari mereka yang bertepuk tangan, tapi tidak sedikit juga yang menatap Edel iba.
Patah hati dalam semenit.
Edel mengembuskan napas kasar. Ia mencoba menata kembali detak jantung dan deru napasnya. Bagaimanapun juga ia harus menyambut anggota relawan yang baru datang itu. Sialnya, Edel harus berada satu kamar dengan perempuan itu.
"San, kayaknya rumorsnya benar. Itu calonnya Kapten Adit. Buktinya Kapten Adit enggak menghindar sedikit pun. Beda kalau sama sersan. Ampun-ampunan hindarinnya," ucap Husein setengah berbisik.
"Berisik! Saya belum ada waktu untuk tanya ke Kapten Adit soal ini. Jadi, saya belum tahu kepastiannya."
"Kalau benar gimana?"
"Nasib. Selama janur kuning belum melengkung masih ada waktu untuk menikung."
"Kalau lihat dari packagingnya, sih, bakalan sulit buat nikung, San. Mendahului saja kayaknya susah!"
Edel menatap tajam ke arah Husein. Ia heran sendiri mendengar ucapan Husein yang terlalu jujur itu.
"Kamu sebenernya dukung saya jadian sama Kapten atau enggak, sih? Dia emang cantik, sempurna, udah mirip idol Kpop, tapi biasanya orang cantik belum tentu bisa jadi pasangan yang baik, belum tentu bisa ngurus suami, belum tentu bisa masak, belum tentu bisa bersih-bersih rumah .... "
"Memang sersan bisa?" tanya Husein seraya menahan tawanya.
Edel mendengus. "Belum tentu juga. Namun, paling enggak saya punya effort untuk berusaha."
Husein mendekatkan bibirnya ke telinga Edel dan kembali berbisik.
"Masalahnya, meskipun sersan punya effort, tapi ada hal yang membedakan. Mbak Indah cintanya gayung bersambut, sementara Sersan Edel cinta sendiri. Mau se-effort apa pun tetap percuma, San. Kapten saja enggak pernah ngelirik."
Husein segera melangkah pergi saat Edel menoleh dan menatap Husein tajam. Ia membuang napasnya saat menyadari semua yang dikatakan Husein itu sepenuhnya benar. Ibarat pelari sprint, Edel sudah kalah start. Entah bisa bersaing atau tidak. Secara fisik, jelas goodlooking, sementara Edel ... sudah macam upik abu.
"Lihat dia jalan sama Kapten Adit udah mirip putri dan pangeran. Nah, kalau jalan sama aku ... Pangeran dan upik abu. Eh, tapi di cerita dongeng ada yang namanya Cinderela, kan? Dia upik abu dan akhirnya pangeran jatuh cinta. Ah, semoga nasib Cinderela berpihak sama aku."
Edel berjalan menuju ruang istirahatnya. Ia ingin menyambut kedatangan Indah secara pribadi. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Kapten Adit mengantar Indah sampai ke muka pintu.
"Ini kamar kamu."
"Kamar mas dimana?"
"Barak sebelah sana. Sama anggota lainnya."
"Mas kurusan. Selama tugas pasti enggak pernah makan enak," ucap Indah seraya mengusap wajah Adit.
"Saya tugas. Bukan karya wisata. Makan seadanya sudah biasa, Indah."
Indah menatap Adit dengan saksama. Ia tersenyum saat menggenggam tangan kekar Adit.
"Mas, masih ada janji yang belum digenapi."
Adit mengernyit. Namun, tak lama ia menyadari maksud dari ucapan Indah itu.
"Indah, kita sudah putus. Untuk apa mengungkit masa lalu?"
"Itu kata Mas Adit. Kataku, kita masih jadi sepasang kekasih. Lagipula, soal hubunganku dengan Gusti, aku sudah mengaku jika aku khilaf, Mas. Aku enggak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Lagipula, papa dan mama sudah menanyakan terus perihal pernikahan kita. Hal itu buat aku sadar kalau, bukan hanya aku saja yang berharap bisa bersanding denganmu, tapi orang tuaku juga ingin punya menantu seperti Mas Adit."
Adit membuang napas kasar. Ia tahu perselingkuhan yang pernah dilakukan Indah tidak akan bisa ia lupakan. Mungkin hatinya sudah memaafkan, tapi kesalahan itu, rasa sakit hati itu masih melekat.
"Indah .... "
"Aku nyusul mas sampai ke sini. Aku berusaha memperbaiki semuanya. Aku sudah mulai bersilaturahmi lagi dengan keluarga mas. Ibu mas juga punya harapan yang sama dengan hubungan kita. Aku sadar, pasti mas belum bisa maafin aku. Untuk itu, aku ke sini. Aku ingin memperbaiki hubungan kita."
Adit melepaskan tautan tangannya dengan Indah. Tak lama ia tersenyum seraya menatap Indah.
"Indah saya ...."
Indah kembali menautkan jemarinya dan menatap Adit seraya menahan tangisnya.
"Tolong, berikan aku kesempatan itu, Mas. Aku mau memperbaiki hubungan kita. Tolong, izinkan aku," ucap Indah dengan suara parau.
Adit membuang napas panjang. Ia lemah saat melihat perempuan menangis. Adit pun mengangguk dan menarik tubuh Indah ke dalam pelukannya.
"Mas mau nerima aku lagi dan mewujudkan janji kita yang tertunda?"
Adit diam sejenak. Tak lama ia mengangguk. Dengan lembut Adit mengusap wajah Indah yang basah karena air mata.
"Lebih baik istirahat dulu saja. Saya masih banyak urusan."
Edel menahan napasnya. Ia menatap nanar wajah bahagia Adit dan Indah barusan.
Mereka berpelukan? Sedalam itukah hubungan mereka? Kenapa hatiku ... sakit, ya, batin Edel.
"Edel?"
Edel menjengit kaget saat ia mendengar suara bariton itu memanggil namanya. Edel menoleh perlahan, menatap ke belakang, lalu mengernyit.
"Edel, kan?"
Edel diam sejenak. Ia menegakkan posisi tubuhnya dan mulai memperhatikan pria tinggi dengan seragam pilot di hadapannya.
"Letnan ini, pilot heli yang tadi, kan?" tanya Edel bingung.
Pria itu mengangguk.
"Perkenalkan, nama saya Dewandanu biasa dipanggil Dewa. Saya pilot helikopter dan saya adalah calon suami kamu."
jut dong thor.. Pnasaran.. Kykx seru jg cerita yg ini
Comment on chapter Permulaan