"INI SAYA?"
Edel memekik usai melihat pengumuman hasil patroli rutin yang baru saja diganti oleh Lettu Rendra. Ia melihat namanya ada dalam tim yang bertugas di sana.
"Sudah jelas. Masih tanya?" tanya Rendra heran.
"Yang nyusun jadwalnya siapa, Let?"
Rendra menggedikkan kelapa ke arah ruangan kerja Adit. Hal itu membuat Edel tersenyum geli. Ia segera datang ke ruang kerja Adit. Berdiri tepat di depan meja sederhana bekas meja guru di SD Negeri Jaya.
"Apa?" tanya Adit usai melihat Edel memberikan hormatnya pada Adit.
"Jadwal patroli itu kapten yang buat?"
Adit membuang napas kasar. Ia kembali menunduk menatap peta wilayah seraya berdehem sebagai jawaban.
"Kapten, nih, ternyata pura-pura. Malu-malu, tapi ternyata diam-diam mau. Enggak sekalian official aja statusnya?"
Adit mengernyit. Ia meletakkan spidol marker yang sedang ia bawa di atas meja dan menatap Edel dengan saksama.
"Arah pembicaraanmu ini kemana?"
"Jadwal patroli."
Adit mengangguk. "Sudah ada jadwal yang baru, rekan baru, lebih baik di pahami dan di mengerti."
Edel tersenyum lebar. Matanya berbinar menatap Adit. Ia tahu, pertemuannya saat giat bersama korps Pandawa setahun lalu cukup menyisakan memori indah. Terlebih saat Edel berada dalam satu tim dengan Adit dalam kegiatan itu. Di saat itulah, Edel merasakan getaran-getaran dalam hatinya. Terlebih saat acara itu, Adit cukup perhatian pada Edel. Mungkin karena Edel satu-satunya anggota wanita dalam kelompoknya. Namun, kebaikan dan perhatian Adit itu dianggap lebih oleh Edel.
Berharap sedikit tidak ada salahnya, bukan? Karena kabarnya Kapten Adit baru saja putus cinta. Siapa tahu Edel bisa membuatnya move on meskipun masih gagal. Hingga tanpa diduga, setelah pertemuan itu Edel kembali di pertemukan di medan tugas yang sebenarnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sudah seperti semesta yang mengatur, bukan?
"Saya di sini juga karena mencoba memahami dan mengerti jadwal patrolinya, Kapt."
Adit bersedekap. Ia menatap Edel dengan saksama.
"Ada yang mau ditanyakan?"
"Iya. Kenapa kapten bikin jadwal patroli rutin sama saya ? Tiga bulan berturut-turut seminggu tiga kali?"
Adit tersedak salivanya sendiri. Ia segera bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju papan pengumuman sederhana di sisi kiri kantornya. Adit membaca dengan saksama setiap jadwal yang menyebutkan namanya beserta tim.
Mampus! batin Adit.
"Kapten udah enggak sabar, ya, ngedate sama saya?" tanya Edel seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Adit membuang napas kasar. Ini pasti salah. Ia benar menyusun jadwalnya sendiri bersama wakil komandannya, Lettu Rendra. Seharusnya jadwal patrolinya dengan Pratu Harun, bukan Edel.
"Kenapa, Kapt? Ekspresinya, kok, terkamcagiya begitu? Udah enggak sabar, ya, meniti jalur patroli dan merubahnya jadi jalur pengajuan?"
Adit membuang napas kasar. Ia memejamkan matanya. Ia sadar. Satu titik salahnya, Rendra pasti sudah mengerjainnya.
"Harapan kamu aja itu."
"Bisa jadi harapan kapten juga, tapi malu buat ngomongnya."
Adit memejamkan matanya. Ia tidak mungkin mengganti jadwal patroli yang sudah ia umumkan sendiri pada seluruh anggota.
"Ya sudah, lebih baik kamu siap-siap. Sebentar lagi kita berangkat."
Edel tersenyum. "Saya harus dandan cantik nggak, Kapt?" tanyanya lirih.
Adit mendesah frustrasi. "Terserah!"
***
"Kapt, jalannya pelan sedikit, dong."
Edel merengek karena Adit berjalan lebih cepat di depannya sementara dirinya masih berada jauh di belakangnya. Patroli kali ini hanya menempuh jarak pendek. Sekalian membagikan beberapa sembako yang di bawa dalam ransel Adit dan Edel.
Sebenarnya, tim yang berpatroli hari ini bukan hanya Adit dan Edel saja, tapi ada Serka Arif dan Prada Yuli yang bertugas membagikan sembako di kampung berbeda meskipun masih ada dalam satu desa.
