Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kau Tutup Mataku, Kuketuk Pintu Hatimu
MENU
About Us  

Terkadang berharap banyak, tidak tercapai.
Justru ketika tidak banyak berharap,
Tuhan kabulkan semua.

Jangan mencoba bercanda dengan Tuhan.
Sebab level bercanda kita dengan Tuhan itu jauh  berbeda.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚

 

Yashinta terpaku di sudut ruangan. Tatapan matanya hanya mengarah pada sosok yang tengah duduk di sofa. Sang idola yang selama ini hanya bisa dilihat di layar kaca, kini ada di hadapannya.

Gadis berambut cokelat itu memandangi Danendra dengan tempo kedipan secepat kilat. Seolah jika berkedip dengan lambat sosok itu akan menghilang begitu saja. Bahkan telinganya sampai tidak bisa mendengar panggilan dari Bang Didi yang sudah memanggil sebanyak tiga kali.

"Mbak Yas, halo? Ditanya sama Endra, nih."  Bang Didi menepuk kedua tangannya di depan wajah Yashinta dari saking gemasnya karena Yashinta seperti kehilangan nyawanya setelah melihat wajah Danendra dari dekat.

"H-ha? Iya, Mas, kenapa?"

Yashinta langsung mengembalikan fokus tatapan matanya dan beralih menatap wajah Bang Didi yang berada dekat dengannya.

"Kalau sewaktu-waktu diminta untuk bermalam, bisa? Atau ikut kegiatan sehari semalam, apa nggak keberatan?"

"Aman, Mas. Saya tinggal di indekos, jauh dari orang tua, dan yah, saya mandiri."

"Kalau itu Yayah sudah bilang sama saya, Mbak, tapi apa Mbak Yas nggak keberatan untuk tinggal di asrama bersama peserta lainnya?"

"Ada yang cewek selain saya? Selama ada temannya saya bersedia."

"Dra, kamu dengar sendiri apa yang sudah disampaikan sama Mbak Yas. Sekarang bagaimana dengan kamu? Bisa percaya sama dia selama aku sibuk dengan persiapan menikah? Nggak langsung aku tinggal, sesekali aku nemenin kamu."

"Aku percaya kalau Abang percaya. Aku mau istirahat sebentar, kabari kalau gladi bersih nanti."

"Okay, nanti aku yang urus Mbak Yas dan apa yang harus dilakukan dia hari ini."

Bang Didi langsung memberi kode pada Yashinta untuk keluar ruangan dan membiarkan idolanya  beristirahat. Sebenarnya Yashinta enggan karena ia merasa kurang lama memandangi Danendra, tetapi mau bagaimana lagi, tugas sudah menantinya.

Keduanya berjalan menuju kantin yang berada di kawasan gedung SRTV. Yashinta diminta untuk memilih menu makanan dan minuman. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam makan siang.

Mereka membawa nampan berisi pesanan dan mulai mencari meja kosong. Keduanya memilih tempat yang dekat dengan jendela. Selama berjalan, Bang Didi menyapa beberapa orang dengan ramah dan membalas sapaan dengan senyuman.

"Mbak Yas kaget nggak pas tau saya jadikan asisten manajernya seorang Danendra Pramudya?"

Yashinta menghela napasnya. Bukan tidak senang, tetapi ini seperti terlalu tiba-tiba.

"Saya nggak mimpi 'kan?" ujar Yashinta sambil mengipasi matanya supaya air mata yang nyaris jatuh itu kembali masuk dan gagal terjun.

Bang Didi tersenyum. Ia mengambil tisu di meja dan menyodorkannya pada Yashinta. Si gadis menghapus tetesan di pelupuk matanya, tetapi bukannya berhenti, air matanya justru semakin deras.

Yashinta panik, ia mencoba tenang. Menarik napas, lalu mengembuskan secara perlahan. Ia ulangi beberapa kali sampai akhirnya hanya tampak hidungnya saja yang memerah.

"Sudah tenang? Mau lanjut nangis apa mau makan?"

"Makan. Nangisnya udahan. Nguras tenaga banget."

Keduanya lalu menyantap hidangan dengan tanpa bersuara. Sampai akhirnya semua yang di meja ludes tidak bersisa. Yashinta mengambil tisu dan membersihkan bibirnya dari bekas minyak sisa makanan dan minuman.

"Endra nggak suka kalau makan sambil diam, kalau makan sama dia harus sambil ngobrol biar habisnya banyak."

