Di sisa tenaga yang dimilikinya, Yasmine segera menarik koper begitu lift sudah sampai di lantai 10. Kedua tangan dan kakinya terasa akan lepas, tetapi gadis itu tidak ada waktu untuk mengeluh. Apalagi melihat Adam sudah berjalan lebih dahulu, tanpa menoleh sedikit pun, sudah cukup menjadi pertanda bahwa kesusahan ini harus Yasmine pikul sendirian.
Setelah melangkah beberapa meter, Adam pun berhenti di salah satu pintu, unit 103. Dia berbalik sekilas, hanya untuk memastikan Yasmine sedang memperhatikannya. “Pinnya 0105,” ucapnya seraya memencet nomor yang disebutkan.
Yasmine hanya mengangguk paham, kemudian ikut masuk begitu pintu terbuka. Yasmine tahu, ini bukan saatnya untuk terpana akan kemewahan duniawi. Namun, matanya tetap terbelalak begitu interior apartemen milik Adam. Semua barang memang terkesan sederhana dan tidak memiliki corak mencolok. Warna putih mendominasi setiap ruangan. Hanya dengan sekali melirik saja, Yasmine bisa tahu semua barang tidak bisa dibeli dengan isi dompetnya.
“Di kulkas sudah ada bahan masakan dan aneka camilan. Ini kamar mandi. Dan ini kamar kamu.” Adam menunjuk satu per satu bagian apartemen dengan cepat, terkesan malas. “Kamu boleh melakukan apa pun, asal jangan menimbulkan suara kencang. Aku juga gak menerima hambatan apa pun saat harus berangkat kerja. Tidak boleh ada orang asing yang masuk tanpa izin dariku. Paham?”
Dengan cepat, Yasmine pun mengangguk. “Pa-paham, Kak,” ujarnya dengan terbata.
“Ya sudah, bereskan dulu barang bawaan kamu ke kamar. Jika sudah selesai, tunggu aku di sofa depan. Ada yang harus kita bahas.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, Adam pun berlalu meninggalkan Yasmine begitu saja. Entah sengaja atau terlalu lepas memberikan tenaga, suara pintu kamar yang ditutupnya membuat Yasmine terpekik di tempat.
Dengan langkah gontai, Yasmine pun mendekati pintu yang tadi ditunjuk Adam sebagai kamarnya. Dia melirik ke arah kanan, di mana sosok Adam menghilang. “Jadi, kita bakal pisah kamar, ya, Mas?” gumamnya, tanpa sadar.
Setelah mengembuskan napas kasar, Yasmine pun masuk ke kamar itu. Tidak ada yang istimewa di sana. Hanya ada kasur queen size, lemari putih, juga meja rias kosong. Yang membuat Yasmine berkeyakinan akan betah tidur di sana adalah jendela di samping ranjang. Setidaknya, ia bisa menghirup udara bebas saat napasnya mulai terasa berat karena kenyataan.
Seperti yang Adam minta, Yasmine segera kembali ke ruang tengah begitu semua barang bawaannya selesai ditata. Dia duduk di ujung sofa panjang, berjauhan dengan Adam yang duduk termangu di sofa tunggal.
“Mas?” panggil Yasmine setelah beberapa saat terduduk. Bukannya Yasmine tidak sabar mendengar apa yang ingin Adam bicarakan. Namun, lelaki itu tak kunjung bergerak walaupun Yasmine sudah ada di sana selama satu menit. “Mas Adam?”
“Ya?” sahut Adam setelah mendengar ketukan lumayan nyaring di kaca meja. Dia langsung menetapkan tubuhnya begitu menyadari kehadiran Yasmine. Setelah menarik napas dalam-dalam, Adam pun memberikan sejumlah barang pada Yasmine. “Ini ATM buat kamu. Aku akan kirim nafkah tiap tanggal satu. Ini kartu keanggotaan White Apartemen. Kamu harus tunjukkan kartu ini ke penjaga di depan. Tapi kalau mereka sudah familiar sama wajah kamu, itu gak perlu dilakukan.”
“Iya, Mas.”
“Di depan orang tua dan anggota keluarga yang lain, kita harus bersikap seperti suami istri yang saling mencintai. Tapi jangan berlebihan, itu akan bikin semua orang jadi curiga.”
