Tadi malam setelah menemani laki-laki itu memenuhi keinginannya makan bakso, aku bisa tertidur dengan lelap tanpa harus memikirkan kejadian beberapa menit sebelum Gio akhirnya datang dengan tingkahnya yang selalu di luar dugaanku.
Untungnya, semenjak pergi hingga pulang kembali tak ada satu pun yang menyadariku sehingga aku bisa dengan lega sampai di kamar lagi.
Entah sudah berapa kali laki-laki itu bak dewa penolong kala kelabu tengah datang menyelimutiku. Seperti sebuah benang kusut yang dia rapikan dengan telaten dan pelan, seperti itu cara Gio menyelamatkan duniaku. Bahkan aku tidak tahu harus berbuat apa selain mengucap terima kasih padanya, meski Gio terkadang mengejekku dengan kalimat ‘dih, tumben lo bilang makasih, biasanya juga b aja’.
Kata Gio, aku harus bisa lebih kuat lagi menghadapi dunia, kata Gio aku harus menjadi perempuan tangguh meski ribuan kali diterjang badai. Kata Gio, ada banyak sekali hal menyakitkan lain di luar sana, maka ibarat kata bahwa apa yang kualami saat ini belum ada apa-apanya.
Gio, orang itu aneh. Akan tetapi, ketika dirinya sedang berada dalam mode serius, apa pun yang dikatakannya terasa benar. Apa pun yang keluar dari lisannya seolah menjadi penunjuk saat berada di jalan buntu. Laki-laki dengan segala keanehan di dalam dirinya itu terkadang membuatku kagum. Sedang apa tuhan kala menciptakannya hingga manusia satu ini begitu sempurna? Juga sepertinya tak bisa habis pujian yang kuberikan untuk Gio, sampai-sampai itu selalu ada dalam bab ceritaku tiap harinya. Ya, sebab Gio memang sesempurna itu.
***
“Tha!” Suara dari arah depan menginterupsiku. Aku hanya diam menatapnya berjalan kemari.
Itu Regina, salah satu teman dekatku yang lain. Regina ini seperti Gio dalam versi wanitanya. Ya, walaupun Gio masih tetap berada di peringkat paling atas.
Aku mengenalnya dua tahun yang lalu, saat masa-masa ospek. Gadis lincah yang sekarang ada di sebelahku ini, tetap sama seperti dahulu kala aku baru mengenalnya. Regina sangat aktif, bahkan mungkin kalo tidak salah, perempuan itu memiliki teman yang tersebar luas di seluruh penjuru sekolah ini karena sikapnya yang ramah dan mudah bergaul. Memang kedengarannya berbeda sekali denganku, ‘kan? Namun memang seperti itu siklusnya. Orang-orang seperti aku, si pendiam yang tak pernah banyak bicara ini, entah mengapa selalu dipertemukan dengan orang seperti Regina, yang berbanding terbalik sifatnya 180°.
“Pulang sekolah nanti jadi, ‘kan?” katanya lagi. Aku mengerutkan kening, heran. Sepertinya memang ada hal yang kulupakan.
“Dih lupa?” Aku mengangguk.
“Ntar siang abis pulang sekolah mau kerkom kata mereka.”
Oh, aku baru paham sekarang. Mereka yang Regina maksud adalah teman sekelompokku. Rupanya aku memang melupakan itu, padahal baru dua hari yang lalu mereka membahas ini di grup WhatsApp.
“Dimana?” tanyaku, sebab belum jelas dan pasti tempat yang mereka putuskan kemarin.
Regina mengendikkan bahunya. “Ngga tau juga gue, nanti tunggu mereka aja deh!”
Aku mengangguk paham, kukira tadinya Regina hanya akan menyampaikan itu saja. Tapi ternyata Regina kini memandangku dengan tatapan yang tak bisa kupahami.
“Tha, random question. Lo pernah kepikiran buat suka sama Gio, ngga?” tanyanya.