Yashinta mengangguk, dengan segera ia mengambil ponsel dan membuka laman catatan untuk mencatat semua yang akan ia dengar dari Bang Didi.

Mulai dari detail kebiasaan, sampai makanan apa yang tidak boleh dimakan oleh Danendra. Sepertinya, ia lebih pantas disebut sebagai asisten rumah tangga dibanding asisten manajer. Sebab semua yang disampaikan Bang Didi begitu adanya.

"Tenang saja, gajinya lebih besar dari sekadar jadi asisten rumah tangga. Memang berat, tapi setimpal dengan bayarannya nanti."

"Mas bisa baca isi kepala saya?"

Bang Didi menggeleng, "Tapi sepertinya apa yang saya pikirkan sama dengan yang Mbak Yas pikir."

"Jangan panggil, Mbak, Mas. Panggil Yas saja."

"Kalau gitu, jangan panggil saya Mas, Didi saja."

"Nggak sopan, ish."

"Ya, sama. Saya panggil Mbak karena menghargai Mbak Yas."

Setelah selesai makan siang, keduanya kembali ke ruangan Danendra. Di sana keduanya terkejut karena melihat si penghuni kamar terduduk sambil memijat leher dan bahunya.

Bang Didi langsung merogoh tas pinggangnya dan menyodorkan tube berisi krim pereda nyeri. Yashinta yang masih bingung harus berbuat apa akhirnya menuju pada lemari pendingin yang berasa di sudut kamar.

Ia mengambil botol air mineral dan meletakkannya di meja, di hadapan Danendra yang masih tertunduk.

"Mas Dan, minum dulu, ya? Biar agak tenang. Kalau leher sama bahunya masih terasa nyeri, mungkin peregangan ringan bisa bantu kurangi nyerinya, Mas."

Bang Didi yang tengah mengoles krim pereda nyeri di bahu Danendra menoleh pada Yashinta dan langsung mengangguk. Sorot mata Bang Didi seperti berkata bahwa Yashinta cukup peka pada situasi.

"Bang, minta obat pereda nyeri aja boleh, nggak?"

Yashinta menggoyang-goyangkan tangannya pertanda melarang permintaan Danendra. Ia ingin maju mendekati Danendra, tetapi mundur, maju selangkah, lalu mundur lagi. Ia terlalu gugup untuk memulai kedekatan mereka.

Awalnya sulit digapai, tetapi kini terasa sangat mudah bahkan untuk masuk ke dalam lingkungan idolanya. Sungguh jika Tuhan sudah mulai campur tangan, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi.

"Mbak Yas mau nyampein apa?"

"Ja-jangan pakai obat, dicoba dulu saran saya. Boleh saya bantu?"

Langkah Yashinta mendadak kikuk, ia melepaskan tas selempang yang melingkari tubuhnya, meminta krim pereda nyeri pada Bang Didi dan meletakkannya di tangan telapak tangan kirinya.

"Mbak Yas, itu panas banget, loh. Nggak apa-apa?"

Nyali Yashinta mendadak ciut, tetapi kedua telapak tangannya telanjur bertemu dan menggosoknya sampai merata di seluruh permukaan tangan. Dari kepala menggeleng, kemudian mengangguk.

"Bisa beneran?" tanya Danendra sambil menoleh pada Yashinta yang sudah berada di balik punggungnya.

"Bi-bisa, kok. Mas Dan percaya sama saya," ujar Yashinta mantap, tetapi berbanding terbalik dengan kedua tangannya yang gemetar.

Gadis berambut cokelat itu mengusap tangan yang berlumur krim pereda nyeri dari tengkuk sampai ke bahu. Dengan gerakan perlahan, tetapi penuh tekanan.

"Maaf, Mas Dan. Permisi, ya? Ikutin saja yang saya minta."

Kata maaf dan permisi terus saja memenuhi ruangan itu. Yashinta melakukannya dengan telaten. Menggerakkan lengan Danendra dengan gerakan perlahan. Kegiatan yang terlihat ringan, tetapi bisa membuat Danendra berkeringat dan meringis ketika sakit di bahunya datang.

Peregangan dan pijatan yang Yashinta lakukan seperti seorang fisioterapis yang berpengalaman. Setelah beberapa saat, Yashinta berhenti dan meminta Danendra untuk merasakan hasil kerjanya.

"Gimana, Mas? Mendingan?"

