Jika tidak bisa memberi bahagia.
Setidaknya jangan memberi luka.
Terkadang manusia lupa untuk melibatkan Tuhan.
Sehingga ketika Tuhan turut andil, semua terasa seperti mimpi.
πππ
Setelah tragedi krim pereda nyeri, Yashinta diminta untuk pulang terlebih dahulu untuk mempersiapkan beberapa pakaian. Hal ini untuk memudahkan jika sewaktu-waktu Danendra mendapat giliran mengisi acara promosi untuk MWS yang sudah mendekati babak lima besar.
Selama perjalanan menuju ke area tempat motornya terparkir, Yashinta merasakan perutnya dipenuhi ulat sagu. Bergerak, seperti meliuk-liuk di perutnya. Tahu gambaran ulat sagu yang sebesar ibu jari? Bayangkan saja, meliuk di tangan saja sudah membuat geli, apalagi di perut.
Yashinta memegangi perutnya karena sudah tidak tahan. Tidak peduli sikapnya itu menarik perhatian beberapa orang yang melewatinya. Ditambah dengan senyum dan tatapan mata yang berbinar.
Lelah karena bibirnya tidak mau turun dan terus saja tersenyum, Yashinta berhenti dan memukul kedua pipis dengan telapak tangannya. Ia menggelengkan kepala ketika suara Danendra kembali terdengar di telinganya.
"Gimana matanya, Mbak Yas?"
"S-sudah baik, Mas. Sudah m-mendingan. Tinggal sedikit lagi."
"Makasih atas treatment-nya leher dan bahu saya sudah baikan."
Yashinta mengangguk, "Apa karena cederanya kambuh?"
Danendra menggeleng, ia meraba bahu kanannya dan beralih mengusap lehernya. "Kadang kalau terlalu capek bahunya kayak ketarik, Mbak. Mbak Yas tahu saya pernah cedera?"
"Y-ya, siapa sih yang nggak kenal sama Danendra Pramudya? Atlet muda berbakat dari cabang panahan. Saya suka dunia olahraga, makanya tahu, Mas."
Danendra hanya tersenyum mendengar perkataan Yashinta. Sementara Yashinta yang melihat senyum tulus dari Danendra seakan dunianya berhenti berputar. Seperti jargon dari sebuah iklan saja.
Aih, Mas Dan. Senyummu mengalihkan duniaku, batin Yashinta sambil memandangi Danendra yang tengah sibuk memainkan ponsel setelah memamerkan senyum indahnya.
Yashinta memandangi lelaki yang lebih muda empat tahun darinya dengan tatapan sendu. Meski keduanya sering bertukar pesan di Instagram, tetapi Yashinta tidak membuka identitas yang sebenarnya. Biarkanlah Danendra hanya mengetahui bahwa nama akun Calon_Istri_MasDan itu adalah fans setianya.
Sebagai pengagum rahasia selama delapan tahun, Yashinta sangat betah dan bertahan. Bahkan tidak ada satu kabar tentang Danendra yang tidak Yashinta ketahui. Hanya saja ia tahu diri bahwa idolanya juga butuh privasi dan tidak perlu semuanya harus ditunjukkan.
Maka dari itu Yashinta melakukan hal yang sama, ia akan melindungi dan tidak menyebarkan informasi jika itu sifatnya pribadi. Seperti acara keluarga atau acara resmi lainnya.
Seperti hari ini ketika mereka baru saja bertemu, jika ingin mengambil keuntungan, bisa saja Yashinta merekam semuanya dan menyebarkannya sebagai seseorang yang istimewa.
Namun, itu tidak sesuai dengan prinsip yang Yashinta pegang. Seorang idola juga manusia yang perlu dimanusiakan, begitu menurut gadis berambut cokelat itu.
"Mbak Yas. Mbak? Halo? Ada yang dipikirkan?" Suara Danendra mengembalikan kesadaran Yashinta yang sempat tercecer dan mencair karena senyuman sang idola.
"Ha? Nggak ada, Mas. Nggak apa-apa. Ini saya pulang dulu, terus baliknya kapan?"
"Besok saja sekalian ikut pas acara meet n great di Radio Kiss FM."
"Kita ketemu di sana atau saya ke sini dulu?"
"Mbak shareloc saja tempat indekos, biar nanti Bang Didi yang jemput ke sana."
"Ng, motor saya, gimana?"
"Nggak usah dibawa, nanti pulangnya dianterin. Gimana?"
Yashinta tidak lagi mengeluarkan bantahan. Ia mengangguk tanda setuju. Setelah mendapat izin, ia akhirnya mantap untuk keluar ruangan.
Sosok wanita berambut cokelat itu kini sudah sampai di teras yang luas tempat lalu lalang mobil menurunkan penumpang. Yashinta tidak sepenuhnya sadar bahwa ia sudah berada di luar ruangan.
