Setelah bising yang selalu menyapa telinga itu mulai asing sebab tiga hari berturut-turut tak lagi kudengar suaranya, ternyata semesta tidak pernah membiarkanku damai selamanya. Entah kemana perginya orang-orang egois itu, namun di hari ketiga mereka kembali.
Kembali membuat kegaduhan lebih tepatnya, alih-alih bertanya bagaimana kabar sang anak yang mereka tinggalkan sendirian di rumah sebesar ini.
Kalau punya kesempatan, mari bertukar tempat jika ada orang yang merasa kalau keluarga bukan segalanya, mari bertukar peran dengan siapapun yang bilang kalau harta paling berharga bukanlah keluarga. Sebab menurutku, materi saja tidak pernah cukup dan aku sudah kehilangan mereka sejak beberapa tahun silam. Segala kemewahan ini, segala kecukupan yang terasa membalutku tiap hari itu, nyatanya tidak cukup untuk mengatur segala upayaku agar dapat tetap bertahan di dunia ini kalau saja tidak ada orang yang meyakinkanku untuk tetap bangkit dan hidup. Pastinya aku sudah lenyap sejak lama dan namaku hanya tinggal sekedar nama yang melayang di udara. Hanya saja, seseorang di sana berhasil menguatkanku untuk tetap tinggal di dunia yang tak pernah kuimpikan sebelumnya.
Rasanya sangat lelah ketika akan memasuki rumah ini dibanding dengan aku yang sudah hampir seharian menghabiskan seluruh tenagaku di sekolah. Asing, padahal ini rumahku. Rumah tempat dimana seharusnya aku bisa berkeluh kesah dan bercerita apa saja sesuka hati. Namun nyatanya, itu tidak pernah terjadi.
Kulangkahkan kaki tanpa melihat keadaan sekitar. Dari ambang pintu, papa ada di sana dengan fokusnya pada televisi yang menampilkan acara berita di sore hari. Lihat, bahkan tidak ada sapaan hangat darinya padahal bisa kupastikan kalau kedatanganku sedikit banyak mengalihkan fokusnya.
Sama dengannya, aku pun berpura-pura tidak peduli. Seolah tidak ada siapapun di sana dan langsung melangkah menuju kamar.
“Begini cara kamu menyapa orang tua, Aretha?” Suara lantang itu menjadi penyebab langkahku terhenti.
“Here we go,” gumamku pelan.
Aku tidak menjawab, hanya menatap netranya yang memancarkan kekesalan di sana.
“Kamu bahkan seperti tidak melihat ada orang satu pun di sini.” Katanya lagi. “Saya ini Papa kamu, dimana sopan santun kamu sebagai anak?”
Cih, dia bahkan masih bisa meminta untuk dihormati setelah meninggalkan anaknya sendirian selama tiga hari di sini tanpa sedikit pun kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya. Tidak sedikit pun.
“Aku pikir Papa ngga akan peduli, sama kayak Papa yang ngga pernah anggap aku ada di dunia ini,” jawabku, terlihat seperti anak durhaka, tapi sekali lagi, siapa yang peduli dengan itu?
Tangan besar itu, yang seharusnya kini membelai halus surai hitamku dan mungkin dengan beberapa kecupan hangat setelahnya, justru berubah menjadi benda menakutkan yang hampir saja membuatku hancur lebih dalam kalau itu tidak berhenti dan hanya menggantung di udara.
“Pukul aja, aku mau liat seberapa dalam Papa bakal nyakitin aku.” Kalau kelihatannya kata itu keluar dari mulutku dengan tenang, tidak. Tidak sama sekali.
Sebab jauh di dalam sana, berusaha kutahan air mata ini agar tidak keluar menerobos pertahananku. Agar laki-laki yang harusnya menjadi cinta bagi anak perempuannya ini tahu kalau aku sangat kuat menghadapi dunia yang kejam. Sebab jauh di lubuk hatiku, aku berharap kalau Papa akan sadar dan langsung memelukku erat saat itu juga. Tetapi pada akhirnya, harapan hanya akan menjadi sebuah harapan.
Lalu dari arah samping, Mama datang dengan baju kantor yang masih melekat di badannya dan Papa beralih ke sana. Entah harus bersyukur karena dia tidak jadi menamparku, atau justru aku harus menyesal karena setelah ini pasti kembali terjadi keributan diantara mereka.
“Kamu liat dia sekarang jadi anak yang durhaka! Itu semua karena kamu! Karena kamu ngga pernah becus buat urus dia!” marah Papa mengalihkan pandangannya ke arah Mama yang masih berjalan menuju dapur.
Benarkan yang kubilang?
“Aku lagi capek, ngga mau berantem. Jadi mending kamu diam,” kata Mama sembari meneguk segelas air dingin.
Tapi Papa seolah tidak mendengarkan sepatah kata pun yang Mama bilang padanya tadi, dia terus mengeluarkan suara mengomentari bagaimana Mama yang katanya tidak becus merawat anak.