Danendra mengangguk dan menggerakkan bahunya secara perlahan. Ia merasakan perubahan dari sebelum dan sesudah mendapatkan pijatan dari Yashinta.

"Wah, pengalaman banget ngurus beginian. Sudah lama di panti pijat?" ucap Bang Didi yang sedari hanya berdiri dan melihat kinerja Yashinta.

"Enak saja. Gini-gini saya pernah ikut pelatihan fisioterapi, Mas. Jangan meremehkan."

Yashinta berjalan menuju meja rias, ia mengambil beberapa lembar tisu dan meminta Danendra untuk duduk. Ia dengan telaten mengelap sisa-sisa krim di bahu dan lehernya.

"Sudah selesai. Besok-besok kalau nyeri bikin skala, kira-kira satu sampai empat, dari ringan ke berat. Kalau dirasa lebih ringan, jangan pakai obat. Kalau dirasa nggak sanggup sama sakitnya, baru minum obat."

"Itu saran dari siapa?" tanya Danendra.

"Saran dari pribadi saya setelah mengamati orang-orang yang dikit-dikit minum painkiller, tapi lama kelamaan nggak mempan lagi."

Kedua lelaki di ruangan itu hanya mengangguk. Setidaknya Yashinta dapat diandalkan soal kesehatan. Sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan Mbak Yayah.

"Itu tangan Mbak Yas nggak panas?" Danendra menatap Yashinta dan menunjuk ke arah tangannya.

"Amaan, Mas." Yashinta berucap sambil menghapus titik keringat dekat mata dengan punggung tangannya.

"M-mbak, panas matanya ntar," ujar Bang Didi sambil mencoba menghentikan gerakan tangan Yashinta.

"Nggak apa-apa, ta-tapi, duh kok panas?"

"Hm, dibilangin juga."

Yashinta mengambil tisu dan kembali mengelap matanya untuk menghilangkan sensasi panas, ia bahkan lupa bahwa kedua tangannya masih terdampak krim pereda nyeri. Bukannya mereda, panasnya justru merembet ke mana-mana.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Lazy Boy
7304      1731     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...
TO DO LIST CALON MANTU
1588      713     2     
Romance
Hubungan Seno dan Diadjeng hampir diujung tanduk. Ketika Seno mengajak Diadjeng memasuki jenjang yang lebih serius, Ibu Diadjeng berusaha meminta Seno menuruti prasyarat sebagai calon mantunya. Dengan segala usaha yang Seno miliki, ia berusaha menenuhi prasyarat dari Ibu Diadjeng. Kecuali satu prasyarat yang tidak ia penuhi, melepaskan Diadjeng bersama pria lain.
Cinta Pertama Bikin Dilema
5298      1452     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Manuskrip Tanda Tanya
5758      1734     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
Gantung
811      512     0     
Romance
Tiga tahun yang lalu Rania dan Baskara hampir jadian. Well, paling tidak itulah yang Rania pikirkan akan terjadi sebelum Baskara tiba-tiba menjauhinya! Tanpa kata. Tanpa sebab. Baskara mendadak berubah menjadi sosok asing yang dingin dan tidak terjamah. Hanya kenangan-kenangan manis di bawah rintik hujan yang menjadi tali penggantung harapannya--yang digenggamnya erat sampai tangannya terasa saki...
Girl Power
2496      935     0     
Fan Fiction
Han Sunmi, seorang anggota girlgrup ternama, Girls Power, yang berada di bawah naungan KSJ Entertainment. Suatu hari, ia mendapatkan sebuah tawaran sebagai pemeran utama pada sebuah film. Tiba-tiba, muncul sebuah berita tentang dirinya yang bertemu dengan seorang Produser di sebuah hotel dan melakukan 'transaksi'. Akibatnya, Kim Seokjin, sang Direktur Utama mendepaknya. Gadis itu pun memutuskan u...
Dream of Being a Villainess
1443      819     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Lily
1993      901     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
After Feeling
6033      1940     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
Metamorf
153      127     0     
Romance
Menjadi anak tunggal dari seorang chef terkenal, tidak lantas membuat Indra hidup bahagia. Hal tersebut justru membuat orang-orang membandingkan kemampuannya dengan sang ayah. Apalagi dengan adanya seorang sepupu yang kemampuan memasaknya di atas Indra, pemuda berusia 18 tahun itu dituntut harus sempurna. Pada kesempatan terakhir sebelum lulus sekolah, Indra dan kelompoknya mengikuti lomba mas...