Paket sembako yang mereka bawa dalam satu ransel kira-kira ada sepuluh. Jadi total masing-masing membagikan dua puluh paket sembako pada dua puluh kepala keluarga. Targetnya. Namun, kenyataannya tidak. Karena dalam satu kampung, biasanya hanya terdiri dari lima belas rumah saja yang dihuni oleh satu saudara.
"Ini bisa ditukar dengan sayur? Kami baru saja panen jagung. Kakak tentara mau? Kami tukarkan dengan sembako itu. Boleh?" tanya salah seorang ibu dari salah satu keluarga yang sempat di datangi Edel dan Adit.
Edel menatap satu karung jagung yang dibawa oleh ibu itu. Berharap Adit menolak pemberian itu, tapi seperti kebiasaannya, Adit menerima pemberian itu dan membagi dua isinya untuk di masukkan ke dalam ransel.
"Kapt, kenapa di terima? Kita, kan, tidak butuh jagung?"
Adit tersenyum tipis. "Jagung itu memang tidak berarti apa-apa untuk kita, hanya saja jagung itu harta yang mereka punya. Sisa paket sembako dibeli dengan sekarung jagung, hasil panen mereka. Kita harus menghargai juga jerih payah mereka, Del. Sekecil apa pun barang yang mereka punya, itulah barang berharga mereka. Jangan pernah disepelekan. Mengerti?"
Edel menegakkan posisi tubuhnya, lalu menjawab siap. Kini, terjawab sudah mengapa di markas mereka sering terlihat berbagai macam sayuran dan buah, rupanya itu hasil dari usaha masyarakat setempat yang ditukar dengan sekilo beras, tiga bungkus mie instan, dan satu kaleng sarden. Imbasnya, para prajurit harus rela makan sayur bayam seminggu berturut-turut.
"Setelah ini, bisa jadi menu makannya jagung rebus terus, nih."
"Jagung bakar juga enak. Kalau ke pasar nanti bisa dijual, kita bisa beli ikan atau ayam untuk makan sama-sama."
Edel mengangguk. "Kalau buat saya, sih enggak masalah, Kapt."
"Maksudnya?"
"Ya, kan, asal makannya berdua sama kapten, jagung bakar seraya paha ayam."
Adit membuang kasar napasnya. Ia kembali berjalan menyusuri jalan setapak di tengah hutan itu untuk melanjutkan patroli mereka. Kali ini Edel berjalan lebih dahulu. Melewati sungai kecil dan menyusuri hutan. Patroli memutar dengan radius lima kilometer memutar di luar perkampungan setempat.
Tak disangka, tiba-tiba Adit menarik ransel Edel dan membuatnya sediki oleng. Ingin rasanya memprotes tindakan Adit itu, tapi urung ia lakukan karena posisinya kali ini sungguh membua jantung Edel nyaris copot dari tempatnya.
Adit memeluknya dari belakang dengan satu tangannya.
Haruskah berbalik badan terus mengalungkan dua tangan ke lehernya seperti di film-film romantis begitu? Ya ampun, Del, tahan dirimu ... tahan, batin Edel.
"Kapt?"
"Sstt ... jangan berisik, ads Bagas!"
Edel membulatkan matanya. Ia menatap sekelilingnya dan tiba-tiba tubuhnya membeku seketika saat melihat Bagas melintas di hadapannya. Edel segera membungkam mulutnya, tapi ia teringat akan janjinya pada Karlina, ibunya untuk memperkenalkan Bagas pada ibunya.
Dengan gerakan lambat, Edel meraih ponselnya di dalam saku celana lapangannya. Perlahan ia memencet ponsel tersebut dan berusaha mengambil foto Bagas.
"Ngapain kamu foto si Bagas?" tanya Adit setengah berbisik.
Suara bisikan itu seketika membuat sekujur tubuh Edel merinding karena hembusan napas Adit terasa begitu jelas dan hangat di telinganya. Belum lagi suara bisikan yang sedikit serak itu membuat Edel meronta-ronta ingin segera diajak pengajuan.
"Mau saya kirim ke ibu, Kapt."
Adit mengernyit. "Ibu kamu suka sama babi hutan?"
"Rencananya mau saya kenalkan sebagai calon mantu, kalau kapten enggak mau sama saya," jawab Edel santai seraya mendongak menatap wajah Adit.
Posisi ciumable itu membuat Adit meneguk salivanya susah payah. Jarak wajah mereka tidak terlalu jauh. Apalagi bibirnya. Kepeleset sedikit sudah pasti tidak lagi perawan bibir Edel.
Tak beberapa lama setelah merasa Bagas sudah melangkah cukup jauh, Adit pun mengempaskan tubuh Edel seraya bergidik.