“Maksudnya kita harus bohongi keluarga kita, Mas? Tapi, bohong itu dosa, Mas.”
Adam memejamkan matanya untuk beberapa saat, berusaha menyusun kalimat yang tepat supaya pembicaraan ini bisa masuk ke kepala Yasmine. “Ada kebohongan yang bisa diterima, yaitu kebohongan yang ditujukan untuk kebaikan. Pura-pura kita juga begitu, demi kebaikan semua orang. Kalau kita terlihat baik-baik saja dan saling mencintai, para orang tua pasti senang. Iya, kan?”
“Iya, sih? Tapi ... emang gak apa-apa, Mas?”
“Gak apa-apa, Yasmine. Sudah jadi kewajiban kita untuk membahagiakan orang tua. Allah juga pasti paham, kok,” jawab Adam dengan penuh keyakinan. “Kamu juga harus menyaring momen yang mau kamu bagikan di sosial media. Kamu tidak boleh membagikan kedekatan dengan laki-laki lain, momen kamu di luar rumah di jam yang tidak seharusnya, dan perkataan atau gambar yang ditujukan untuk menyakiti seseorang. Abi saya juga main sosial media, beliau pasti pantau kamu.”
“Oh, begitu? Pantesan tadi Abi Emran follow Instagram aku. Ternyata mau pantau, ya?” tanya Yasmine dengan tatapan polosnya.
Lelaki itu hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. “Terakhir, aku tidak mau kita saling mencampuri kehidupan satu sama lain. Kita cuma calon kakak dan adik ipar yang terjebak keadaan untuk tinggal satu atap. Tidak lebih.”
Perkataan Adam yang satu ini berhasil membuat lidah Yasmine kelu seketika. Dia tidak bisa lagi menyahuti ucapan lelaki itu dengan respons baik. Yang jelas, Yasmine sadar bahwa dadanya berdenyut sakit saat ini.
Sungguh, Adam tidak perlu menjabarkan hubungan mereka dengan begitu jelas. Itu hanya membuat Yasmine merasa sakit hati. Tanpa dijelaskan pun Yasmine sudah sadar apa posisinya dalam pernikahan ini. Dia hanya dijadikan alat untuk menjaga nama baik keluarga, tidak lebih. Yasmine tidak mau tahu apa alasan Adam menerima pernikahan ini. Karena Yasmine tahu, itu hanya akan membuat dirinya merasa tak punya harga diri.
“Baik, Mas,” jawab Yasmine pada akhirnya.
Adam menyandarkan punggungnya. Dia mengembuskan napas panjang, merasa lega pembicaraan ini selesai tanpa perdebatan. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal di dadanya. “Kamu beneran gak tahu Elea pergi ke mana?”
“Enggak, Mas. Kak Elea gak bilang apa-apa sama aku.” Kali ini Yasmine tak kuasa mengendalikan suaranya. Matanya memanas begitu terbayang wajah Elea. “Kak Elea cuma minta aku untuk jadi anak yang baik. Kak Elea juga bilang ....”
Ucapan Yasmine terhenti seketika. Ia tercengang sendiri mengingat apa yang Elea katakan kemarin malam.
“Sampaikan maaf kakak buat mereka juga. Kakak ngerasa belum jadi anak yang baik buat ayah sama mama. Terlalu malu buat ngomong, jadi minta tolong kamu. Nanti sampein, ya?”
Apakah ini yang membuat Elea merasa menyesal? Elea merasa perlu menyampaikan maaf karena akan membuat kekacauan besar di hari pernikahannya sendiri? Elea juga tidak bisa bicara langsung pada ayah dan mama karena ia akan pergi sebelum keduanya bangun?
“Astagfirullah, Kak Elea ...,” gumam Yasmine.
“Kenapa? Kamu ingat sesuatu?”
Dengan mata yang berkaca-kaca, Yasmine memberanikan diri untuk menatap Adam. Ia mengangguk lesu dan berkata, “Kak Elea minta aku untuk menyampaikan maafnya ke ayah sama mama. Awalnya aku heran, kenapa Kak Elea memilih permintaan maaf dibandingkan ucapan terima kasih. Mungkin ini alasannya, karena Kak Elea akan pergi.”
