Kau terlalu sibuk dengan yang lainnya
Tanpa tahu bahwa orang di hadapanmu terlalu gelisah.
Wajarkah bila aku khawatir?
Sebab yang aku rasa berbeda dengan yang aku lihat.
πππ
Beberapa orang termasuk kru dan pengisi acara masih lalu-lalang di belakang panggung. Mereka kembali pada kesibukan masing-masing setelah insiden tumbangnya Danendra. Padahal ia masih sadar, hanya saja kedua teman yang memapahnya terlalu panik.
Salahkan saja tubuhnya yang tidak bisa diajak kompromi. Baru berjalan di satu kota sudah begini, dan ini masih tersisa satu kota di Pulau Sumatera dan tiga kota di Pulau Jawa.
"Aku nggak sepenuhnya blackout, kok. Cuma badan lemas sama pusing saja," ujar Danendra meyakinkan orang-orang yang tengah mengelilinginya yang setengah berbaring di sofa.
"Kita nggak mau ambil resiko. Mau nurut atau mau dipulangin aja?" Bang Didi mengeluarkan jurus andalannya, yaitu mengancam.
"Nurut, Bang," jawabnya sambil memegang kepala yang kembali berdenyut.
"Ya udah, ayo ke rumah sakit dulu. Besok perjalanan darat, loh. Lumayan makan tenaga. Kalau kamu nggak fit, gimana?" Kali ini Rivan bersuara untuk membujuk si bungsu yang mulai merajuk.
"Kita temenin rame-rame kalau memang nggak suka di RS. Abang jamin setelah periksa kita balik ke hotel, gimana?" Yuda yang memang paling akrab dengan Danendra di asrama mencoba ikut membujuk.
Sementara itu, tidak jauh dari sofa, Yashinta hanya mendengarkan. Meski begitu pandangannya tidak pernal lepas dari wajah Danendra yang memucat. Ditambah lagi dengan kerutan di keningnya yang seperti menahan sakit.
Bukannya tidak khawatir, ia hanya mencari celah untuk berbicara tanpa menyela ketiga lelaki yang memang sudah seperti saudara bagi Danendra. Gadis dengan bulu mata lentik itu juga sedikit kecewa karena kecolongan. Ia merasa kurang peka pada kondisi Danendra.
"Kalau menurut Mbak Yas, gimana?"
Suara Bang Didi yang tiba-tiba memanggil membuat Yashinta kaget dan berdiri dari kursinya. Ia lantas mendekat. Dilihatnya wajah lelaki yang menjadi pusat perhatian di ruangan itu.
"Tenggorokannya perih?" tanya Yashinta yang dijawab dengan anggukan oleh Danendra. "Ke rumah sakit saja, palinng dapat infus booster vitamin atau imune, setelah itu balik ke hotel. Atau mau Yas teleponin Mbak Gita biar Mas Dan nurut?"
Sontak lelaki di hadapannya itu menggeleng. Ia tidak menyangka ancaman itu yang akan digunakan oleh Yashinta. "Nurut, Mbak. Saya pasrah mau digimanakan juga."
"Seharusnya kita nggak perlu debat sama ni bocah. Kan ada pawangnya," seloroh Rivan sambil mulai berkemas.
"Iya, ya. Kenapa nggak kepikiran ke situ?"
"Jangan begitu, lah. Sekarang saya statusnya masih asisten manajernya Bang Didi." Yashinta mencoba mengelak.
"Sekaligus pacar buat Danendra, iya 'kan?" Yuda yang biasanya memilih diam kini ikut menggoda Yashinta.
"Abang-abang, jangan gangguin Mbak Pacar, dong. Dia itu profesional. Tahu kapan harus kerja dan kapan jadi pacar." Danendra berusaha untuk duduk meski kepalanya serasa ingin lepas.
Kedua lelaki yang lebih tua dari Danendra berbalik dan kompak mengacungkan jempolnya. Mereka sepakat bahwa Yashinta memang profesional. Meski belum berapa lama kenal, tetapi memang begitu adanya. Ia lebih mengedepankan profesionalitas dari pada memanfaatkan keadaan. Termasuk statusnya sebagai kekasih sang idola.
Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Seperti prediksi dari Yashinta, kekasihnya itu bisa pulang setelah menghabiskan satu botol infus booster untuk mengatasi dehidrasi ringan. Ia juga mendapat beberapa obat dan vitamin.
Hanya Yashinta dan Bang Didi yang menemani. Danendra tidak tega untuk meminta Rivan dan Yuda untuk menemani karena keduanya juga pasti sangat lelah. Perjalanan menuju hotel tidaklah lama, kurang dari sepuluh menit mereka sudah tiba di lobi hotel.
"Mbak Yas bantuin Endra, saya mau kemas barang-barang dulu, ya?"
"Bang Didi saja yang bawa Mas Dan, biar saya yang bawa barangnya."
"Nggak apa-apa, Mbak. Lagian ini sudah tengah malam. Nggak bakal ada yang ngelihat."
Dengan berat hati Yashinta memenuhi permintaan Bang Didi. Awalnya, Yashinta berjalan di depan dengan tangan memegang ujung kemeja yang dipakai Danendra. Sang idola menurut meski ia merasakan langkah kaki Yashinta terlalu cepat untuk diikuti.
"Mbak Yas. Pelan-pelan badan saya masih lemas." Danendra memelas karena meski wajahnya sudah tidak pucat, tidak begitu dengan badannya yang masih terasa lemas.
Yashinta berhenti kemudian membalik badannya. Ia menepuk dahinya, "Maaf, Yas lupa, Mas Dan."
Gadis berambut cokelat itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah mendapat kepastian lorong itu sepi, barulah Yashinta mendekat dan menggandeng lengan sang idola. Senyum langsung mengembang di bibir Danendra.
Belajar dari pengalaman hari pertama mengisi acara, orang-orang di sekitar Danendra lebih peka dalam memperhatikan kesehatan lelaki yang dicap sebagai si bungsu itu. Sekadar bertanya dan menawarkan makanan, bahkan memaksa untuk beristirahat lebih lama dari yang lainnya.
Beruntung, kegiatan lanjutan bisa dilaksanakan dengan baik. Tepat seminggu setelah keberangkatan, rombongan kini sudah kembali ke pusat kota. Mereka berpisah di bandara dan pulang ke rumah dengan kendaraan masing-masing.
Seperti biasa, rombongan Danendra dijemput oleh sopir terbaik yaitu Pak Aji. Meski penat, mereka merasa puas dengan aksi penonton di beberapa daerah. Sangat antusias dan mendukung kegiatan yang ada.
"Pak Aji, berhenti di supermarket, ya?"
Degup jantung Yashinta mendadak tak karuan karena yang supermarket terdekat yang dimaksud adalah tempat bekerjanya dahulu.
"Mas Dan, mau ngapain?"
"Belanja, Mbak. Stok makanan di kosan pasti kosong 'kan?"
"Nggak usah, Mas. Saya bisa belanja sendiri sampai di kosan."
"Mbak Yas, sekalian saya mau beli beberapa titipan Yayah yang belum kebeli." Bang Didi menimpali.
"Bisa belanja di tempat lain saja kah?"
"Ini supermarket terakhir yang dilewati. Atau Mbak Yas mau di tempat lain?"
Yashinta mendadak gelisah. Ia masih tidak siap untuk bertemu dengan mantan rekan-rekannya yang bekerja di sana. Namun, daripada menimbulkan banyak pertanyaan, ia memilih untuk mengikuti keputusan Danendra.
Ketika sampai di tujuan, mereka turun dari mobil bertiga. Yashinta menoleh pada Danendra yang tersenyum ketika melihat gadisnya itu mengenakan masker dan kacamata hitam, lengkap dengan bucket hat.
Danendra mendekatinya, ia membuka kacamata, masker, dan topi yang dikenakan Yashinta. Tidak lupa melepas ikatan rambut di kepalanya. "Jangan ditutupi. Ini sudah diluar jam kerja. Mbak Yas bebas tugas."