Ada banyak hal yang terjadi di sekolah ini, dari mulai yang terlihat sampai yang tidak terlihat. Pertemananku dengan Gio memang se-terbuka itu hingga tak jarang kalau beberapa orang melihat kami selalu bersama, begitu pula dengan Regina. Bahkan beberapa kali ketika aku tak bertemu dengan Gio, laki-laki itu selalu menitipkan pesan pada Regina untuk nantinya disampaikan padaku, seperti roti dan susu beberapa hari yang lalu. Tak jarang pula beberapa dari mereka berbisik pelan mengenai aku dan Gio yang selalu bersama, namun itu tak pernah kupedulikan. Dan kali ini, mendengar pertanyaan yang sama namun itu berasal dari mulut Regina, rasanya aneh.
“Apaan lo tumben nanya gitu?”
“Ya, ngga. Nanya aja, kan namanya juga random question,” jawabnya.
Tidak salah sebetulnya, tetapi pertanyaan kali ini menang terlalu random untuk dibahas sekarang.
“Gue sama Gio tuh udah temenan lama, kan lo juga udah tau, Re!” ucapku, Regina masih diam. Sepertinya menunggu jawaban lain. “Ga tau, gue ga bisa bedain mana suka mana biasa aja,” kataku final.
Regina masih diam hingga beberapa menit kemudian ketika perempuan itu berbicara, kepalaku mulai penuh dengan apa yang dikatakannya.
“Gue kalo jadi lo pasti udah baper sih, Tha. Apalagi Gio tuh nge-treat lo segitunya.”
Kali ini, gantian aku yang diam.
Sial, perkataan Regina membuatku berpikir jauh tentang bagaimana hatiku ketika melewati hari-hari bersama Gio. Beberapa debar yang kerap terasa ketika aku dan dia tak sengaja berkata lewat tatap mata, perasaan aneh yang hadir ketika melihatnya tertawa saat kami tertawa bersama, sampai pertanyaan apakah aku memang menganggapnya biasa saja atau selama ini aku yang selalu menyembunyikan perasaan itu. Perasaan-perasaan nyaman dan aman ketika Gio tiba-tiba datang ke rumah ketika Mama dan Papa sedang bertengkar, perkataannya yang seolah menyihirku masuk ke dunia laki-laki itu dan merasa seperti berada di rumah, perasaan senang ketika mendengar dirinya menyebutku dengan sebutan ‘bocil’ walau kadang aku selalu memarahinya karna sebutan itu. Semua perasaan dan pertanyaan itu bercampur menjadi satu.
Bahkan, itu yang menjadi highlight dalam kepalaku.
“Ngga lah! Ngaco lo, itu kan lo bukan gue. Mana bisa disamain!” protesku pada Regina. Sengaja agar perempuan itu bisa cepat mengalihkan ke topik obrolan yang lain.
Namun ternyata tidak sampai di situ. Pikiranku yang datang mengenai Gio tidak hanya selesai sampai Regina tak lagi membalas perkataanku. Malah sekarang, sosok yang aku dan Regina bicarakan sedari tadi, ada di depan sana. Ya, Gio di depan sana, melihat ke arahku dengan senyuman yang selalu dia berikan tiap harinya.
Terkejut? Tentu saja. Bagaimana mungkin orang yang baru saja kupikirkan langsung ada di hadapanku sekarang. Ditambah lagi suasana hatiku yang sedang kacau, kehadiran Gio untuk pertama kalinya membuat seorang Aretha bimbang.
“Cil, ayo ke kantin!” ajaknya, Gio melambaikan tangan.
Aku diam sebentar, menimang-nimang. “Ngga deh, lo duluan aja. Gue masih kenyang,” ucapku pada akhirnya, tentu saja itu sebuah kebohongan.
Aku tidak mungkin setuju dengan ajakan Gio dan duduk berhadapan dengannya di kantin sedangkan perasaanku masih mempertanyakan tentang Gio sejak tadi. Lebih baik menolak daripada mencari mati.
“Yakin? Ngga nyesel lo?” tanyanya lagi, memastikan.
Aku hanya mengangguk, kemudian Gio mengacungkan jempolnya sembari keluar dari kelas. Tampak sedikit raut wajah kecewa karena mungkin aku menolaknya kali ini padahal biasanya tidak begitu. Meski tidak enak rasanya, tapi tidak apa. Lagipula, ini demi kebaikan hatiku.
...