Isi kepala dan badannya sedang di fase tidak sinkron karena kejutan yang ia terima. Sampai ia ditegur oleh satpam untuk menepi.
"Maaf, Pak. Maaf, saya nggak konsen. Makasih sudah diingatkan, Pak. Terima kasih," ucap Yashinta.
Ia mulai menjauhi satpam dan berlari menuju motornya. Yashinta kemudian duduk di atas motornya, mengeluarkan ponsel dan mengambil gambar kedua tangannya secara bergantian. Ia membuat sebuah postingan di WhatsApp.
'Terima kasih sudah membuatnya tenang. Mari kita bekerja sama. Dia tenang, saya damai. ππ'
Setelah puas dengan hasil jepretannya, Yashinta menyimpan ponsel ke dalam tas dan mulai perjalanan menuju indekos. Ulat-ulat sagu penghuni perutnya mulai berulah.
Saking parahnya gejolak yang ia dapatkan, Yashinta sampai tidak menyadari bahwa sepanjang perjalanan ia tersenyum.
Yashinta sampai di indekos hampir mendekati waktu salat asar. Ia bergegas memarkir motornya dan menuju salah satu kamar yang terletak di paling depan.
"Mbak Yayah sudah pulang?" tanya Yashinta sambil mengetuk perlahan pintu dengan stiker Doraemon yang bertebaran.
"Kenapa, Yas?" Si penunggu kamar langsung membuka pintu.
Yashinta yang belum dipersilakan masuk langsung saja memeluk Mbak Yayah yang berdiam di ambang pintu. Kedua perempuan itu saling mengeratkan pelukannya.
"Makasih banyak atas bantuannya. Yas nggak tahu harus balas kebaikan Mbak Yayah dengan cara apa. Ini seperti Yas sekali nyelam dapat rumput laut sama mutiara. Dapat kerja, sekaligus dapat Mas Dan," ucap Yashinta di dekat telinga Mbak Yayah.
"Alhamdulillah. Berarti memang rezekinya Yas. Mbak hanya bantu sekadarnya."
Mata Yashinta berkaca-kaca. Ia sudah kehabisan kata untuk membalas perkataan Mbak Yayah. Akhirnya air mata yang ia tahan tidak lagi terbendung.
Yashinta menangis keras di pelukan Mbak Yayah. Jika kemarin tangisnya terdengar memilukan karena rasa kecewa yang mendalam kini tangisnya adalah tangis bahagia. Air matanya sama-sama mengalir deras, tetapi mengandung makna yang berbeda.
"Kenapa nangisnya makin jadi?"
"Yas nggak minta banyak, Mbak. Yas hanya minta jalan supaya keluarga nggak kecewa atas pemecatan yang Yas terima. Tuhan nggak kasih jalan, tapi Tuhan kasih keajaiban untuk Yas. Tuhan baik, ya, Mbak?"
Mbak Yayah mengangguk. Ia mengurai pelukannya pada Yashinta. Dengan sikapnya yang memang terlihat lebih dewasa, Mbak Yayah mengusap jejak air mata di pipi Yashinta.
Ia juga mengajak Yashinta untuk duduk di ruang tengah. Mungkin menenangkannya akan lebih baik.
"Apa Yas bisa, Mbak? Kenapa Mbak percaya dan kasih tahu tentang Yas ke Bang Didi?"
"Bisa, Yas. Mbak yakin itu. Bukan karena kita dekat, tapi Mbak memang lihat kemampuan kamu. Pas banget Didi memang cari orang dengan kriteria yang detail banget."
"Katanya sepupu Mbak ngurusi peserta? Ini kok malah manajernya Mas Dan?"
"Awalnya dia memang kerja di SRTV, tapi pas ketemu sama Danendra, dia malah ditarik jadi manajer pribadinya. Merasa cocok katanya."
Yashinta menyimak sambil sesekali mengusap air matanya.
"Masih mau nangis lagi?"
"Yas mau laporan dulu sama Bapak dan Ibu Negara. Kejadian kemarin saja Yas belum cerita, apalagi yang hari ini? Bisa jadi malam panjang ini."
Mbak Yayah mengangguk dan meninggalkan Yashinta di ruang tengah. Belum juga terlalu jauh melangkah, dering telepon Yashinta menarik perhatiannya.
"Panjang umur, baru saja mau ditelepon, sudah telepon duluan. Asalamualaikum, baru saja Yas mau telepon."
"Yas, ini gimana?" suara serak dan terbata-bata dari ibunya membuat Yashinta menegakkan punggung dan bersiap menerima kabar selanjutnya.
Jantung Yashinta terasa ingin melompat. Ia sangat tidak bisa mendengar ibunya menangis. Apalagi memang ini di luar dari kebiasaan.
πππ