Adam membuang muka, menyembunyikan luka yang bertambah perih di dalam hatinya. “Ternyata Elea emang sudah berencana untuk ninggalin aku,” lirihnya.
“Tapi, Mas, kita jangan berburuk sangka dulu. Siapa tahu Kak Elea terpaksa meninggalkan kita semua dengan cara seperti ini. Pasti dia punya alasan yang kuat untuk pergi.”
“Aku juga mau mempercayai hal itu. Tapi, berulang kali aku berpikir, sekeras apa pun, aku tetap gak bisa menemukan alasan yang pantas untuk Elea memperlakukan aku seperti ini.”
Dengan gerakan lunglai, Adam pun bangkit dari dari duduknya. Tidak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan lagi pada Yasmine. Dia hanya terus melangkah, memburu pintu kamarnya.
Tiba-tiba, Yasmine teringat dengan keluhan kakaknya akan karakter Adam. “Eh, Mas. Kak Elea pernah bilang ....”
Yasmine tidak mampu melanjutkan ucapannya begitu melihat bahu lemas Adam. Dia kembali melipat kedua bibirnya, memutuskan untuk bungkam demi tidak menorehkan luka baru di hati lelaki itu. Setelah sosok Adam menghilang di balik daun pintu, Yasmine pun ikut beranjak dari sana. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sudah waktunya untuk istirahat.
Baru saja Yasmine hendak meraih kenop pintu, pergerakannya terhenti ketika mendengar isakan dari kamar sebelah, kamar Adam.
“Kenapa, El? Kenapa kamu setega ini sama aku?” racau lelaki itu.
Suara Adam begitu memilukan. Isakan pelan perlahan berubah menjadi raungan penuh luka. Tidak ada hentinya ia menggaungkan pertanyaan yang sama, mengapa Elea sampai hati melakukan hal yang begitu menyakitkan untuknya. Bahkan, napas Adam pun terdengar kian tersenggal, menandakan luka yang ditanggungnya teramat besar dan dalam. Tentu saja, hari yang seharusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidup Adam, justru berakhir tragis dan menyakitkan.
Sembari menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, Yasmine pun masuk ke kamarnya. Selesai mengunci pintu, tubuh Yasmine luruh ke atas lantai. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, berusaha meredam suara yang akan timbul karena tangisannya.
Hari ini, Elea berhasil menciptakan luka untuk banyak orang karena kepergiannya.
***
Selesai salat subuh, Yasmine pun segera menuju dapur. Semalam ia terus menangis hingga tertidur. Ia langsung membuka lemari pendingin dan menempelkan es batu ke matanya. Semoga ini bisa mengurangi bengkak di kelopak mata Yasmine supaya tidak ada pertanyaan atau spekulasi aneh dari teman kelasnya nanti.
Saat iseng melihat-lihat bahan makanan, Yasmine tak sengaja melihat daging ayam dan tahu di sana. Tiba-tiba Yasmine teringat dengan salah satu kenangannya dengan Elea setahun yang lalu.
“Lagi bikin apa, Kak?” tanya Yasmine yang baru saja memasuki dapur.
Elea menoleh sekilas, lalu kembali mengiris jagung muda di hadapannya. “Bikin makan siang buat Adam. Gak tahu kesambet apaan itu anak, tiba-tiba aja minta dibuatin makanan kesukaannya.”
“Emang Kakak mau buat masakan apa?”
“Ayam kecap pedas sama tumis tahu tauco,” jawab Elea dengan cepat. “Adam bilang gampang. Tapi susah banget! Kakak ngerasa ditipu!”
Yasmine terkekeh mendengar keluhan kakaknya itu. Dia segera mengambil sejumlah telur puyuh rebus yang masih di dalam panci. “Ya udah, aku bantu, deh. Biar cepet juga, bentar lagi masuk jam makan siang.”
Saat itu juga, Elea langsung mengalihkan perhatiannya dari irisan jagung. Dia menatap Yasmine dengan penuh haru, seakan bantuan kecil sang adik adalah penyambung nyawa baginya. “Makasiiihhh!”
“Tapi nanti aku minta, ya, Kak? Aku mulai laper, nih. Eheheh ....” Yasmine cengengesan.