Yashinta menghela napas. Ia hanya bisa pasrah ketika Danendra menggenggam erat tangannya dan membawanya ke dalam supermarket yang memang terkenal lengkap untuk urusan dapur dan alat rumah tangga.
Bang Didi di belakang membawa troli, menerima apa saja yang Danendra masukkan dengan tangan kiri. Karena tangan kanannya ia gunakan untuk menggandeng sang kekasih.
Yashinta hanya mampu mengikuti langkah kaki Danendra dengan wajah tertunduk. Ia paling tidak suka ketika menjadi pusat perhatian di keramaian seperti saat ini. Beberapa pengunjung yang menyadari keberadaan sosok idola masa kini mulai mengeluarkan ponsel dan merekam kegiatan mereka.
"Ish, pacarnya cantik juga, ya?"
"Loh, ini pacarnya? So sweet banget, digandeng begitu."
"Live instagram dulu. Berita besar, nih. Danendra Pramudya belanja sama ayangnya."
"Owh, pantesan kabar kemarin langsung menghilang. Ternyata udah punya pacar, ya?"
Suara-suara mulai memasuki telinga Yashinta, sementara Danendra bersikap cuek dan tidak terpengaruh. Kini sampailah mereka di depan meja kasir. Yashinta ingin sekali kabur. Apalagi dari kejauhan ia sudah melihat siapa yang berada di balik meja kasir itu.
"Wah, suatu kehormatan bagi kami, terima kaish kedatangan Mas Danendra hari ini. Mari saya bantu."
Suara itu tidak pernah berubah. Masih terdengar renyah ketika menyapa pelanggan yang datang. Suara yang tidak akan pernah Yashinta lupakan. Ia bahkan memilih untuk bersembunyi di balik punggung Danendra.
"Mbak Yas masih ada yang dibutuhkan? Mumpung masih di sini."
"Loh, Yas? Ternyata kamu?" ucap sosok di balik meja kasir.
"Mbak kenal dengan pacar saya?" ujar Danendra.
"Woah, ternyata emang caramu licik, ya? Setelah bikin ulah di sini, nggaet artis terus dibawa ke sini buat pamer?" cibir Nita. "Mas nggak tau? Dia itu mantan pegawai di sini. Karena berulah, dia akhirnya dipecat. Kok masnya mau sama dia?"
"Nita, jaga bicara kamu! Jangan putar balikkan fakta. Kamu yang fitnah aku sampai aku dipecat. Kamu ingat nggak?" ucap Yashinta dengan nada tinggi.
Danendra mulai paham mengapa gadisnya itu enggan untuk diajak mampir. Kini jelaslah sudah alasannya. Yashinta tidak ingin menemui orang-orang yang membuatnya kesal.
"Sst, udah. Jangan marah, nanti cantiknya hilang," bisik Danendra sambil merangkul kepala Yashinta dan memberikan satu kecupan di kepalanya.
"Jangan percaya sama wajah sok polosnya, Mas. Dia itu ular betina." Nita mulai memprovokasi.
Bang Didi yang baru kembali dari mencari barang berusaha untuk mengurai kerumunan. Ia kemudian bertanya pada Danendra, tetapi diabaikan.
Entah mendapat kekuatan dari mana, Yashinta maju dan mendekati meja kasir sampai wajahnya hanya berjarak dua jengkal dengan wajah Nita. Ia menatap tajam pada manik mata kenalannya itu.
"Nit, makasih banget sudah pakai jalur fitnah sampai aku dipecat. Kalau aku masih di sini, mana mungkin aku bisa jadi pacar Danendra Pramudya sekarang. Makasih banget, ya, sayang." Yashinta berujar dengan wajah yang sangat berseri. Tidak lupa dengan usapan pelan pada dagu Nita yang langsung ditepis
Danendra yang melihat aksi kekasihnya itu langsung tersenyum. Bagaimana bisa gadisnya itu menampilkan senyuman dan kebencian dalam satu waktu. Apalagi intonasi Yashinta penuh penekanan.
πππ