Ya, di sanalah mereka, beradu argumen perihal aku. Perihal bagaimana sikapku terhadap mereka. Padahal ini bukan salah Mama, ini salah keduanya. Bagaimana mungkin aku bisa bersikap baik-baik saja di saat duniaku sedang hancur-hancurnya dan penyebab dari itu semua adalah mereka sendiri?
...
Suara bising bak gemuruh petir yang menggelegar di bawah sana sudah tidak terdengar lagi sejak satu menit yang lalu, aku menghela napas. Sekedar itu saja karena sepertinya setelah ini aku bisa tertidur setidaknya tanpa mendengar suara berisik yang ditimbulkan oleh dua orang itu.
Namun ketika tengah berusaha menutup kedua kantung mata dan menyelam ke dunia mimpi, sebuah benda menghantam kaca membuatku terkejut. Siapa orang gila yang iseng melempari kacaku malam-malam begini?
Aku beranjak, melihat ke bawah walau samar siapa pelaku tersebut.
Setelah melihat itu, harusnya aku tak perlu berpikir sejauh ini, harusnya aku menyadari kalau aku mempunyai satu teman yang cukup gila untuk dijadikan seorang teman. Siapa lagi kalau bukan Gio?
“Lo ngga ada kerjaan banget, ya, sampe malem-malem nangkring di sana?” tanyaku melalui telepon yang tersambung beberapa menit lalu, sebab sama saja dengan bunuh diri kalau aku berteriak dari sini.
“Hehe....” Hanya kekehan yang keluar dari mulut laki-laki itu.
“Dih, jawab. Malah cengengesan.” Protesku, kesal.
“Laper, ngga?” Dia malah bertanya balik.
“Bukan itu pertanyaan gue, Gio!”
“Iya tau, tapi lo laper, ngga? Pasti lo belum makan, ‘kan? Tau gue, yuk cari makan!” Sepertinya setelah ini aku harus bertanya pada Gio bagaimana caranya dia bisa mengetahui segala sesuatu tentangku. Sebenarnya, Gio ini betulan peramal atau bagaimana?
“Tunggu di situ.” Kataku akhirnya sebelum menutup panggilan telepon itu.
Aku beralih mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu, mengendap-endap keluar agar tidak ada satu orang pun yang terdistraksi atas perbuatan gilaku kali ini. Meski sedikit tidak peduli, namun kupastikan kalau Mama dan Papa sudah tertidur kali ini. Aku hanya tak ingin membuat kegaduhan yang lebih lama lagi. Sudah cukup tadi.
Laki-laki yang tengah menungguku di luar itu tampak tersenyum kala melihat keberadaanku menutup pintu rumah. Gelap memang, namun masih bisa kulihat dengan jelas kalau Gio benar-benar tersenyum.
Kutarik Gio dari sana, sedikit menjauh agar percakapanku tidak terdengar oleh Mama dan Papa.
“Lo mau nyari makan kemana jam 10 malem gini, Gio?!” Aku berkacak pinggang di hadapannya, tidak habis pikir dengan laki-laki itu.
“Pengen bakso,” balasnya. Jawaban di luar dugaanku.
Aku mengerutkan kening, “kayak yang ngidam aja lo!”
“Iya, lagi 3 bulan ini. Tiba-tiba pengen bakso.” Gio terkekeh hingga menampilkan deretan giginya yang berbaris rapi.
Kupukul tangsnnya pelan, tetapi cukup untuk membuatnya meringis.
“Aneh, lo!” ucapku.
“Lah, baru tau? Dari kemaren kemana aja?”
Iya, harusnya tak kulayangkan perkataan itu sebab Gio saja menyadari kalau dirinya memang aneh.
Kami berjalan memutari kota mencari tukang bakso yang masih buka, aku tidak tahu kalau Gio memang se-ingin itu sampai dia mengeluarkan mobilnya yang jelas tidak pernah dia pakai untuk hal yang cuma-cuma.
“Tumben bawa mobil?” tanyaku di sela keheningan itu.
“Udah malem, Cil, belum lagi kalo tempat baksonya yang masih buka ternyata jauh.”
“Lah itu lo nyadar kalo ini udah malem, terus ngapain tiba-tiba pengen bakso?” Aku masih berusaha menunggu jawaban yang masuk akal dari Gio.
“Ya, ngga tau orang tiba-tiba pengen, gimana dong? Atau lo anter gue berobat aja deh!” tuturnya, spontan membuatku lebih terkejut.
“Lo sakit?” Aku mulai khawatir, ditambah nada bicara Gio yang kelewat pelan sejak tadi.
Gio menggeleng. “Ngga, cuma lagi ngga enak badan aja.”
“Mau ke dokter mana?” tanyaku, serius.
Namun apa yang dikatakan Gio setelahnya, menarik semua atensi khawatirku padanya, dan membuatku berpikir lebih jauh lagi setelah ini untuk mengiyakan segala perkataannya.
“Ada, dokter kandungan.”
Ya, setelah kata itu terlontar dari mulutnya, kupastikan kalau Gio tidak akan bisa tidur malam ini sebab seluruh badannya yang memar karena ulahku.