Mau anak sulung, tengah, atau bungsu tidak ada bedanya.
Sama-sama menanggung beban masing-masing.
Si sulung yang hebat, si tengah yang sabar, dan si bungsu yang kuat.
Si hebat menjadi contoh, si sabar menjadi tempat mengadu,
dan si kuat yang selalu dibandingkan
(L.K)
πππ
Degup jantung seorang pemuda mulai tak karuan. Antara senang, tapi gelisah bersatu dalam dirinya. Ia dan kakak keduanya menaiki motor menuju sekolah. Entah kenapa si tengah dengan senang hati menawarkan diri untuk mengambilkan rapornya sejak semalam.
Pemuda itu adalah siswa kelas X SMA Patriot Pancasila. Ia hanya membisu kala motor dilajukan dengan kecepatan tinggi oleh kakaknya. Kedua tangannya mencengkeram erat jaket kulit sang kakak.
"Sudah dibilang jangan pulang malam, telat nih yang mau ambil rapor," gerutu Tri Satya Renanda.
Suara keras yang menyatu bersama gemuruh angin membuat Dama---panggilan Darma Satya Renanda---mengabaikan teriakan sang kakak karena tidak jelas apa yang dikatakannya. Sesekali ia melirik jam tangannya dan memastikan masih bisa hadir tepat waktu sebelum sang wali kelas berbasa-basi menyapa wali murid.
Begitu motor memasuki halaman sekolah, seorang juru parkir mengarahkan ke mana mereka harus menempatkan motornya. Kini giliran Satya melirik ke arah jam tangannya dan menarik tangan Dama.
"Kelasnya di mana, Dam?"
"Masih sama seperti semester kemarin, Kak."
"Sudah lupa!"
"Lorong depan itu belok kiri," tunjuk Dama.
Begitu sampai di depan kelas barulah pergelangan tangan Dama dilepas oleh Satya. Begitu terlepas, Dama memilih untuk menjauhi kelasnya dan duduk di bawah pohon kina sekaligus menghindari beberapa teman yang bergerombol depan kelas.
Remaja berambut lurus bersandar pada batang pohon sambil mengamati beberapa semut yang melewatinya dan menuju ke bawah tumpukan daun. Saat ia tengah fokus, suara sorak sorai terjadi di depan kelasnya.
Siswa perempuan berjingkrak bahagia, ada beberapa tangan yang terulur memberi selamat pada satu teman sekelasnya. Disusul dengan sorakan kedua, teman sebangku Dama yang mendapat jabatan tangan dari rekan sekelas.
Selang beberapa menit, Dama menoleh dan mendapati sang kakak tengah mencari keberadaannya. Ia beranjak dan mendekati sang kakak. Belum juga berbicara tangan Satya lebih dulu menggerakkan buku rapor ke kepala Dama sambil berdecak kesal.
"Ngapain aja sampai nggak dapat peringkat?"
Dama membuka rapornya dan mencari letak peringkat yang dimaksud. "Nggak ada keterangan peringkat di sini, Kak!"
"Dibacain sama wali kelasmu. Kakak malu! Katanya dulu namamu disebut sebagai juara kelas, tadi disebut bukan sekadar turun dari juara satu malah turun nggak dapat peringkat sepuluh besar."
"Dama dulu pernah bilang kalau juara, Kak Satya nggak percaya. Giliran nggak juara baru dipercaya. Gimana, sih?" kilah Dama sambil berjalan meninggalkan sang kakak yang melongo mendengar ucapannya itu.
Sepanjang perjalanan pulang Satya menceramahi Dama yang dinilai gagal mempertahankan status juara kelas. Selama kurang lebih dua puluh lima menit telinga Dama panas mendengar segala petuah dan tata cara belajar yang benar.
"Makanya belajar sama cari teman tuh yang benar. Jangan anak badung yang dijadikan teman, Dam! Coba kamu lihat Bang Asa, dia alim dan nggak banyak ngomong. Pinter pula. Kamu lihat juga Kak Satya ini, bentar lagi wisuda dan resmi jadi sarjana pendidikan."
Dama yang sudah lelah mendengar kata-kata serupa setiap dia bermasalah, hanya mampu berpaling dan memilih menikmati pemandangan sawah nan hijau di desanya. Akhirnya motor yang ditumpangi memasuki halaman rumah dengan pintu kayu yang penuh ukiran.
Kakak beradik itu memasuki rumah dan disambut dengan beberapa hiasan ornamen kayu. Salah satu yang sering menarik perhatian tamu adalah untaian seluruh nama keluarga yang diukir di kayu dan ditempel di sisi dinding yang lurus dengan pintu utama.
Susunan pertama Renandito Prawira sebagai yang teratas, disusul Larasati si ibu negara dalam keluarga. Selanjutnya adalah Dasa Darma Renanda, Tri Satya Renanda, Darma Satya Renanda. Kakak beradik si sulung, tengah, dan bungsu.
Si sulung dipanggil abang, Abang Asa lebih tepatnya. Namun, untuk si tengah Ibu Laras enggan melabelinya dengan abang karena terlalu rawan dan takut nantinya Dama akan memanggil Bang Sat pada si tengah. Maka pilihan kakak sudah ditetapkan demi keamanan bersama.