“Gampang! Nanti bagi dua aja buat orang rumah.”
Siang itu, Yasmine dan Elea berhasil mengacak-acak wilayah kekuasaan sang mama. Walaupun judul awalnya adalah membantu, tetapi prakteknya Yasmine mengajarkan Elea untuk masak makanan kesukaan Adam. Maklum, Elea lebih banyak menghabiskan waktu di depan kamera dibandingkan kompor.
Yasmine berusaha menghiraukan perih yang kembali terasa di ulu hatinya. Dia segera mencari bahan lengkap untuk membuat ayam kecap pedas dan tumis tahu tauco. Yasmine yakin, Adam juga pasti menghabiskan waktu semalaman untuk menangisi kepergian Elea. Semoga saja kedua makanan kesukaannya ini bisa mengisi kembali tenaga Adam dan membuat suasana hatinya lebih baik walaupun hanya beberapa saat.
Setelah bergelut lebih dari 30 menit, nasi beserta lauk untuk sarapan pun telah tertata di atas mini bar. Dapur juga telah bersih, karena Yasmine langsung membereskan semuanya begitu selesai masak. Kini, ia hanya perlu memanggil Adam dan mengajaknya sarapan bersama.
“Mas ....”
Napas Yasmine sempat tertahan ketika daun pintu yang hendak ia ketuk terbuka secara tiba-tiba. Dalam sekejap mata, sosok Adam berdiri di hadapannya.
Wajah lelaki itu tampak segar walaupun matanya masih terlihat sembab. Kemeja biru tua membalut tubuh tegap Adam dengan sempurna. Briefcase hitam juga Adam pegang cukup erat karena terkejut dengan kehadiran Yasmine di depan kamarnya.
“Kenapa? Kamu perlu sesuatu?” tanya Adam, memecah keheningan di antara mereka.
“Oh, enggak. Aku cuma mau ngajak Mas Adam sarapan bareng. Aku udah masak tadi, tinggal makan,” jawab Yasmine sembari memalingkan pandangannya.
“Kamu sarapan sendiri aja, ya? Saya harus ke rumah sakit sekarang, buru-buru.” Adam berjalan melewati tubuh Yasmine begitu saja.
Gadis itu tidak tinggal diam. Yasmine langsung mengekori Adam. “Mas Adam makan dikit aja, yang penting ada nasi yang masuk. Dari kemarin Mas belum makan, lho. Aku juga masak makanan kesukaan Mas, kok.”
Langkah Adam terhenti seketika. Dia melirik mini bar di sebelah kirinya. Benar saja, sudah ada ayam kecap pedas dan tumis tahu tauco di sana. Namun, sungguh, Adam sama sekali tidak tergiur. Ini pertama kalinya ia bisa menolak kedua makanan favoritnya itu.
“Yasmine.” Adam berbalik dengan sekali entakan. “Aku udah bilang semalam, kan? Jangan mencampuri urusan pribadi satu sama lain, termasuk urusan makan.”
“Aku cuma khawatir Mas Adam sakit,” cicit Yasmine, hampir tak terdengar.
“Kamu gak usah khawatir. Aku udah dewasa, bahkan lebih tua dari kamu. Aku bisa urus perut aku sendiri,” balas Adam dengan nada datar. “Lain kali, masak untuk kamu sendiri aja. Kalau aku lapar, aku bisa masak sendiri atau beli di luar. Paham?”
Baru saja Yasmine hendak kembali menimpali ucapan panjang Adam, tetapi lelaki itu kembali berbalik dengan celah. Adam melangkah, menjauh dari Yasmine yang terdiam di tempat. Tidak sekali pun ia menoleh, pertanda bahwa Adam benar-benar tidak peduli. Ia tidak peduli dengan makanan yang sudah tertata di atas bar atau dengan perasaan Yasmine saat ini.
Tepat ketika pintu tertutup, menelan tubuh tinggi Adam hingga tak tertangkap netra Yasmine, gadis itu tahu, pernikahannya ini akan berjalan lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.
Oh ternyata Yasmin cuman anak sambung toh....dan ibu tirinya memberikan perlakuan yang berbeda
Comment on chapter 1. Kehidupan Yasmine