"Kapt? Kok enggak dipeluk lagi? Saya masih mau sandaran di dada kapten, nih .... "
"Terpaksa tadi saya peluk. Kamu jalan seperti enggak ada remnya. Kalau Bagas dengar langkah kamu, dia bisa langsung mengejar. Dan saya juga repot jadinya. Enggak usah kepedean kamu!"
Edel mencebikkan bibirnya. Ia menahan tawanya saat Adit berjalan mendahuluinya dengan langkah tegap dan cepat. Langkah Adit terhenti saat ia mendengar sebuah mobil melintas di tengah hutan itu.
Tangan Adit menggenggam. Ia memberikan kode pada Edel untuk berhenti di tempat. Edel pun berhenti, lalu bersembunyi di balik semak-semak dan batang pohon besar. Edel mencoba memberanikan diri untuk melihat ke arah timur, tempat Adit memperhatikan sesuatu.
Mata Edel membulat. Ia melihat sekelompok pasukan separatis bersenjata melintas di sana. Mereka mengendarai sebuah mobil jeep. Ada juga yang berjalan sembari menenteng senjata laras panjangnya.
"Noya?" gumam Edel saat ia mengetahui salah seorang dari penumpang mobil jeep itu adalah pimpinan terbaru dari kelompok separatis bersenjata itu.
Edel dengan sigap mengambil ponselnya dan mencoba merekam serta mengambil gambar diam-diam. Ia pun kembali bersembunyi saat melihat kelompok itu melintas.
Adit menatap Edel. Memberikan kode pada Edel untuk segera mengikuti langkah kelompok tersebut secara diam-diam. Seketika adrenalin Edel pun terpacu. Ia mengangguk dan segera mengambil langkah sigap. Ia berlari ke atas bukit agar lebih mudah mengawasi dari kejauhan.
"Ini tempat tidak lazim bagi mereka untuk berkeliaran. Kita pantau terlebih dahulu. Ditakutkan, Noya dan kelompoknya merencanakan untuk menyandera warga kampung Putih, " ucap Adit.
Edel mengangguk paham. Wajah dan ekspresinya berubah serius. Ia mengendap-endap di balik semak-semak. Ia melihat ke arah bawah, dekat dengan muara sungai tempat kelompok itu berhenti. Edel menggunakan teropong pada senjatanya untuk melihat lebih jelas kegiatan kelompok bersenjata tersebut di bawah sana.
"Kapt, mereka punya sandera."
Adit ikut memperhatikan melalui teropong senjatanya. Ia mencoba memindai siapakah sandera yang sedang diminta berlutut itu.
"Pantau saja. Jangan menyerang."
"Siap!"
Edel berusaha menahan tembakannya saat Noya mengarahkan senjatanya pada kepala sanderanya.
"Kapt, mereka bisa menembak sandera jika kita tidak bergerak!"
"Kalau kamu bergerak, sama saja bunuh diri. Kita hanya berdua. Lagi pula sepertinya sandera itu juga bagian dari mereka."
Dor!
Edel membulatkan matanya usai mendengar suara letusan senjata itu. Sandera pun tewas seketika dengan luka tembak di kepalanya.
"Ini adalah pelajaran bagi kalian jika mengkhianati Diego Noya! Jangan harap akan diberi ampun!" raung Noya.
Tak berselang lama ada sebuah kapal tongkang yang datang merapat ke tempat kelompok itu.
Edel mencoba mengambil kameranya, mengambil vidio dan beberapa foto. Matanya membulat saat orang dari atas kapal itu memberikan satu kotak kayu pada para pemberontak itu yang isinya adalah senapan serbu.
"Kapt?"
Adit menajamkan tatapannya. Napasnya memburu. Sudah jelas Adit mulai emosi melihat hal itu.
"Tahan. Ambil bukti untuk laporan nanti."
Titah Adit terdengar jelas dan tegas. Mereka masih berada di tempatnya, memantau sampai transaksi jual beli senjata ilegal itu usai.
"Berhasil ambil fotonya?"
Edel menatap layar ponselnya dan mengangguk.
"Sedikit buram, Kapt, tapi masih bisa jadi bukti saat mereka menerima senjata itu."
Adit meraih ponsel Edel. Ia mengernyit saat menggeser layar ke kiri. Ia melihat beberapa foto dirinya di sana. Saat olah raga, saat akan mandi, saat memberikan petunjuk ketika apel, saat makan, dan masih banyak lagi.
"Kamu stalker? Kenapa isi galerinya foto saya semua?" tanya Adit heran.
"Ck! Dilarang membuka koleksi pribadi orang lain, Kapt. Pelanggaran itu!"
"Kamu juga pelanggaran, ambil foto orang lain tanpa izin!"
Edel mencebikkan bibirnya.
"Orang lain gimana? Kan, kapten calon suami saya."
jut dong thor.. Pnasaran.. Kykx seru jg cerita yg ini
Comment on chapter Permulaan