Setelah seharian Dama mengurung diri dan enggan keluar kamar, akhirnya sang ibu mengetuk pintu dan meminta bergabung bersama keluarga untuk makan malam. Dama ingin menolak, tetapi terlalu sungkan untuk mengatakannya
Di ruang tengah, seluruh keluarga sudah berkumpul. Bang Asa bersama istri dan juga cucu pertama di keluarga itu, Kak Satya, Pak Renan dan Bu Laras juga sudah siap. Kemudian tanpa di duga bersamaan dengan sampainya Dama di meja makan, seorang kerabatnya muncul.
"Oii, keluarga Pramuka lagi komplit, nih!" Si tamu tak diundang ini melambai dari pintu samping dekat ruang makan.
"Masuk, To! Kita makan malam bareng," ajak si kepala keluarga.
"Dam, kamu bikin masalah apa? Om Tito nggak akan datang kalau dia nggak bawa kabar soal anak-anaknya Pare!" bisik Satya.
Dama hanya menggeleng, ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun kecuali peringkatnya yang turun itu. "KaK Sat yang bikin salah! Bikin nangis anak Om Tito, ya?"
Satya juga menggeleng. Mereka yang duduk bersebelahan itu saling bertukar pandang dalam waktu yang lama, lalu mengangguk. "Mau pamer!" ujar keduanya kompak.
Mulanya, makan malam berjalan khidmat sampai si tamu tak diundang itu mulai berceloteh. "Re, tahu nggak? Kemarin tuh aku dengar Dama disetrap gara-gara terlambat sampai sekolah. Dia dihukum sama bagian kesiswaan. Jangan-jangan kamu nggak tau kalau anakmu suka ngeluyur sebelum sekolah."
Seluruh mata memandang Dama dengan sorot tajam nan menusuk. Dama tersedak, nasi yang baru disuapkan itu berpindah jalur. Ia terbatuk dan menyemburkan nasinya sambil menggeleng menolak tuduhan itu.
Ibu Laras bertindak cepat dan memberikannya minum sambil menepuk punggung si bungsu yang kepayahan. Begitu reda, Dama yang ingin menyangkal tuduhan itu justru ditahan oleh Satya.
"Percuma ngelak, Om Tito mulutnya lebih licin dari belut, Dam," bisik Satya.
Wajah Dama memerah menahan amarah. Lelaki dengan hidung mancung itu memilih untuk menyudahi makan malamnya dan bermain dengan keponakannya.
Setelah si tamu tak diundang itu berhasil numpang makan dan berbuat rusuh, ia melenggang meninggalkan rumah keluarga Renandito. Seluruh keluarga memilih untuk bercengkrama di ruang keluarga dan bergabung dengan Dama dan keponakannya.
"Rapornya gimana, Dek?" tanya Pak Renan.
"Nggak dapat juara, Pak. Tadi Kakak juga malu pas dibilang dulu juara sekarang malah nggak dapat sepuluh besar."
"Tapi nilaiku naik!"
"Tapi bukan juara kelas, bocah!" Satya yang membaca wajah Dama memilih untuk meladeni sang adik.
"Salahkan Kak Satya yang nggak percaya aku juara kelas."
"Soal kamu dihukum kesiswaan gimana? Beneran keluyuran sebelum sampai sekolah?" tanya Pak Renan menengahi.
"Bisnya masih antri isi bahan bakar, abis itu bannya pecah, jadilah nunggu bis berikutnya," jawab Dama sambil meladeni permainan lempar bola bersama sang keponakan
"Dek, kalau ngomong harus gimana?" Ibu Laras menegur si bungsu yang tetap bermain dengan keponakannya.
"Harus menghadap sama yang ngajak ngomong, bicara pelan, tutur kata yang baik dan benar. Apa Dama salah kalau sambil main? Dama ngerti sama aturan itu."
"Dama, kamu lihat Abang Asa ...." Ucapan Pak Renan terpotong dan terganti dengan suara tegas milik Dama.
"Abang Asa yang alim, nggak banyak omong, Kakak Satya yang ngomongnya tertata dan berpendidikan, selalu seperti itu yang Bapak ucapkan. Sementara Dama apa? Bapak bahkan nggak bisa jawab setiap Om Tito mojokin Dama," ujar Dama datar tanpa ada penekanan dalam setiap katanya.
Dama kemudian beranjak dan melangkah menuju kamarnya. Tak lama setelahnya, remaja itu kembali lagi ke ruang tengah, menghampiri ibunya dan berpamitan.
"Mau keluar dulu."
"Jam berapa pulang?" Ibu Laras menahan tangan Dama demi mendapat penjelasan.
"Nggak tau, Ibu tidur duluan dan jangan tunggu Dama pulang."
Semarah dan sekesal apa pun Dama pada keluarganya, nada bicaranya masih bisa pertahankan. Tidak ada bentakan atau penekanan. Lain halnya jika orang lain yang mengusik, ia bisa dengan sangat mudah terpancing dan emosi seperti kejadian di meja makan tadi.