“Tha, belum pulang lo?” Seseorang datang menghampiri ketika aku berdiri di depan gedung sekolah. Aku menggeleng pelan sebagai jawaban.
“Mau bareng, ngga?” tanyanya lagi.
“Ngga usah deh, gue ngga mau ngerepotin.” Mendengar itu, laki-laki di depanku ini malah tertawa.
“Yaelah, Tha, kayak sama siapa aja lo. Lagian rumah kita juga, ‘kan searah. Daripada lo nunggu lama di sini?” ujarnya kembali meyakinkanku untuk menerima tawaran itu.
Itu Leo, salah satu teman sekelasku. Kami tidak akrab, namun beberapa kali pernah dalam satu kelompok yang sama. Leo cukup baik, tetapi aku tidak mengenalnya lebih jauh selain sebagai teman sekelas dan sekelompok. Karena itu, heran rasanya melihat dia di depanku sekarang dan menawarkan bantuan tersebut.
“O-“
“Cil, ayo balik!” Suara dari arah belakang menginterupsi. Suara seseorang yang sangat kukenali.
Ya, Gio di sana. Di belakangku.
Aku diam, melihat secara gantian pada dua laki-laki yang mengajakku pulang bersama. Menimang-nimang kira-kira mana yang akan akan kupilih untuk menuju ke rumah.
Hahahaha, tidak-tidak. Aneh sekali kedengarannya.
“Yeh malah bengong! Ayo naik, panas nih!” Itu siara Gio lagi, aku masih diam dan melihat Leo yang sepertinya juga menunggu jawaban.
“Bro, sorry nih tapi dia balik sama gue. Tetanggaan soalnya kita, jadi ngga usah repot-repot lo, biar gue aja yang nganter dia balik,” kata Gio, tertuju pada Leo.
Akan tetapi, Leo tidak menanggapi perkataan Gio. Dia malah melihat ke arahku.
Aku yang merasa tidak enak karena membuat keduanya menunggu, akhirnya mau tak mau harus memutuskan.
“Thanks, ya, buat tawarannya Yo. Tapi kayaknya gue pulang sama Gio aja deh,” ucapku pada akhirnya.
Leo hanya mengangguk, kemudian pamit dan pergi melajukan motornya. Sedangkan di sebelahku, Gio tersenyum. Menyebalkan.
...
“Lo ngapain deh sama Leo?” tanya Gio di atas motor itu secara tiba-tiba.
“Emang gue ngapain? Orang dia cuma nawarin tebengan,” jawabku.
“Terus kalo tadi gue ngga dateng, lo mau gitu pulang bareng sama dia?”
“Ya, kenapa ngga?”
“Jangan pulang sama orang lain, pulang sama gue aja,” kata Gio. Aneh.
“Dih, emang kenapa? Suka-suka gue lah mau pulang sama siapa?” ketusku tak terima.
“Sama gue aja dibilangin ngeyel amat!” Gio balik memprotes.
Namun aku tak ingin kalah darinya, “Ya lo harusnya ngasih alasannya juga kenapa gue ga boleh pulang sama orang lain!”
“Kita ngga tau, Cil, itu orang niatnya baik atau ngga. Kalo ada apa-apa di jalan gimana? Lo kalo sama gue ‘kan pasti aman!”
Fyuhh... Gio ini terlalu percaya diri.
“Halah, lo cemburu apa gimana, Gi?” Sumpah, kali ini kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku tanpa di duga.
“Dih, ngga! Enak aja, ngapain gue cemburu?”
“Ya ngga tau, lagian lo ngga jelas!” Setelah perkataanku yang terakhir ini, kami bungkam.
Di sepanjang perjalanan itu, aku dan Gio hanya diam. Entah apa yang dia pikirkan, tetapi isi kepalaku terasa masih penuh sekarang. Bedanya, kali ini ditambah dengan umpatan-umpatan karena bisa-bisanya aku berkata demikian. Kami berlayar dengan pikiran masing-masing bahkan sampai di depan rumah dan Gio kembali ke rumahnya. Seperti disadarkan oleh realita tentang apa yang terjadi pada kami berdua, yang seharusnya memang sudah harus dipertanyakan kejelasannya.